"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Rabu, 14 November 2012

Bagian Tujuh Belas


Fiona terkesiap begitu merasakan tangan menyentuh bahu kanannya. Sentuhan hangat yang tak asing baginya—tangan yang menangkup sempurna sisi bahunya. Begitu Ia memutar badan, matanya bertemu dengan sepasang mata gelap yang sejak tadi sudah memperhatikannya.
Fiona menghela napas begitu menyadari laki-laki yang berdiri di depannya. “Jae Woo.”
Jae Woo memejamkan mata sesaat dan tersenyum lembut begitu mendengar suara Fiona yang memangginya, seolah-olah Ia sudah sangat mengharapkan suara lembut itu memanggilnya. “You look lovely, Miss Scarlett.” Pujinya, tanpa sedikitpun menghiasi bahasa Inggrisnya dengan logat Korea.
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas pujian Jae Woo. Ia memperhatikan wajah Jae Woo yang tiba-tiba terlihat dingin, raut wajahnya terlihat kaku. Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Fiona mempelajari wajahnya, memperhatikan sepasang mata hitam gelap yang memperhatikan wajahnya dengan tatapan sedih. “Jae Woo… kau tidak apa-apa?”
“tidak.” Jawab Jae Woo langsung. “aku baik-baik saja.”
“kau terlihat… agak pucat.”
“karena aku tahu kau tidak datang sendiri.” ungkap Jae Woo, sadar kalau ucapannya barusan membangkitkan reaksi Fiona. “apalagi datang dengan seseorang yang tidak kuharapkan.”
Menyedihkan, pikir Fiona. Apa lagi yang akan dikatakan Jae Woo sekarang? Bersikap seakan-akan dia adalah ayahnya dan membentaknya karena datang ke acara ini dengan Adrian?
“jangan bilang kau cemburu.” Ujar Fiona dengan nada bergurau. Di dalam hati kekesalannya sudah mulai terbit, memang siapa Jae Woo, untuk masih berhak mencampuri urusannya?
“Jawab aku, Hwa Young.” Kata Jae Woo. Nada bicaranya tegas, seolah-olah menuntut kebenaran. “ada apa diantara kau dan Harrison?”
Mata Fiona melebar, terkejut dengan pertanyaan tak wajar, bodoh, apalagi pertanyaan ini diutarakan oleh seseorang yang pernah menyakiti hatinya dengan cara yang menyedihkan. Apakah Jae Woo tidak merasa malu sama sekali untuk menanyakan hal itu kepada Fiona?
Fiona menunduk dan tertawa rendah meremehkan. “bukan urusanmu. Kenapa kau harus peduli?” Ia lalu melihat ke belakang bahu Jae Woo, tatapannya terarah pada gadis berambut hitam pekat yang berjalan dengan anggun ke arahnya. “aku yakin orang yang kau cari-cari sudah datang.” Ujar Fiona pada Jae Woo sambil menggerakkan kepalanya ke arah belakang bahu laki-laki itu.
Begitu Jae Woo menyadari kedatangan Ha Ra—kekasih baru dan sumber inspirasi mahakarya terbesarnya itu—Ia mendesah pelan. Ia lalu kembali menoleh ke arah Fiona, tatapannya masih menunggu jawaban, menunggu Fiona untuk mengatakan sesuatu.
“apa?” tanya Fiona datar, tak mengerti apa yang sedang di tunggu Jae Woo sampai masih berdiri tegak di depannya.
Fiona terkesiap begitu pergelangan tangan kanannya digenggam erat oleh Jae Woo.“apa yang kau—“
“kau belum menjawabku, Fiona.” Ucap Jae Woo. Gadis yang digenggamnya terdiam seketika dan menatap kedua mata hitamnya dengan heran. Pertama kalinya—bukan, ini kedua kalinya Jae Woo memanggil Fiona dengan nama Inggrisnya setelah sesaat yang lalu Ia memujinya. Tapi ini yang pertama kalinya, Jae Woo memanggilnya Fiona dengan tatapan serius itu. Dengan tatapan yang penuh harapan itu. Tatapan yang masih menunggu penjelasan keluar dari mulut Fiona.
Fiona menggelengkan kepalanya pelan, dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jae Woo. Namun genggamannya begitu erat sampai-sampai Fiona meringis begitu merasakan sakit menyerbu pergelangan tangannya.
Get your hands off her, dude.” Logat Inggris kental yang terdengar tegas namun masih terdengar lembut di telinga Fiona muncul, membuat kulit Fiona terasa hangat seketika, Ia mendesah pelan, lega akan suara yang ditunggu-tunggunya akhirnya muncul.
Sebelum Fiona sempat mendongak menatap wajah Adrian, tangan lebarnya sudah mendarat di tangan Jae Woo yang masih menyentuh tangan Fiona tanpa sama sekali melonggarkan genggamannya. Fiona baru sadar kalau warna kulit Adrian tidak jauh berbeda dengan warna kulit Jae Woo. Hanya saja kulit Adrian terlihat lebih terang dan bersinar. Bukannya menangkis tangan Jae Woo dengan kasar, Adrian justru meraih jemari-jemari tangan Fiona dan menarik tangannya dengan pelan ke sisi tubuhnya.
Jae Woo terlalu sibuk memusatkan kedua matanya di wajah Adrian, tatapannya tajam dan penuh benci. Semua itu terlihat begitu jelas. Fiona yakin bukan hanya dirinya yang menyadari arti dari tatapan itu, Adrian juga. Namun Adrian yang kini menggenggam tangan Fiona hanya membalas tatapan Jae Woo dengan tenang dan sama sekali tak menunjukkann sedikitpun emosi. Adrian meremas tangan Fiona, dan Fiona merasakan kehangatan langsung menjelajari tubuhnya ke atas. Kini Ia ada di tangan yang benar. Di tangan yang membuatnya merasa aman.
“aku yakin kau tidak ingin buat keributan di sini dan terlihat memalukan di depan orang-orang ini.” ujar Adrian dengan senyumnya yang masih terlihat ramah. Senyum yang selalu Ia tunjukkan pada orang-orang di sekitarnya. Senyum yang mungkin, bahkan dihadapan orang terburuk sekalipun, masih ditunjukkan oleh Adrian.
Jae Woo masih menatap Adrian dengan tatapan tajam yang sama, dan membalas perkataan Adrian dengan senyum remeh, “aku tidak terlalu peduli soal keributan. Tapi sepertinya kau sangat peduli dengan reputasimu, Mr. Harrison.”
“Jae Woo.” Ha Ra yang baru tiba dihadapan Fiona segera melingkari tangannya di lengan Jae Woo. Raut wajahnya yang kosong jelas memberitahu jika dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Namun dalam satu detik raut wajahnya berubah, mata hitamnya berkilat-kilat begitu menyadari sosok Adrian Harrison yang berdiri tepat di hadapannya, memandangnya. “Ad… Ad…”
Fiona memutar bola matanya begitu melihat Ha Ra yang gagap, sangat sulit hanya untuk mengucapkan nama Adrian. Sikap yang tidak jauh berbeda dari gadis-gadis lainnya. Reaksi Ha Ra selanjutnya sudah bisa ditebak: grogi, wajah merah merona malu, tangan sibuk memperbaiki rambut, overreacting.
“aku penggemar beratmu! Perkenalkan nama…”
“Fiona-ssi. Aku sudah mencarimu dari tadi.” Ujar Adrian tanpa sama sekali mendengarkan Ha Ra, badannya menghadap Fiona. Dan sebelum Fiona sempat merespon perkataannya, Adrian membelai helai rambut Fiona dan menghelus pipi Fiona dengan lembut. Begitu lembut sehingga Fiona menggigil. Sentuhan Adrian selalu memberikannya sensasi yang aneh. Sensasi yang membuat sesuatu di dalam dadanya bergetar.
“maaf sudah membuatmu menunggu di sini.” Ujar Adrian dan kini tangannya yang tadi menghelus pipi Fiona, meluncur dari bahunya, ke bawah lengannya, dan berhenti di telapak tangannya. “kau mau minum?”
Fiona hanya memperhatikan kedua mata cokelat Adrian yang memberikan isyarat ‘ayo pergi dari sini.’ Ia menoleh ke arah Jae Woo dan Ha Ra, lalu kembali menatap Adrian. Fiona tersenyum lebar begitu Adrian memperlihatkan senyumnya yang hangat. Fiona tidak mengerti—Ia tidak bisa menahan untuk tersenyum juga jika Adrian tersenyum seperti itu kepadanya.
“tentu saja.” Jawab Fiona. Ia lalu mengusap tenggorokkannya pelan. “aku rasa aku sudah menunggu cukup lama sehingga kehausan.”
Tanpa basa-basi lagi, Adrian menuntun tangan Fiona diatas lengannya, dan membiarkan Fiona mengunci tangannya dilengannya dengan erat. Mereka berjalan menelusuri ruangan, menuju tempat minuman berada, setelah mereka berjalan cukup jauh dari Jae Woo dan Ha Ra, Fiona mulai mengeluarkan pertanyaannya pada Adrian. “apa kau sengaja melakukan semua itu tadi?”
Adrian menatap Fiona dengan alis terangkat. “maksudmu?”
“maksudku… Ha Ra, jelas-jelas tadi dia terlihat sangat tertarik denganmu.”
Adrian lalu tertawa lepas. Fiona tiba-tiba merasa malu. Apa yang lucu dari perkataannya barusan? Memang, semua itu sudah jelas dan tidak usah dipertanyakan lagi. Ia tahu kalau Ha Ra bukan satu-satunya gadis yang tertarik dengan Adrian. Ia tahu kalau setiap gadis yang melihatnya akan tersihir begitu saja dan mereka sudah pasti in—
“kau kira aku melakukan semua itu tadi karena ingin membuat gadis itu panas dan tidak menyukaimu? Atau membuat Jae Woo yang sepertinya masih…” Adrian berhenti untuk beberapa saat, Ia lalu tersenyum tipis. “masih mengharapkanmu, merasa cemburu.”
Fiona hanya menatap wajah Adrian untuk sesaat, Ia lalu mengalihkan perhatiannya begitu Adrian menyadari Fiona yang tadi memperhatikannya.
“lalu? Apa tujuanmu melakukan semua itu?”
Adrian menarik dadanya, dan menghembuskan napas panjang. “semuanya muncul begitu saja di otakku.” Ujarnya sambil menatap lurus ke depan. Ia lalu menoleh ke arah Fiona yang kini tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Adrian. “semua itu, Fiona. Mengalir begitu saja. Aku ada di sampingmu. Aku hanya ingin… menggenggam tanganmu. Dan membuatmu merasa aman.”
Fiona tidak sadar kalau dirinya menahan napas untuk beberapa detik. Kedua mata cokelat Adrian menatap dalam kedua mata hijau Fiona. Seakan-akan tatapannya bisa merasuki jiwa Fiona. Saat itu satu-satunya hal yang bisa Fiona pikirkan adalah Adrian sedang mempelajari bentuk mata Fiona. Dari gerak bola matanya, Fiona bisa membayangkan Adrian sedang memperhatikan alisnya, tekstur bulu matanya yang tebal dan panjang, iris mata hijaunya yang terang. Semakin lama Fiona memperhatikan kedua mata cokelat yang ada dihadapannya itu, semakin besar rasa ketertarikan itu muncul di dalam dirinya. Mata Adrian bukan hanya sekedar cokelat gelap, jika diperhatikan sedekat ini, tatapan matanya tajam, namun masih memberikan kesan kelembutan dan membuat siapapun yang memandangnya hanyut dan tenggelam begitu saja. Bulu matanya yang tebal dan hitam, membuat mata laki-laki itu terlihat lebih indah, bahkan mampu membuat para gadis iri karena tidak bisa memiliki mata seindah itu.
Dengan perasaan ragu, Fiona memutuskan untuk mengeluarkan perkataan yang ada dibenaknya. “Adrian.”
“Ya?”
“terima kasih, karena sudah ada disampingku.”


Oh, please.”
Desah gadis berambut hitam ikal itu untuk kesekian kalinya. Setiap kali matanya menangkap Adrian yang tersenyum kepada Fiona, kepalanya tiba-tiba terasa panas, perasaan geram muncul di dalam dadanya. Jika saja Fiona terpisah dari Adrian, mungkin saja dia bisa mendekati Adrian dan mengalihkan perhatiannya. Bukankah dia selalu berhasil melakukan itu kepada laki-laki lainnya? Tapi kelihatannya Adrian sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya dari bahu Fiona.
Sekali lagi dia memutar bola matanya. Kenapa Adrian harus memandang Fiona seperti itu? Kenapa Adrian harus tersenyum kepada Fiona seperti itu? Kenapa semuanya terlihat begitu berbeda dari biasanya? Apakah jangan-jangan…
“ternyata kau di sini, Song Mi Na.”
Gadis itu memutar badannya dan segera berhadapan dengan sepasang mata kelabu yang memandangnya dengan tatapan yang amat dibencinya.
“Murray.” Ujar Mi Na datar. “ada perlu apa kau mencariku?”
begitu mendengar nada bicara Mi Na yang ketus, Luis hanya tertawa rendah. Seakan-akan dirinya sudah terbiasa menerima perlakuan seperti itu. “apa kau harus selalu galak seperti ini? Ngomong-ngomong, kau terlihat menawan.”
Mi Na mendengus. “simpan pujianmu itu untuk gadis murahan lainnya.” Ia lalu menoleh ke belakang, ke arah Adrian. Tapi orang yang dicarinya sudah menghilang. “apa kau datang ke sini hanya untuk merayu gadis-gadis di pesta?”
“hahaha, kau lucu sekali.” Balas Luis dengan tawanya yang lebar.
Mi Na memandangnya dengan sebelah alis terangkat. “maksudmu? Bukankah itu satu-satunya tujuanmu datang ke pesta resmi seperti ini? Gadis. Model.”
“aku harap kau tidak lupa kalau aku adalah seorang produser terkenal di Korea Selatan ini.” Ujar Luis dengan nada formal, seolah-olah Mi Na belum pernah mengenalnya sebelumnya. “aku menerima undangan, kau tahu? Dan bukan. Tujuanku sudah tidak sama lagi.”
“apa?”
“aku sudah menemukannya.”
Masih dengan tatapan yang begitu heran, Mi Na menanggapi pernyataan Luis dengan kesal. “kau tahu aku sangat tidak suka permainan kata? Bicara yang jelas.”
Untuk beberapa saat Luis tidak membalas perkataan Mi Na, ia hanya memperhatikan wajah gadis itu yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Dengan senyum miring, Ia lalu mengalihkan pandangannya ke seberang ruangan pesta. Begitu kedua mata kelabunya terarah ke seberang ruangan, badan Luis terpaku, seperti seluruh pikirannya hanya terpusat pada apa yang kini Ia lihat.
Mi Na merasakan itu sebagai sebuah isyarat, ia lalu segera mengikuti arah pandangan Luis. Mata Mi Na melebar begitu melihat apa—atau siapa—yang sedang diperhatikan lelaki itu. Beberapa detik kemudian, seperti bohlam lampu yang menyala terang, Mi Na akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi di sini.
Mi Na kembali menatap Luis, yang masih menjatuhkan tatapannya ke arah yang sama sejak tadi. Dengan senyum lebar, Mi Na lalu berkata, “apa kau sedang memikirkan hal yang sama?”


Fiona memperhatikan namanya yang dipahat di keramik hitam berlapis perak. “the recipient of the Oxford English Literature Scholarship”. Senyum lebar menghiasi wajahnya sambil meraba pahatan kalimat itu.
congratulation, Miss Scarlett.”
Fiona mengalihkan pandangannya kepada Adrian yang sedang menyetir mobil di sebelahnya. “lagi?”
“mm?”
“kenapa tiba-tiba kau memanggilku Scarlett?”
Adrian menatap Fiona dengan senyum samar. “ini bukan yang pertama kalinya bukan?”
“memang. Tapi kenapa tiba-tiba?”
“kedua namamu sama indahnya.”
“lalu?”
“kenapa? Aku tidak boleh memanggilmu dengan kedua namamu?”
“bukan begitu… kau orang yang tidak konsisten.”
Adrian lalu tertawa rendah dan terdiam sambil tersenyum. Sambil memutar kemudi mobilnya, Ia berkata “jujur saja, aku suka menyebut kedua namamu. Park Hwa Young atau Fiona Scarlett, kau tetap saja gadis manis bermata hijau yang aku kenal, Fiona-ssi.
Fiona yang tadinya menatap ke arah jendela lalu menoleh ke arah Adrian yang memusatkan pandangannya ke arah jalan. Fiona yakin kalau Adrian tidak menyadari dirinya sedang diperhatikan, tapi ternyata kalau dilihat-lihat, dari samping Adrian terlihat sama. Dia terlihat sama dari sudut manapun. Dari depan dan belakang. Dari sisi kiri dan kanan… bentuk wajahnya yang sempurna, tulang pipinya, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Fiona merasa dirinya sangat telat untuk menyadari semua itu.
“Fiona AWAS!!”
seperti kilatan cahaya, semuanya terjadi begitu cepat. Fiona bahkan tidak yakin apa yang sedang terjadi. Yang Ia tahu, dirinya hanya sedang memperhatikan setiap sudut wajah Adrian tanpa sepengetahuannya dan tak memperhatikan sekelilingnya. Hanya laki-laki yang ada di depannya. Tak memeperhatikan yang ada di luar jendela dan tak ingin memperhatikan yang lain. Namun sekarang, Fiona harus memaksa dirinya membuka kedua matanya yang terpejam selama sudah lima detik.
Mata hijaunya terbelalak begitu melihat apa yang ada di depannya. Bibir bawahnya lalu bergetar, sekujur tubuhnya bergetar, perasaan dingin bagaikan bongkahan es menghujam seluruh tubuhnya. Semua memori yang sudah mulai terkubur dan mati, kini hidup kembali.
“Fiona…” Adrian dengan perlahan menyentuh tangan Fiona, Ia terkesiap begitu menyadari temperatur Fiona yang tiba-tiba turun drastis.
“Fiona, kau baik-baik saja? Fiona… kau dengar aku?”
Gadis yang diajaknya bicara sama sekali tidak menatapnya, kedua matanya tetap terpaku pada sesuatu yang ada di depannya. Setelah beberapa saat dalam keadaan seperti itu, mata Fiona memerah, dan mulai berlinangan air mata, Ia lalu pecah dalam tangisan.
Fiona menarik tangannya yang disentuh oleh Adrian dengan cepat dan memeluk tubuhnya sambil menangis terisak-isak, seakan-akan tersiksa oleh perasaan dingin yang muncul di dalam dirinya.
“Fiona!” Adrian memegang kedua bahu Fiona, dan mengusap-ngusap bahunya dengan cepat, berharap suhunya yang hangat kembali lagi.
Panik, Adrian bahkan tidak bisa membuat Fiona menatap matanya. Ia lalu keluar dari mobil dan berjalan mengitari mobilnya, bermaksud untuk menarik Fiona keluar dari mobil dan menenangkan gadis itu.
“Fiona, apa yang terjadi?”
Adrian menggenggam kedua tangan Fiona, namun gadis itu tetap menangis, dan kini dia tidak berani melihat ke depan, Fiona hanya menatap kedua tangannya yang digenggam Adrian sambil menyembunyikan wajah. Adrian mengelus kepala Fiona dan mengusap wajahnya yang basah.
Karena masih tidak bisa membuat Fiona menatap wajahnya, Adrian terus mengelus kepala Fiona dan mengusap bahunya, berharap Fiona sadar, walaupun dirinya sama sekali tidak mengerti apa yang membuat gadis itu tiba-tiba menjadi seperti ini.
“Fiona-ssi. Lihat aku.”
 Sontak, Fiona mengangkat wajah dan menatap kedua mata cokelat Adrian yang hangat, yang memperhatikannya dengan penuh khawatir.
“Ad… Adrian.”
Mendengar suara Fiona yang memanggil namanya, Adrian lalu tersenyum lega, “ya, aku di sini.”
Fiona lalu hanya terdiam dalam posisi seperti itu. Memperhatikan wajah Adrian, seakan-akan Ia baru saja sadar Adrian ada di depannya, seolah-olah dirinya baru saja kembali ke dunia nyata. Sebelum air matanya mengalir lagi, Adrian memeluk tubuh Fiona dengan erat, berharap Ia bisa memberikan Fiona kehangatan, membuatnya merasa aman dan memastikan kalau Fiona tetap ada di depannya.





Read More
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena