“Kita berhenti sampai sini dulu.” Tukas Adrian setelah menutup ponselnya. “Mike, cepat bereskan kertas-kertas lirik laguku.”
Sabtu, 28 Juli 2012
Bagian Tiga Belas
“Kita berhenti sampai sini dulu.” Tukas Adrian setelah menutup ponselnya. “Mike, cepat bereskan kertas-kertas lirik laguku.”
Mike menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “kenapa tiba-tiba?”
“aku tiba-tiba merasa lelah.” sahut Adrian sambil memijat pelan pelipisnya.
Mi Na lalu memperhatikan wajah Adrian yang dari tadi sudah terlihat agak pucat. “apa kau baik-baik saja?”
“aku hanya merasa lelah.”
“oke.” Kata Mike sambil membereskan tumpukan kertas-kertas lirik lagu di meja. “oh ya. Ad, aku baru saja menerima undangan untukmu.”
“undangan apa?”
“dari universitas Kyung Hee.” Jawab Mike sambil mengeluarkan secarik kertas elegan berwarna kuning emas dari kantungnya. “dua minggu lagi adalah malam kesenian dan kau diundang ke pesta resmi di sana.”
“wah, kau diundang juga?” ucap Mi Na dengan nada bersemangat. “aku juga diundang. Di sana akan ada banyak entertainer Korea yang bisa kau temui.”
“oh ya?” balas Adrian sambil memperhatikan kertas undangan itu. “apa yang datang hanya para artis dan aktor Korea?”
Mi Na menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “bukan hanya mereka. Mahasiswa dan mahasiswi Kyung Hee juga pastinya akan datang. Ini selalu diadakan setiap tahun.”
Adrian kemudian terdiam sejenak dan seulas senyuman kecil tersungging dibibirnya.
Mi Na terlihat menoleh ke kiri kanan. “mmm, toiletnya di mana?” suara Mi Na membuyarkan lamunannya.
“di sana.” Jawab Mike sambil menunjuk ke arah toilet. Mi Na tersenyum kecil lalu bergegas meninggalkan ruangan studio untuk sementara.
“Adrian, selain undangan itu aku juga mendapat telepon dari Luis.” Kata Mark tiba-tiba.
Laki-laki berambut cokelat pirang itu menaikkan sebelah alis. “untuk apa dia menelepon?”
“kau masih tidak menyukainya?” tanya Mike.
Adrian beranjak dari kursinya dan mendesah pelan. “bukannya aku tidak menyukainya. Dia terus menawari diri untuk menjadi produserku, bahkan sejak dia berhenti menjadi artis. kalau aku tidak mau kenapa memaksa?”
Mike mengangguk pelan. Ia terlihat berpikir. “mungkin dia menawari diri lagi karena kau sekarang ada di Korea. Menjadi produsermu akan mendongkrak bisnisnya.”
Adrian lalu tersenyum remeh. “apalagi rencananya?”
Fiona memperhatikan layar ponselnya sekali lagi. Sudah kesekian kalinya Ia memeriksa alamat yang tertera di layar ponselnya hanya untuk memastikan kalau Ia tidak salah jalan.
“apa ini gedung studionya?” gumamnya. Fiona lalu melihat seorang satpam yang lewat.
“permisi, apakah Adrian Harrison ada di dalam gedung?” Tanya gadis itu sambil tersenyum ramah.
Satpam itu memperhatikan Fiona sejenak dan menatapnya dengan pandangan curiga.
Fiona lalu mengibaskan kedua tangannya. Seakan-akan Ia bisa membaca pikiran satpam itu, Ia lalu menambakan, “saya bukan paparazzi ataupun fans. Saya temannya.”
Tatapan curiga satpam itu kemudian memudar. “oh, iya. Adrian Harrison sedang rekaman. Anda mau saya antarkan ke dalam?”
“Terima kasih.” Ucap Fiona begitu Ia sampai di depan pintu studio Adrian rekaman. Satpam itu tersenyum kecil lalu membungkukkan badan dan segera berjalan meninggalkan Fiona.
Gadis itu lalu mengangkat sebelah tangan, bermaksud untuk mengetuk pintu tapi Ia terlihat ragu. Setelah memantapkan diri, Ia kemudian membuka pintu studio itu dengan pelan.
“Permisi..” ucap Fiona pelan dengan nada ragu.
Laki-laki berambut cokelat pirang yang berdiri membelakanginya kemudian memutar badan. Kedua mata cokelat gelapnya melebar senang begitu melihat Fiona yang sudah berdiri di depannya.
“kau benar-benar datang.”
Fiona melirik ke sekeliling ruangan. Mi Na tidak ada. Apa dia sudah pulang?
“aku….”
“Hwa Young-ssi?” suara seorang gadis kemudian muncul dari belakang Adrian. Fiona menoleh ke arah suara itu, Mi Na terlihat tersenyum lebar kepadanya.
“Oh, Mi Na.” Fiona tersenyum tipis.
Adrian memperhatikan kedua gadis di depannya. “maaf aku telah merepotkan.”
Fiona lalu menoleh ke arah Adrian, “hah? Tidak sama sekali.”
Adrian memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.
“kau baik-baik saja, Adrian?” Tanya Mi Na dengan nada khawatir.
Laki-laki yang ditanyanya menggelengkan kepala pelan. “sepertinya aku benar-benar butuh istirahat.”
“kau mau aku antar pulang? Satu jama lagi aku harus kembali ke butik, tapi tidak masalah.” tawar Mi Na.
Fiona masih terdiam. Ia merasa dirinya begitu bodoh karena tidak bisa menawarkan diri secepat Mi Na.
Adrian terdiam sejenak, Ia terlihat berpikir. “tidak usah repot-repot, Mi Na-ssi. Aku bisa diantar Mike.”
“Ad, sayangnya aku ada rapat dengan para staff. Terutama soal album barumu ini. Kau tentunya tidak usah ikut rapat.”
“kau yakin?” Tanya Adrian. “Fiona-ssi. Apa kau sibuk?”
“hah?”
“aku sepertinya tidak bisa mengendarai mobil sendiri dalam keadaan seperti ini. Jadi…”
“aku bisa.” Sela Fiona. “aku tidak ada jadwal apapun setelah ini.”
Seulas senyuman kecil tersungging di bibir Adrian. “bagus. Aku juga ingin memakan kimchi.”
Mi Na memperhatikan Adrian yang tersenyum manis kepada Fiona dengan wajahnya yang pucat itu. “baiklah kalau begitu. Aku akan meneleponmu besok Adrian.” Gadis itu kemudian mengeluarkan sebuah botol kecil dari tasnya. “oh, ya. Jangan lupa minum ini juga. Ini bisa memulihkan rasa pusingmu dengan cepat. Ibuku sering memberikanku ini.”
Adrian menerima botol itu dengan senyuman manis yang masih terlihat di wajahnya. “terima kasih, Mi Na-ssi. Kau perhatian sekali.”
Sekali lagi, Fiona merasa bodoh. Padahal baru saja Ia meyakinkan diri kalau dia tidak bodoh. Namun sifatnya yang tidak cekatan seperti Mi Na membuatnya merasa gadis itu jauh lebih baik darinya.
“kau yakin tidak keberatan masuk ke rumah laki-laki yang tinggal sendiri?” Tanya Adrian dengan nada bercanda.
Fiona menyipitkan kedua matanya. “kau bisa mengurus dirimu sendiri disaat seperti ini?”
“aku hanya bertanya.”
“aku juga hanya bertanya.” Jawab Fiona. “kalau bukan karena kau, aku pasti sudah ada di apartemenku sekarang membaca buku favoritku.”
“jadi aku mengganggumu?” Tanya Adrian lagi.
Fiona terdiam sesaat. Kenapa tadi dirinya mengatakan hal itu? Tentu saja Adrian tidak pernah mengganggunya, bahkan merepotkannya. “tidak.”
Fiona terlihat ragu sesaat, Ia kemudian meletakkan sebelah tangannya di atas kening Adrian dengan pelan. Matanya melebar begitu menyadari suhu badan Adrian yang begitu tinggi. “ya ampun, kau panas sekali.”
“benarkah?” Adrian memegang tangan Fiona yang menyentuh keningnya. “ternyata memang panas.”
Fiona menahan napasnya begitu menyadari tangan Adrian yang menyentuh tangannya. Tangan Adrian yang hangat. Hangat bukan karena suhu badannya yang tinggi. Gadis itu mengerjapkan matanya dan segera menarik tangannya cepat. “aku akan ambilkan obat, kau istirahat saja dulu.”
Adrian yang masih menyentuh keningnya sendiri kemudian mengangguk pelan. Ia memperhatikan gadis yang berjalan keluar kamarnya sambil tersenyum samar. Rambut panjang cokelatnya itu, cara gadis itu berjalan, semua perpaduan yang membuat Adrian terkesan hanya dengan melihatnya dari belakang.
Adrian kemudian berjalan keluar dari kamarnya dan duduk di atas sofa ruang tengah. Ia mengeluarkan botol kecil yang tadinya Mi Na berikan kepadanya. Tak lama kemudian, Fiona datang menghampirinya sambil membawa sebuah mapan kecil dengan segelas air dan obat di atasnya.
“kenapa tidak diminum saja?” Tanya Fiona sambil melirik ke arah botol yang Adrian pegang.
Adrian mendongak melihat Fiona, Ia lalu tersenyum tipis sambil memperhatikan botol yang dipegangnya. “tidak sekarang.” Jawabnya.
Gadis itu dengan pelan meletakkan mapan itu di atas meja. “setelah minum obat ini, kau harus tidur.”
“aku tidak mengantuk.”
“tapi kau butuh istirahat.”
“aku hanya lelah.” jawab Adrian lagi. “hanya duduk sebentar dan tidak melakukan apa-apa sudah cukup.”
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia merasa laki-laki yang diajak bicaranya ini cukup keras kepala. Ia lalu mendesah pelan. “ya sudah. Kalau kau masih pusing, sebaiknya tidur.” Balas gadis itu.
Fiona lalu menghampiri sofa lainnya dan mengeluarkan buku novel yang tadi sempat dibacanya di kafe. Adrian memperhatikan gadis itu. Ia kemudian berpikir sejenak, bertanya-tanya kepada dirinya sendiri apakah Ia harus menanyakan hal itu pada Fiona. Adrian lalu memutuskan untuk bicara. “apa kau tidak mau bertanya tentang sesuatu?”
Fiona yang tadinya berkonsentrasi dengan bukunya kemudian menoleh ke arah Adrian dengan sebelah alis terangkat. “bertanya tentang apa?”
“kenapa Mi Na datang ke studioku.”
Fiona terdiam sesaat. Rasa penasaran kemudian timbul begitu saja di dalam hatinya. “kenapa dia datang?”
Adrian menunduk dan tersenyum kecil, perasaan senang terbit begitu melihat Fiona yang penasaran menunggu jawabannya. “aku tidak menyuruhnya datang.”
“lalu?”
“dia datang sendiri.” Jawab Adrian. “katanya dia ingin membuat kejutan untukku.”
Kejutan? Pintar sekali. Pikir Fiona. Gadis itu kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke buku yang dipegangnya.
“aku tidak tahu dari mana Mi Na mendapatkan alamat studioku.” Tambah Adrian. “yang jelas, tidak ada orang lain yang aku tunggu selain kau, Fiona-ssi.”
Ucapan Adrian barusan membuat Fiona mendongak dan menatap laki-laki yang sejak tadi sudah memperhatikannya. Kedua pasang mata itu bertemu untuk beberapa saat dan Adrian menyunggingkan senyuman manis yang selalu membuat Fiona merasa hangat.
“lalu… kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya? Maksudku, kalau kau sakit. Mungkin aku bisa datang lebih awal.” Kata Fiona dengan nada setengah ragu.
“tunggu dan lihat saja nanti.” Balas Adrian.
Fiona menatap Adrian dengan heran. Ia tidak mengerti sama sekali dengan apa yang laki-laki itu maksud. “kau bilang apa?”
Adrian hanya tersenyum kepada Fiona dan melihat ke sekeliling ruangan, pandangannya terhenti pada piano putih yang terletak di sisi ruangan dekat tangga.
“kau sudah pernah melihatku bernyayi?”
“tentu saja. Di televisi.” Jawab gadis itu sambil menutup novelnya. Ia kemudian mengikuti arah pandangan Adrian ke sisi ruangan.
“kau bisa bermain piano?” Tanya Fiona dengan nada bersemangat.
“jadi sebelumnya kau meremehkan kemampuanku?”
Fiona mengiyakkan perkataan Adrian barusan dan beranjak dari sofa. “apa kau bisa memainkannya sekarang?”
Adrian menatap wajah gadis itu yang terlihat cerah dan bersemangat. “kau akan berikan aku apa?”
Alis Fiona terangkat. “ayolah, jangan bercanda lagi. Cepat, aku ingin melihatmu bermain.” Ujar Fiona sambil menarik-narik tangan Adrian.
Laki-laki itu mengalah, Ia kemudian beranjak dari sofanya dan berjalan menghampiri piano putih itu. Fiona yang berjalan mengikutinya terlihat lebih antusias.
Adrian duduk di depan pianonya dan sebelum jemarinya mulai bermain, Ia melirik menatap Fiona. “lihat. Apa kau tahu kalau kau sudah berhasil memaksa orang sakit?”
Fiona mengerjapkan matanya, seakan-akan Ia lupa kalau sebenarnya Adrian sedang sakit. “ah, iya. Tapi kau sendiri bilang tidak mau tidur, bukan? Dari pada diam-diam, lebih baik bermain piano.”
“kau memangnya salah satu fansku?” Tanya Adrian.
“memangnya hanya fans yang bisa melihatmu bermain piano secara langsung?”
“ya.” Jawab Adrian singkat tanpa menatap Fiona. Ia hanya menunduk memperhatikan tuts-tuts pianonya dan menahan diri untuk tidak melihat ekspresi gadis di depannya itu.
“aku memang bukan salah satu dari fans fanatikmu.” balas Fiona. “tapi aku juga termasuk orang yang menyukai musikmu. Hanya saja tidak fanatik.”
Adrian tersenyum kecil dan mengangkat kepala melihat gadis itu. “oke. Satu lagi.”
Fiona mendecak lidah. “Apa kau selalu begini setiap orang hanya memintamu untuk bermain piano?”
“datang denganku ke pesta malam kesenian di Kyung Hee.” Ucap Adrian mengabaikan pertanyaan Fiona. “kalau kau memang ingin melihatku bermain piano, itu syaratnya.”
Fiona sedikit terkejut mendengar perkataan laki-laki itu. “kau diundang?”
Adrian mengangguk. Gadis di depannya itu terlihat ragu. “Aku tidak akan mengumumkan kalau kau itu adalah kekasihku.” Tukas Adrian seakan-akan Ia tahu apa yang gadis itu sedang pikirkan.
Fiona lalu menghela napas pelan. “baiklah.”
Adrian yang mendengar jawaban Fiona lalu menepuk kedua tangannya dan tersenyum puas. “oke. Aku akan memainkan satu lagu instrumental.”
“akhirnya.” Ucap Fiona. “apa kau selalu membuat sebuah syarat setiap orang memintamu untuk bermain piano?”
“tidak juga. Hanya denganmu.” Jawab Adrian dengan santai.
Fiona menatap laki-laki itu dengan kedua mata disipitkan, lalu Ia mengalihkan wajah. “ternyata kau cukup licik juga.”
“licik?” Adrian kemudian tertawa kecil. “yang penting kau mau pergi bersamaku.”
Nada suara Adrian membuat Fiona menoleh menatapnya. Apakah hanya perasaannya atau nada suara Adrian memang tiba-tiba berbeda?
Adrian kemudian menatap gadis yang sedang memperhatikannya. “aku akan memainkan satu lagu instrumental dan kau harus menebak judulnya.”
Lamunan Fiona dibuyarkan oleh suara Adrian. Seulas senyuman tipis tersungging di bibirnya. “oke.”
Kedua mata Adrian awalnya menatap Fiona untuk beberapa saat. Gadis yang ditatapnya merasa heran dan mendapati dirinya tidak bisa mengalihkan pandangannnya sendiri. Seakan-akan merasa tenggelam dalam tatapan kedua mata cokelat gelap itu, Ia tidak menyadari jemari-jemari Adrian yang sudah mulai memainkan tuts-tuts piano. Fiona merasa ada yang berbeda dari Adrian saat Ia memainkan piano. Sesuatu yang tidak bisa gadis itu jelaskan, sesuatu yang menghanyutkan perasaannya sendiri hanya dengan melihat laki-laki itu bermain piano. Setiap nada yang dimainkannya mencerminkan perasaan senang dan bahagia, sesuatu yang cerah. Seakan-akan orang yang memainkan musik itu telah menemukan sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Perasaan yang membuatnya merasa dunia telah berubah lebih cerah dan menyenangkan, sesuatu yang tidak akan Ia lepaskan.
Fiona memejamkan kedua matanya, hanyut dalam setiap nada yang dimainkan Adrian. Gadis itu menemukan ketenangan dan kenyamanan selama musik itu terus dimainkan.
Begitu Adrian selesai memainkan pianonya, Ia menoleh ke arah Fiona yang masih memejamkan matanya. “bagaimana?”
Gadis itu kemudian membuka kedua matanya dan tersenyum. “itu bagus sekali.” Pujinya. “aku tidak terlalu yakin soal judulnya, tapi aku yakin musik tadi menggambarkan sebuah perasaan yang spesial. Perasaan yang membuatmu berbunga-bunga setiap kali kau bangun di pagi hari. Perasaan yang tidak akan pernah kau lepaskan. Sesuatu yang baru dan indah.”
“Ternyata kau memang pandai.” Adrian tersenyum lebar. “judulnya First Love oleh Utada Hikaru. Dan semua yang kau deskripsikan sama persis dengan apa yang kupikirkan tentang lagu ini.”
“benarkah? Setiap nadanya sangat indah.” Puji Fiona lagi. Ia kemudian mulai merasa penasaran. “kenapa kau memainkan musik itu? apa kau juga suka? Lalu kenapa kau memintaku untuk menebak judulnya?”
Adrian terdiam sesaat sambil mengelus pelan piano putihnya. “karena aku selalu memainkan lagu yang sesuai.”
Alis Fiona terangkat sedikit. Lagi-lagi laki-laki itu membuatnya bingung. “sesuai dengan…”
“dengan selera banyak orang.” Lanjut Adrian.
“oh…” Fiona menunduk, ternyata yang diduga dalam pikirannya salah.
“selain itu aku juga merasa lagu ini bisa menggambarkan perasaan seseorang.”
Fiona mendongak menatap Adrian. “siapa?”
“seseorang yang dekat denganku.” jawab Adrian. Ia lalu mengangkat kepala menatap Fiona, “sangat dekat.”
“siapa?” Tanya Fiona sekali lagi.
Adrian tersenyum lebar, Ia tidak bisa menahan diri melihat raut wajah Fiona yang begitu penasaran. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. “aku sangat capek. Aku mau tidur.”
Mata Fiona melebar, kesal karena pertanyaannya tidak dijawab. Ia lalu berseru sambil mengikuti Adrian dari belakang. “hei, kau belum menjawabku! Perasaan siapa yang kau maksud?”
Senin, 23 Juli 2012
Bagian Dua Belas
Adrian sedang
terduduk di depan meja kerjanya sambil sesekali menyentuh dahinya yang hangat.
Potongan-potongan kecil kertas berserakan di lantai. Kepalanya terasa
berdenyut-denyut untuk kesekian kalinya, Ia bisa merasakan suhu badannya yang
tidak biasa dan napasnya yang panas. Meskipun begitu, Adrian tidak peduli, Ia
harus tahan rasa pusingnya. Ia harus menyelesaikan itu secepatnya. Sudah
sekitar dua jam lebih Ia mengerjakan tumpukan kertas daun daur ulang itu.
Kumpulan kertas itu diikat dengan pita cokelat kecil seperti buku, dan pada
bagian teratas terdapat motif hiasan akar tumbuhan yang didekorasinya sendiri.
“Selesai.” Kata Adrian sambil tersenyum puas walaupun Ia
menyadari wajahnya yang memucat.
Ia lalu mengambil beberapa foto
yang sudah dipilih sebelumnya dan mulai menempelkan setiap foto pada sisi kiri
halaman. Pada sisi kanan halaman, Adrian menulis beberapa kata yang berhubungan
dengan setiap foto yang tertempel.
Setelah menyelesaikan bagian
dalam buku, Ia lalu mengambil pulpen berwarna perak dan menulis pada halaman
terdepan:
It belongs to: Red Bloom
Adrian kembali tersenyum puas
begitu menyelesaikan sentuhan terakhir. Ia lalu menarik laci kecil di mejanya
dan menaruh bukunya yang berwarna cokelat itu di bagian terdalam laci.
“kau akan aman di sini.” ucapnya sambil
menepuk pelan buku itu.
Tiba-tiba ponsel di dalam sakunya
bergetar. Alisnya sedikit terangkat begitu melihat nama ibunya di layar ponsel.
Jangan lupa besok adalah hari peringatan ayahmu.
Sambil berpikir sejenak, Adrian
memijat pelipisnya, “oh ya, benar juga.”
Ia meringis pelan begitu
kepalanya kembali berdenyut. Sekarang kepalanya terasa berputar-putar dan
sepertinya tidak bisa ditahan lagi. “Bodoh. Kenapa tiba-tiba jadi tidak kebal begini?”
“Hwa Young-ssi!”
Fiona terloncat di sofanya begitu
mendengar suara Min Rae yang lantang memanggilnya. “apa?”
“apa kau tidak mendengarku sudah
memanggilmu tiga kali?”
Fiona menatap temannya dengan
linglung. “hah?”
“memang benar.” ujar Min Rae
sambil mendengus. “pikiranmu sudah melayang.”
Min Rae lalu melirik ke arah
tangan Fiona, Ia menyipitkan kedua matanya. “apa kau tidak bisa membantuku
sebentar dan kembali memelototi ponselmu nanti?”
“siapa yang memelototi ponsel?”
protes Fiona.
“Hwa Young-ssi. jika ada orang lain di sini mereka pasti akan setuju
denganku.”
Fiona mendecak lidah, lalu Ia
beranjak dari tempat duduknya. “kau ingin minta bantuan apa?”
Min Rae lalu mengulurkan sebelah
tangan sambil memegang sebuah buku tebal. “ini novel favoritmu, bukan?”
Fiona terdiam sesaat memperhatikan novel ditangan temannya itu, lalu
senyumnya mengembang. “kau temukan di mana? Aku sebelumnya sudah mencari
keliling apartemen tapi tidak ketemu.”
“aku sendiri juga heran begitu
menemukannya di bawah tempat tidur.” Sahut Min Rae sambil menepuk-nepuk buku yang
sedikit berdebu itu.
Fiona hanya menggaruk pelan
kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum malu. “sepertinya aku baca buku di
mana-mana.”
Min Rae tersenyum kecil. “aku
bisa lihat itu. Apa menurutmu buku ini masih ada di toko?”
“aku tidak yakin. Buku itu aku
beli empat tahun yang lalu. Memangnya kenapa?”
“kau bisa bantu aku mencari toko online yang masih menjual buku ini,
bukan?” tanya Min Rae dengan senyum penuh harap. “aku sempat membaca beberapa halaman, sepertinya cerita yang sangat menarik.”
Fiona lalu tersenyum kecil.
“bukankah bagimu semua buku yang aku baca memang selalu menarik?”
“harus kuakui, Hwa Young-ssi. pilihanmu memang selalu tepat.”
Gadis yang dipujinya hanya
mengangguk dan mengambil buku itu dari Min Rae. “aku sudah merindukan buku
ini.”
“kalau begitu berterima kasihlah
padaku.” Balas Min Rae. “omong-omong, telepon dari siapa yang kau tunggu sejak
tadi?”
“hah?”
“dari Adrian?” ucap Min Rae tanpa
menunggu jawaban. “oh, memang Adrian.”
“kenapa kau asal tebak begitu?”
“memangnya aku salah?”
Fiona hanya tersenyum tipis
sambil menggelengkan kepala. “kau sebenarnya ingin dibantu atau tidak?”
Sudah pukul sebelas malam. Tapi
masih belum ada satupun pesan atau telepon darinya. Apa dia lupa janjinya tadi siang untuk
menelepon? Atau dia hanya sekedar mengatakan itu?
“ahhh, Fiona. kenapa menunggu
sesuatu yang tidak pasti?” gumamnya pada diri sendiri. “kalau tahu begini,
seharusnya sejak tadi aku membaca buku! Ahh kacau.”
Fiona lalu beranjak dari tempat
tidurnya dengan malas dan menghampiri meja kerjanya. Saat sudah membuka
bukunya, gadis itu mengernyitkan alis.
“kenapa aku merasa aneh seperti
ini?”
Ia lalu melempar kembali bukunya
ke meja dan bersandar di sisi tembok. “besok sudah tepat empat belas tahun
sejak hari kecelakaan itu.” Gumamnya dengan tatapan melamun.
Fiona lalu menghela napas dan
menghempaskan badannya ke tempat tidur. Rasa kantuknya mulai muncul, Ia
kemudian memejamkan kedua matanya perlahan. “Ibu, sampai ketemu besok.”
“apa kau yakin bisa melakukan
rekaman hari ini?”
Adrian mengangguk pelan. Walau
kepalanya masih terasa berat, Ia tidak ingin memperlihatkan itu kepada
managernya yang menatapnya khawatir.
“Yang bermasalah itu bukan
suaraku. Aku masih bisa bekerja.”
“kau harus bilang jika kau
kelelahan nanti.” Balas Mike.
“aku tahu itu.” Adrian kemudian
tersenyum menatap raut wajah Mike yang terlihat was-was. “jangan menatapku
seperti itu. Aku tidak seperti orang yang harus dirawat di rumah sakit.”
Mike mengangguk dan terdiam
sejenak. Ia lalu teringat sesuatu. “oh ya. Hari ini hari peringatan ayahmu,
bukan?”
“ya.”
“tidak terasa, sudah empat belas
tahun beliau tidak ada di sini.”
“mm.”
Mike lalu menyadari perubahan
sikap Adrian dari suaranya yang terdengar datar. “Ad, kau baik-baik saja?”
Adrian tidak menjawab untuk
beberapa saat. Ia terlihat berpikir. “seandainya aku masih ingat apa yang
terjadi waktu itu.”
Mike menemukan dirinya tidak bisa
berkata apa. Ia lalu menghampiri Adrian dan menepuk bahu laki-laki itu. “tidak
usah merasa bersalah seperti itu. Siapa yang menyangka kalau penyakitnya akan kumat
saat itu juga?”
Adrian masih terdiam dengan
tatapan menerawang. Ia sudah terlanjur tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mike
lalu berusaha menemukan sebuah pertanyaan. “apa kau sudah memberitahu adikmu?”
“percuma.” Jawab Adrian cepat.
“dia tidak akan mendengarkan. Entahlah, apa yang terjadi dengan gadis itu.
Sepertinya Katherine tidak mau mengingat ayahnya lagi.”
“apa kau tahu alasannya?” tanya
Mike.
Adrian lalu menoleh ke arah Mike
yang menunggu jawabannya. “tidak.”
Ia lalu menegun, kembali
menyalahkan dirinya sendiri dalam hati. Namun kemudian Adrian menggelengkan
kepalanya dengan tegas dan mengambil ponselnya di sofa. “sebaiknya kita
bergegas ke studio sekarang. Aku tidak mau buang waktu.”
“aku rasa kurang pas di bagian itu.” Ucap
Adrian setelah dengan seksama mendengarkan rekamannya.
“kita ulang lagi. Oke?”
Mike menatap wajah Adrian dengan
mata disipitkan. “apakah kau sadar kalau kau berkeringat dingin?”
“tidak.” Sahut Adrian sambil
mengelap tetesan keringat di keningnya.
“Ad, wajahmu pucat.”
“aku baik-baik saja.” Bantah
Adrian. “yang penting suaraku baik-baik saja.”
Ia lalu berjalan memasuki ruang
rekaman sambil memijat pelan pelipisnya dan bergumam tidak jelas. Managernya
itu masih memperhatikannya dengan tatapan khawatir.
“apa kau butuh obat?” tawar Mike.
Adrian mengibaskan tangannya dan
menggeleng pelan. Baru saat Ia segera memakai headphones, gadis yang dikenalnya muncul dari pintu luar studio.
“Halo.”
Mike segera memutar kursinya dan
menghadap gadis yang tersenyum ramah itu. “oh, Song Mi Na! benar-benar sebuah
kejutan.”
Mi Na melirik ke arah Adrian yang
ada di dalam ruangan rekaman, lalu kembali menatap Mike. “Apa aku mengganggu?”
“tentu saja tidak. Adrian baru
saja ingin mengulang sedikit bagian.”
Adrian yang sudah beranjak keluar
dari ruangan rekaman lalu menghampiri Mi Na sambil tersenyum. “aku tidak tahu
kalau kau akan datang.”
“aku memang sengaja tidak
memberitahumu. Aku ingin membuat kejutan.” Balas Mi Na dengan senyuman
termanisnya. Ia lalu mengkerutkan keningnya begitu menyadari warna wajah Adrian
yang berbeda. “apa kau baik-baik saja?”
“oh, ini…” ujar Adrian pelan sambil menahan rasa sakit di kepalanya yang muncul tiba-tiba. “ini masih belum
apa-apa.”
“kau yakin?” tanya Mi Na,
terdengar kekhawatiran dari suaranya itu. “apa kau tidak mau istirahat
sebentar?”
“aku sudah coba memberitahunya
tadi.” Sela Mike. “tapi sepertinya dia tidak akan mendengarkanku sama sekali.”
Adrian menatap Mike dengan mata
disipitkan. “kau tahu sendiri, bagian ini harus aku selesaikan.”
“apa kau harus menyelesaikannya
sekarang juga?” Mi Na kembali menyela. “jangan memaksa seperti itu, Adrian.”
“tapi aku…”
“kebetulan aku membawakan makan
siang. Bagaimana kalau kau makan dulu?” bujuk Mi Na.
Mike menatap kedua orang di
depannya bergantian. “Mi Na benar. Lebih baik kau makan dulu.”
Adrian hanya mendesah pelan, Ia
lalu mengalah. “baiklah. Aku juga mulai lapar.”
Fiona sedang menikmati cappuccino hangat di kafe langganannya
sambil membaca ulang buku favoritnya sejak empat tahun yang lalu, Fallen.
Ia teringat akan bagian
favoritnya di buku itu. Fiona lalu membalik-balikkan halaman dan menggunakan
telunjuk jarinya untuk menemukan paragraf yang masih diingatnya.
‘Love is fallen. Like Fallen Angels.’
Seulas senyuman manis tersungging
dibibirnya. Fiona kemudian menatap ponselnya yang terbaring di meja. Tidak ada.
Tidak ada pesan ataupun panggilan darinya. Sejak kemarin siang. Apa dia memang
lupa?
Fiona hanya mendesah pelan dan
kembali membaca bukunya. Selang beberapa saat, Ia kembali melirik ke arah
ponselnya. Apa Ia harus mencoba untuk meneleponnya? Fiona tidak pernah menelepon
Adrian lebih dulu. Laki-laki itu selalu meneleponnya setiap hari dengan alasan
yang tidak jelas dan bertele-tele, tapi entah kenapa Fiona tidak pernah terlalu mempermasalahkan itu dan terkadang Ia lebih memilih Adrian yang suka iseng dan
merepotinya dibandingkan Adrian yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar seperti ini. Setelah memutuskan untuk beberapa saat, Fiona akhirnya memutuskan
untuk menelepon.
“Fiona-ssi.”
Terdengar suara Adrian yang lemah
di ujung sana. Fiona lalu mengkerutkan keningnya. “Adrian? Kau baik-baik saja?”
“ya. Tidak.. mmm, sepertinya
tidak terlalu.” Jawab Adrian ragu.
Fiona terdiam sejenak. Mungkin
itu alasannya Adrian tidak sempat menghubunginya kemarin.
“maafkan aku.” Kata Adrian
tiba-tiba. “kemarin bukannya aku lupa menghubungimu. Aku sangat pusing, jadi
aku ketiduran.. maaf.” Lanjut Adrian, seakan-akan Ia bisa membaca pikiran
gadis itu.
“itu bukan masalah penting.”
Sahut Fiona. “kau sendiri bagaimana? Kau sudah makan siang? Sudah minum obat?
Kenapa kau tidak beritahu aku kalau kau sakit? Oh, dan sekarang kau ada di
mana?”
Adrian terkekeh mendengar ocehan gadis itu. “aku benar. Kau memang cerewet.”
“apa?” suara Fiona sedikit melengking. “aku
begini karena aku khawatir!” Fiona dengan cepat menutup mulutnya, terkejut
dengan apa yang barusan Ia katakan. Ia lalu memukul pelan kepalanya. Bodoh! gumamnya dalam hati.
“aku tahu kau khawatir.” Balas
Adrian setelah jeda beberapa saat. “aku senang, terima kasih.”
Fiona mendapati dirinya tidak
bisa menjawab. Tenggorokannya terasa sedikit tercekat begitu mendengar nada bicara
Adrian yang berubah lembut. Nada bicara yang bisa membuat Fiona terhipnotis. Nada
bicara yang selalu Ia dengar setiap kali Adrian menatap kedua mata hijaunya
lurus-lurus.
“tapi kau tenang saja.”
Lamunannya dibuyar suara Adrian. “Mi Na datang ke studio dan membawakanku makan
siang. Jadi setidaknya aku tidak kelaparan dan merengek-rengek memintamu
membawakanku kimchi.”
Mata Fiona melebar begitu
mendengar nama Song Mi Na disebut. “Mi Na?”
“ya. Syukurlah dia datang.”
Fiona membuka mulutnya, ingin
mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Bagaimana Mi Na bisa tahu kalau Adrian
sekarang ada di studio? Apakah Adrian memberitahunya? Kenapa Fiona merasa tidak berguna dan tolol seperti ini? Dia bahkan tidak tahu
apa-apa sebelumnya.
“kau masih ada di studio, bukan?”
tanya Fiona tiba-tiba.
“ya. Ada apa?”
“aku akan ke sana sekarang.”
Jawab gadis itu. “beritahu aku alamatnya.”
“kau tidak sibuk?” tanya Adrian
ragu.
“tidak sama sekali.” Fiona lalu
menutup novelnya dan memasukkannya ke dalam tas. “kalau kau sakit, kenapa tidak
memberitahuku dari kemarin? Atau tadi pagi? Apa sangat susah hanya untuk
mengirim pesan ‘aku sakit, bisa datang membantuku?’ atau kau memang hanya malas
dan tidak mau terlihat lemah?”
“Fiona-ssi, aku…”
“kirimkan alamat studiomu lewat sms.” Sela Fiona. “tunggu di sana,
jangan kemana-mana.”
Langganan:
Postingan (Atom)
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.