Sudah
sejak sejam yang lalu Fiona terpaku dalam posisi yang sama. Masih menggenggam
erat pulpen hitamnya dan matanya tidak pernah berpaling dari kertas putih yang
sudah dipenuhi hangul. Awalnya Ia
berniat menumpahkan semua idenya dalam bahasa inggris, tapi entah kenapa, saat
Ia sudah duduk di depan meja tulisnya dan siap untuk menulis, semua rencana itu
berubah seketika. Semua pikirannya sudah tertulis di atas kertas dalam bahasa
Korea. Semuanya sudah teratur sejak Fiona menulis sejam yang lalu. Satu demi
satu, Fiona menumpahkan semuanya di atas selembar kertas putih. seakan-akan Ia
tidak berpikir, Fiona membiarkan tangannya bergerak mengikuti perasaannya.
Kini
tinggal satu paragraf lagi. Untuk yang satu ini Fiona benar-benar tidak tahu
harus menulis apa. Karena untuk melanjutkannya Fiona tidak bisa menggunakan
pikirannya sendiri. Ia butuh kepastian. Dan itu bukanlah kepastian dari
dirinya. Karena Ia yakin, semua kebingungan dan kegelisahannya selama ini sudah
bisa Ia atasi.
Suara pintu
terbuka membuat Fiona terkesiap, Ia lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati
Min Rae yang memandangnya dengan alis terangkat. “menulis lagi?” mata hitam Min
Rae lalu melirik ke arah kertas Fiona. “jarang sekali kau menulis dalam bahasa
korea.”
Saat
Min Rae mengulurkan tangannya untuk mengambil kertas itu, Fiona segera menarik
kertasnya dan meletakkannya di dalam laci. “belum selesai.”
Min
Rae mendengus. “kenapa kau selalu ‘bisa baca kalau sudah selesai’”?
Fiona
menggeleng pelan dan tertawa hambar. “aku tidak suka karyaku dibaca setengah
jadi. Aku janji akan memperlihatkannya padamu kalau sudah selesai. Oke?”
Min
Rae akhirnya mengalah dan menarik tangan Fiona. “terserah. Tapi sebagai
gantinya kau harus membantuku menghias pohon natal.” Fiona tidak menjawab, Ia
hanya tersenyum dan membiarkan dirinya ditarik keluar kamar.
“Good job, Adrian.” Puji Mike sambil
menepuk bahu artis binaannya itu. Showcase
spesial Natal mereka sukses besar, semua tiket konser habis terjual. Adrian
menghembuskan napas lega dan segera menjatuhkan diri di atas sofa lebar. “aku
sangat bersyukur kau tidak memperlihatkan wajah kusutmu di atas panggung.”
“aku tidak
mungkin melakukan itu di depan semua penggemarku.” Ujar Adrian sambil
memejamkan mata. Sesaat kemudian Ia tersenyum. “jujur saja, aku tidak bisa
menahan senyum saat mereka tersenyum lebar untukku.”
Mike kemudian
menghampiri Adrian dan mengacak-ngacak rambut pria itu. “itulah Harrison yang
aku tunggu-tunggu. Baguslah kalau penggemarmu bisa membuat suasana hatimu lebih
baik.”
“mmm.”
Jawab Adrian singkat. Ia tahu kalau suasana hatinya yang sempat membaik tidak
akan bertahan lama. Saat semua kemeriahan ini sudah selesai, Adrian akan
kembali merenung dan otaknya akan kembali dipenuhi dengan gadis itu. Mungkin
penggemarnya memang bisa menghibur dirinya, tapi bahkan saat Adrian menyanyikan
beberapa lagu, bayangan Fiona muncul begitu saja tanpa permisi. Mungkin itu
karena Ia terlalu menghayati lagunya. Sampai-sampai Fiona menghampiri
pikirannya hampir di setiap lagu yang ia nyanyikan. Seakan-akan semua lagu itu
hanya Adrian curahkan untuk Fiona.
“hey, aku
keluar dulu. Harus membantu para kru di luar. Kau istirahat saja, oke?” Suara
mike membuyarkan lamunan Adrian. Ia lalu bangkit dari sofanya dan mengangguk
singkat. Sesaat kemudian Adrian mengambil ponselnya yang diletakkan di atas
meja rias. Ia lalu mengaktifkan ponselnya dan menatap wajah gadis blasteran
yang terpampang di layarnya. Adrian sendiri juga tidak tahu kenapa tadi siang
Ia mengganti latar belakang ponselnya dengan foto Fiona. Mungkin itu karena Ia
terlalu merindukan gadis itu. Merindukan suaranya… tatapannya. Merindukan cara
gadis itu menatap dirinya.
Adrian
terkesiap saat ponsel ditangannya bergetar. Nama “Cherry Blossom” kemudian
muncul di layar ponselnya dan mata Adrian melebar. Untuk beberapa saat Adrian
hanya terpaku seperti itu. Ia akhirnya menggelengkan kepala untuk menyadarkan
diri. Sebelum gadis itu memutuskan panggilannya, Adrian buru-buru memencet
tombol “ok.”
Dengan
perlahan Adrian menggerakkan ponselnya ke arah telinganya, ada perasaan takut
kalau yang menghubunginya itu bukanlah Fiona. Semua ini terasa seperti mimpi.
“ha-lo?”
suara lemah dan ragu terdengar dari ujung sana.
‘memang dia.’ Ujar Adrian dalam hati. Seulas senyuman
manis muncul di wajah Adrian tanpa Ia sadari. Rasanya sudah seperti puluhan
tahun tidak mendengar suara gadis itu. Sudah berapa hari mereka tidak bertemu?
Tiga hari?
“Adrian?
Kau di sana?” ujar Fiona lagi.
“mm. aku di sini, Fiona. di sini.” Adrian tidak bisa menahan perasaan lega dan
ringan yang kini menyerbu dadanya. Ia yakin ini adalah perasaan terbaik yang
pernah Ia rasakan di dalam hidupnya. Senyumnya lalu melembut. “sudah lama…
tidak bicara. Selamat Natal.”
Fiona tidak
menjawab untuk beberapa saat. Adrian hampir yakin kalau gadis itu sudah
memutuskan sambungan. Tiba-tiba terdengar tawa rendah, “bukankah hanya 3 hari
kita tidak bertemu? Tapi kau benar, rasanya lama sekali. Mungkin karena tidak
ada yang memerintahiku untuk memasak lagi.” Ujar Fiona, lalu “selamat Natal juga, Adrian.”
‘tidak ada yang memerintahiku untuk memasak lagi.’ Adrian
mengulang perkataan Fiona itu di benaknya. Mungkin gadis itu memang benar-benar
tidak merindukannya, seperti Adrian merindukan gadis itu. Adrian tidak tahu
harus berbicara apa, rasanya pikirannya kosong seketika, namun Fiona kembali
bersuara, “kau sedang apa?”
“aku baru
saja menyelesaikan showcase natal.”
Jawab Adrian. “maaf tidak mengundangmu.”
“tidak
masalah. Lagipula aku juga sedang membantu Min Rae menghiasi pohon natal.”
Balas Fiona. “aku yakin dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja.”
Setelah
Fiona selesai bicara, Adrian benar-benar tidak tahu bagaimana Ia harus
menanggapi. Ya Tuhan, kenapa otaknya tiba-tiba sangat lamban? Adrian sangat
tidak ingin kalau Fiona cepat-cepat mematikan ponselnya dan…
“ngomong-ngomong soal Natal…” Gadis itu kembali memulai pembicaraan. Adrian
lalu menghembuskan napas lega.
“besok…
bagaimana? Kau memang akan menunggu atau tidak? Aku tidak ingin terlihat
seperti gadis tersesat.” Ujarnya sambil bergurau.
Senyum
Adrian melebar. Ia tidak bisa menolak seberkas harapan yang muncul di dalam
hatinya. “aku memang berencana seperti itu.”
“lalu?”
“aku tunggu
kau jam tujuh malam di sungai Hangang. Tidak, terserah kau saja mau datang jam
berapa. Aku akan menunggu.” Jelas Adrian.
“baiklah. Apa
aku hanya perlu membawa diriku?”
Adrian
tertawa singkat, Ia lalu berkata, “hanya dirimu. Jangan bawa Min Rae. Apalagi
Jae Woo.”
Fiona
tersenyum lebar mendengar gurauan Adrian. Namun Ia yakin Adrian tidak bercanda.
“baiklah. Sampai jumpa besok, Adrian.”
“Fiona.”
“ya?”
“aku
merindukanmu. Sangat.”
Salju turun
di hari Natal. Pagi ini bahkan terasa seperti es. Awalnya Fiona hanya berencana
menggunakan gaun kasual putihnya, namun sepertinya sekarang harus ditambah
dengan baju dingin berbulu warna putih dan sepatu boots putih. seluruh tubuhnya
terasa dingin, Fiona pun akhirnya memutuskan untuk menggunakan earmuffs putih yang sesuai dengan warna
pakainnya. “sudah siap.” Gumam Fiona dalam hati.
Fiona
segera bergegas keluar kamarnya dan mencari-cari Min Rae yang sepertinya sedang
tidak ada di apartemen. Saat Fiona hendak mematikan pemanas di ruang tamu, Ia
mendapati kertas kecil berwarna merah yang tertempel di kulkas. “aku ada acara natal mendadak. Mungkin akan
kembali besok pagi. Merry Christmas my beautiful girl, Park Hwa Young! Semoga
natalmu menyenangkan.”
“Semoga
natalmu menyenangkan juga Min Rae.” Ujar Fiona sambil tersenyum menatap kertas
merah itu. Ia lalu melipat dan menyelipkan kertas itu ke dalam tas kecilnya.
Fiona melirik jam tangannya sesaat dan lalu bergegas mengambil kunci apartemennya.
“Kau ingin
aku melukismu seperti itu?” Tanya Jae Woo dengan sebelah alis terangkat. Semua
peralatan melukisnya sudah siap. Sejak tadi Ia hanya terduduk di kursi
tingginya di depan kanvas besar menunggu Fiona. Gadis itu membuka pintu
studionya tepat di saat Jae Woo sedang tenggelam dalam imajinasinya.
“apa kau
tidak tahu kalau di luar sangat dingin?”
“sejak
kemarin aku ada di studio.” Jawab Jae Woo. “mungkin akan lebih baik jika aku
bisa melihat wajahmu dengan jelas.”
Fiona
menyadari wajahnya yang tertutupi bulu jaket tebalnya. Ia segera melepaskan
jaketnya dan meletakkan tas juga jaketnya di sisi sofa di seberang ruangan.
“sudah lebih baik?”
Jae Woo
memperlihatkan senyum lebarnya. “lebih baik.”
“jadi… kau
ingin aku bagaimana?” Tanya Fiona ragu.
Jae Woo
kembali mengangkat sebelah alis. “maksudmu? Oh… kau tidak perlu berpose atau
semacamnya. Aku sudah biasa melukismu tanpa kau sadari.”
“apa?”
Jae Woo
kembali tersenyum dan kini menatap Fiona yang menatapnya dengan mata agak tidak
percaya. “aku selalu melukismu, Hwa Young. Saat kau menulis, saat kau membaca.
Saat kau melakukan apapun yang menurutku terlihat menarik.” Jelas Jae Woo. “dan
lukisanmu yang kau lihat dulu, bukanlah satu-satunya. Masih ada puluhan
lainnya.”
Fiona tidak
menjawab untuk beberapa saat. Ia lalu bertanya, “bagaimana kau bisa melukis
sebanyak itu? Memangnya kau bisa mengingat setiap detail?”
Jae Woo
kemudian mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “setiap detail
wajahmu sudah tercetak di sini.” Ujarnya. “awalnya aku pikir dengan melukis
bisa membantuku melupakan banyak hal. Karena aku bisa melukis isi pikiranku di
atas kanvas, dan membiarkan mereka menempel di sana, mencegah mereka untuk
kembali ke otakku. Tapi untuk melupakanmu…”
Belum
sempat Jae Woo menyelesaikan kalimatnya, Fiona segera mengalihkan pembicaraan.
“bagaimana kalau kita mulai sekarang? Aku hanya perlu diam saja, bukan? “
“sulit.”
Ucap Jae Woo menyelesaikan perkataannya. Ia lalu mengambil kuas kecilnya dan
dengan tangan terangkat, siap untuk melukis, Ia menatap Fiona. “lakukan apa
saja yang kau mau.”
Fiona
mengangguk pelan. Ia duduk di atas sofa dan menatap lantai. Kenapa Jae Woo
harus memberitahunya semua itu saat ini? Kenapa tidak dari dulu? Saat Fiona
masih mengharapkannya. Saat Fiona masih sangat ingin bersamanya. Semua
perkataan Jae woo barusan, walaupun itu memang benar-benar berasal dari lubuk
hatinya, tidak akan merubah apapun. Karena Fiona sudah tidak ingin melihat
kembali ke masa lalu.
“Fiona.”
Suara Jae Woo membuyarkan lamunan Fiona. Saat Fiona mendongak, Jae woo sudah
berdiri di depannya. “aku ingin kau menggunakan ini.”
Mata Fiona
lalu mengarah ke arah gelang perak yang penuh dengan bintang-bintang kecil
berwarna hijau. Hanya dengan sedikit gerakan, gelang itu bisa memantulkan
cahaya hijau yang sangat indah di sekitarnya. “kau ingin aku menggunakan ini
saat kau melukis?”
“gelang ini
untukmu. Dan ya, aku ingin melukismu dengan gelang ini.” Ujar Jae Woo sambil
mengulurkan tangannya. Fiona membiarkan Jae Woo mengenakan gelang bintang itu
di pergelangan tangannya. “aku rasa gelang ini sangat cocok dengan warna
matamu. Jadi aku memutuskan untuk membeli gelang ini kemarin sebagai hadiah
Natal. Selamat Natal, Hwa Young.”
Untuk
beberapa saat Fiona hanya menatap gelang itu. Ia tidak bisa mengalihkan
perhatiannya dari cahaya hijau yang terus dipantulkan bintang-bintang di gelang
itu. “terima kasih. Maaf, seharusnya aku juga membawa hadiah Natal.”
“aku tidak
mengharapkan hadiah apapun darimu.” Kata Jae Woo. “kau bersedia menjadi model
lukisanku, itu sudah lebih dari cukup.”
Fiona hanya
tersenyum tipis. Ia tahu kalau Jae Woo berusaha untuk memperlakukan Fiona
sebaik mungkin. Jae Woo ingin Fiona melihat kalau dia bukanlah lagi laki-laki
kurang ajar. Dan Ia ingin meyakinkan Fiona kalau ia diberikan kesempatan lagi,
Ia akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Fiona bisa melihat semua itu
dan semua yang Ia bisa lakukan hanyalah menghargai usaha Jae Woo.
“Baiklah
kita bisa mulai sekarang.” Ujar Jae Woo yang kembali berhadapan dengan
kanvasnya. Fiona hanya duduk dan menatap gerak tangan Jae Woo di atas kanvas
dan raut wajah seriusnya. Untuk beberapa saat Jae Woo mengalihkan perhatiannya
dari kanvas ke wajah Fiona, hanya untuk memastikan kalau ia melukis ekspresi
yang sesuai.
Tak lama
kemudian mata Fiona berpaling ke arah jendela besar di ruang studio. Lewat
jendela itu Fiona bisa melihat butir-butir salju berjatuhan. Di tambah lagi
dengan hiasan lampu-lampu natal yang terang benderang digantung hampir di
setiap atap rumah. Fiona pun beranjak dari sofa dan segera menghampiri jendela
besar itu. Ia mencondongkan badannya untuk melihat lebih jelas ke bawah.
Matanya melebar dan senyum manis terulas di wajahnya.
Saat itulah
Jae Woo terpana. Senyum Fiona, mata hijaunya yang berkilat-kilat. Kau bisa
melihat kegembiraan Fiona yang terpancar begitu jelas. Dengan gerakan tangan
yang begitu cepat, Jae Woo melukis setiap detail Fiona, berharap agar gadis itu
tidak merubah posisinya.
Fiona yakin
kalau Ia harus berada di sini tepat pada jam tujuh. Ia yakin ia tidak salah
dengar kemarin. Fiona sudah mencoba untuk menghubungi Adrian tapi ponselnya
tidak diangkat-angkat. “sebenarnya dia ada di sini atau tidak sih? Dia ada di
mana juga tidak jelas…” gumam Fiona agak kesal.
Ia sudah
memasang mata dan telinga. Berusaha mencari sosok Adrian di sekelilingnya, tapi
tidak ada tanda sama sekali. Ia sudah mencari selama lima belas menit, Fiona
hampir memutuskan untuk pulang. Saat itu juga ponselnya bergetar, dan Fiona
bergegas menatap layar ponsel.
“maaf sudah membuatmu kebingungan.”
Hanya itu?
Kekesalan Fiona memuncak. Ia cepat-cepat membalas pesan Adrian. “sebenarnya kau ada di mana? Aku sudah
menunggu sejak tadi.”
“di sini. Aku bisa melihatmu”
“di sini di mana?! Berhenti membuatku terlihat seperti orang tolol.”
Setelah itu
Fiona tidak mendapat balasan lagi. Saking kesalnya, Fiona hanya melempar
ponselnya ke dalam tas. Ia tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Sebenarnya
apa rencana Adrian? Bermain petak umpet? Kalau itu memang rencananya, Fiona
tidak punya banyak waktu. Saat Ia hendak berjalan meninggalkan tempat,
tiba-tiba suara alunan piano terdengar dari ujung jalan. Alunan piano itu tidak
terdengar begitu jelas, tapi Fiona tahu alunan piano itu. Ini adalah lagu korea
yang dikenalnya. Fiona merenung, dan Ia tiba-tiba teringat akan suara gitar
yang Ia dengar kemarin dari kejauhan. Suara gitar Adrian…
Fiona
segera berlari mengikuti sumber alunan piano itu, dan tak lama kemudian, Ia
bisa melihat laki-laki berjas putih dengan kemeja hitam dan celana panjang
putih sedang memainkan piano di atas panggung kecil di pinggir sungai Hangang.
Tidak hanya itu, Fiona juga mendapati dirinya di sekelilingi lilin-lilin kecil
yang dinyalakan di setiap sisi jalan. Cahaya mereka yang redup menyatu,
menerangi jalan setapak di pinggiran sungai Hangang. Kini dengan langkah pelan
dan pasti Fiona menghampiri panggung kecil itu, dan suara alunan piano semakin
jelas. Fiona semakin yakin kalau ini memang lagu yang Ia kenal.
Laki-laki
itu menyadari kehadiran Fiona dan Ia menoleh ke arah gadis itu. Ia
menyunggingkan senyum manisnya, dan Fiona bisa merasakan kehangatan yang sudah
tidak asing lagi.
Aku kira
ini adalah akhir dari ingatanku
Wajah yang
tidak akan pernah aku lihat lagi melewatiku
Aku berdiri
di tepi di mana aku tidak bisa melakukan apapun
Aku
menyatukan kedua tangan dan berdoa
Agar aku
bisa menunjukkan hatiku padamu
Hati yang
masih belum melakukan apapun
Berdiri
lagi
Aku ingin
melihatmu yang sudah menungguku
Kembali
lagi
Aku ingin
mengatakan “aku mencintaimu”
Aku pikir
dunia sudah berhenti
Hanya
saat-saat bahagia yang sekarang melewatiku
Aku berdiri
di tepi, berpikir aku tidak akan pernah memilikimu
Aku hanya
berdoa seperti itu
Agar aku
bisa merasakan cinta
Yang pernah
kulewati
Aku sudah
hidup tanpa menyadari
Betapa
berharganya dirimu
Berdiri
lagi
Aku ingin
melihatmu yang sudah menungguku
Kembali
lagi
Aku ingin
mengatakan “aku mencintaimu”
Terjemahan “Love Again”- Kyu Hyun, S.M Ballad
Fiona masih terpaku dalam posisinya, seakan-akan
tidak bisa menggerakkan kakinya yang tiba-tiba terasa berat, Fiona hanya
terdiam di sana, menatap Adrian yang kini turun dari panggung kecilnya.
Ia berjalan ke arah Fiona, masih dengan senyum
yang menghangatkan seluruh dunia gadis itu. “selamat Natal, Fiona-ssi.” Ujar
Adrian. Fiona hanya terdiam, merasa bibirnya tiba-tiba kaku. Apa yang harus
dikatakannya?
Adrian hanya menatap Fiona, menunggu gadis itu
untuk mengatakan sesuatu. Matanya lalu terarah ke pergelangan tangan Fiona.
“gelang yang bagus.”
Fiona melihat tangan kanannya. Ia baru
ingat kalau kini pergelangan tangannya sudah dihiasi gelang dari Jae Woo.
“persis seperti matamu.” Ujar Adrian lagi.
“ya.” Jawab Fiona singkat. Ia menyentuh gelang
itu, dan dengan perlahan memainkan bintang hijaunya.
“Apa Jae Woo yang memberikannya untukmu?”
pertanyaan Adrian barusan membuat Fiona sedikit
terkejut. Bagaimana laki-laki ini bisa menebak dengan tepat? “iya… sebagai
hadiah natal.” Jawab Fiona dengan suara samar. Entah kenapa, gadis itu merasa
takut. Takut Adrian akan pergi saat Fiona mengucapkan itu. Takut Adrian akan
menghindarinya lagi seperti kemarin-kemarin.
Saat Fiona hendak mengatakan sesuatu, Adrian
membuatnya terkesiap. Laki-laki itu meraih tangan kanan Fiona dan menyentuh
gelang bintang di pergelangannya. Sambil memperhatikan gelang itu dan dengan
seluruh keberanian yang sudah Ia kumpulkan, Adrian akhirnya mengatakan,
“aku mencintaimu.”