Jumat, 31 Agustus 2012
Bagian Lima Belas
Sudah lebih dari enam kali Adrian berusaha
menelepon gadis itu. Masih tidak ada jawaban.
“sebenarnya apa yang sedang dilakukan Kate?”
gumamnya agak kesal. Sejak dua hari yang lalu Adrian belum sempat untuk
memperingati hari sepeninggalan ayahnya. Semua itu karena kesibukannya dan juga
demam sialan yang menyerangnya mendadak. Kalau sampai ibunya tahu, beliau pasti
akan mengomelinya habis-habisan di telepon. Ia berharap setidaknya adiknya bisa
menggantikan dirinya, tetapi sepertinya Katherine sama sekali tidak berniat dan
bahkan tidak mau ingat hari ayahnya meninggal. Gadis itu terkadang membuat
Adrian bingung dan kesal, adiknya bersikap menyebalkan tanpa alasan yang jelas.
Dari dulu.
Sekali lagi Adrian mencoba untuk menelepon
Katherine, kalau yang satu ini tidak diangkatnya, maka Adrian berencana untuk
mencari adiknya itu ke agensinya dan membentaknya di depan rekan-rekan
modelnya.
“Katherine Harrison! Kenapa kau baru angkat
ponselmu?” Tanya Adrian begitu mendengar suara adiknya. “apa kau tahu aku sudah
mencoba meneleponmu seharian?”
“aku tahu, brother.” Jawab Kate. Adrian mengangkat sebelah alisnya. Tumben
sekali gadis ini tidak memanggilnya ‘oppa’.
Biasanya Katherine selalu bersikap sebagai gadis kecil dan adik perempuan
yang sangat manja di depan Adrian dan memanggilnya ‘oppa’.
“apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya Adrian
begitu merasa ada yang berbeda dari suara adiknya.
“tidak ada. Aku tahu kau sudah meneleponku
lebih dari enam kali.”
“lalu kenapa kau tidak menjawab teleponku
sejak tadi?”
“karena aku sudah tahu apa yang ingin kau
katakan.”
Adrian mengerutkan keningnya. Sepertinya
Katherine memang sengaja menghindari telepon dari kakaknya. “Kate. Kau tidak
pantas bertingkah seperti ini. Bagaimanapun dia adalah ayahmu. Orang tua kita.
Apa kau tidak sedih setelah ayah meninggal?”
“untuk apa?” jawab Kate cepat. Sangat cepat.
“aku sama sekali tidak sedih, Adrian. Sama sekali tidak ada rasa sakit yang
berbekas.”
Adrian terdiam sejenak. Ia benar-benar tidak
paham apa yang membuat adiknya itu bisa berbicara sekasar itu tentang seseorang
yang sudah meninggal, terlebih lagi ayahnya. “ada apa denganmu? Kenapa sejak
kecil kau selalu seperti ini?”
“Adrian.” Suara Katherine terdengar tegas.
“jika kau meneleponku untuk menanyakan soal itu, lebih baik kau tidak usah
menelepon.”
“sekali lagi…” Adrian memberi jeda sejenak.
“apa kau sama sekali lupa tentang ayah kita? Apa kau akan terus membencinya
seperti ini?”
“lupa? Kakakku yang tercinta, tanyakan hal
itu pada dirimu sendiri.” Sahut Kate.
Adrian benar-benar tidak paham dengan jawaban
adiknya barusan. Maksudnya apa? Ia tidak pernah melupakan apapun. Tidak pernah
melupakan keluarganya. Tidak pernah melupakan orangtuanya. Tidak seperti adik
perempuannya yang satu ini. “apa maksudmu kate?”
“Oppa, aku
sangat sibuk sekarang. Managerku baru saja memanggilku. Aku akan meneleponmu
lagi besok.”
Adrian mendesah pelan. Gadis itu kembali
memanggilnya dengan panggilan manjanya. Sebenarnya apa yang dipikirkan adiknya
itu? “kau masih harus ingat dengan hari peringatan ayah kita. Jangan lupa itu.
Aku tidak mau tahu.” Begitu selesai mengatakan kalimat itu, Adrian segera
menutup teleponnya dan mendesah berat. Ia lalu menghempaskan tubuhnya ke atas
sofa, mencoba untuk menebak maksud dari perkataan adiknya barusan. Adrian
yakin, tidak ada satu detail kecil yang pernah Ia lupakan tentang keluarganya.
Semuanya masih begitu jelas diotaknya. Saat ayahnya kecelakaan. Saat ayahnya
dikabarkan meninggal begitu Ia sadar dari tidurnya empat belas tahun yang lalu.
Figura besar yang berisikan foto ayahnya itu
diletakkan di atas perapian. Adrian lalu meletakkan beberapa bunga Mugunghwa dan makanan-makanan khas Korea
juga diletakkan di depan foto ayahnya. Adrian Harrison sudah berjanji kepada
ibunya kalau Ia akan memperingati hari sepeninggalan ayahnya dengan melakukan
tradisi Korea. Walaupun ayahnya adalah orang Inggris dan sama sekali tidak
mewarisi darah orang Korea, ibunya tetap ingin agar anak laki-lakinya itu
mewakilinya untuk memperingati hari itu dengan melakukan tradisi Korea. Dulu
ayahnya, Nicholas Harrison adalah seorang pria Inggris yang sangat menghargai
budaya dari negara lain, apalagi Korea Selatan. Adrian ingat bahwa ibunya
sempat mengatakan bahwa ayahnya jatuh cinta dengan Negara Korea Selatan. Dan
karena itulah ayahnya bertemu dengan ibunya, Hana Harrison.
Adrian menyatukan kedua tangannya, lalu Ia
memejamkan mata sejenak, berdoa untuk ayahnya yang sudah tidur dengan tenang
selama hampir empat belas tahun.
“Ayah.” Ujar Adrian pelan dengan tatapan
menerawang. “bagaimana kabar ayah sekarang? Maaf, aku sangat terlambat.”
Laki-laki itu kemudian memperbaiki posisi duduknya
dan menggeser mangkuk sup agar lebih dekat dengan foto ayahnya. “aku juga minta
maaf karena tidak bisa membantu ibu membesarkan adik yang baik.” Tambah Adrian
sambil menunduk, seakan-akan dirinya memang sedang berbicara dengan sosok
ayahnya. Seakan-akan Ia takut dimarahi ayahnya karena tidak bisa membawa
Katherine datang dengannya.
“tapi aku berjanji. Aku berjanji akan menjaga
ibu dan Katherine. Walaupun ayah tidak sempat mengatakan itu secara langsung
kepadaku, aku yakin ayah ingin agar aku bisa menjadi laki-laki yang kuat. Yang
bisa menjaga keluarga kita.” Adrian lalu mendongak menatap foto ayahnya. Di
dalam foto itu ayahnya terlihat muda dan sehat, beliau tersenyum lebar sambil
duduk di atas kursi dan memegang buku tebal.
Bibir Adrian melengkung membentuk senyuman
kecil, sebuah ingatan terbesit dalam benaknya. “ayah, aku sudah menemukan
seseorang.” Adrian terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “seseorang yang bisa
membantuku untuk menjalani hidup. Seseorang yang selalu memberikanku semangat
baru. Aku yakin ayah sudah tahu siapa orangnya.”
Adrian kembali menunduk dan tertawa rendah, seakan-akan
ayahnya sudah memberi tanggapan atas apa yang barusan Ia katakan. Adrian tetap
melanjutkan perkataannya. “dia gadis yang cantik. Apakah ayah sudah melihatnya?
Gadis itu seperti malaikat.”
Laki-laki itu kembali menyatukan kedua
tangannya dan menatap wajah ayahnya difoto lekat-lekat. Dengan penuh harapan Ia
berkata, “aku hanya berharap dia mengetahui apa yang sebenarnya kurasakan.”
Beberapa saat kemudian, Adrian sedikit
terkesiap begitu merasakan getaran di kantung celana jeans nya. Begitu melihat
nama ibunya di layar ponsel, Ia mendesah pelan. “ya, ibu.”
“Adrian, bagaimana?” mendengar pertanyaan
ibunya itu, Adrian sudah tahu apa yang dimaksud ibunya. Ia pasti ingin memastikan
jika anak-anaknya ingat akan hari peringatan ayahnya.
“aku baru saja selesai, bu.” Jawab Adrian.
“tapi Katherine...”
“apa dia tidak mau lagi?” tebak ibunya.
Terdengar nada kecewa dari suaranya itu. “seperti yang ibu duga.”
Adrian menaikkan sebelah alis. Ia masih tidak
paham. Sangat tidak paham kenapa ibunya bisa pasrah begitu saja saat anak
perempuannya itu berlagak seakan-akan Ia tidak pernah mempunyai seorang ayah.
“Aku sangat tidak mengerti.”
“apa?”
“kenapa Katherine selalu seperti itu?” Tanya
Adrian. “kenapa dia selalu seperti itu sejak kecil? Apa yang membuatnya begitu
membenci ayah?”
Ibunya tidak menjawab untuk beberapa saat.
Adrian juga terdiam, menunggu penjelasan ibunya. Ia mulai merasa bahwa ibunya
juga tahu akan sesuatu, namun enggan untuk menjelaskan. “ibu.”
“oh… iya. Maaf, nak. Ibu juga tidak tahu.
Biarkan saja adikmu. Ibu berusaha memakluminya.”
“apa aku perlu menculik Katherine dari
apartemennya dan menariknya ke sini?”
“Adrian, tidak usah. Biarkan saja Kate begitu.
Dan satu lagi, jangan marahi adikmu.” Sahut ibunya. “dia sudah melalui begitu
banyak hal.”
Alis Adrian terangkat lebih tinggi begitu
mendengar perkataan ibunya. Sudah melalui begitu banyak hal? Hal apa? Apakah
Adrian merupakan seorang kakak yang begitu buruk sampai dirinya tidak tahu
apapun yang sudah dilalui adik perempuannya?
“ibu bilang apa tadi?”
Ibunya mendesah. Beliau lalu menjawab,
“jangan culik adikmu ataupun memaksanya. Dan Adrian, jaga dirimu baik-baik di
sana. Ibu akan meneleponmu lagi besok. Kalau kau merasa kebingungan, hubungi
saja Mi Na, ibu sudah bilang kepadanya untuk membantumu.”
Sama sekali bukan jawaban yang Adrian
harapkan. Benar, Ibunya memang sedang menyembunyikan sesuatu. Adrian yakin itu.
Namun Ia tidak ingin menuntut penjelasan sekarang. Kali ini bukanlah waktu yang
tepat. Adrian lalu menghela napas dan mengalah. “baiklah. Ibu juga jaga diri
baik-baik. I miss you”
Ibunya membalas perkataan Adrian. Setelah
menutup ponselnya, Adrian lalu menatap keluar jendela di dalam ruangan tempat
perapian itu. Ia merasa dikucilkan. Dikucilkan dari keluarganya. Merasa
dikucilkan karena ada rahasia yang Ia tidak ketahui di dalam keluarganya. Dan
yang sangat mengganggunya adalah Ia merasa hanya dirinya yang tidak mengetahui
semua itu. Perasaan tak berdaya, kesal, dan penasaran menghujam dirinya. Apa
yang sedang terjadi? Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh ibu dan
adiknya? Adrian adalah seseorang yang peka terhadap situasi. Ia yakin apa yang
dirasakannya itu adalah sesuatu yang tepat.
Dan disaat suasana hatinya memburuk seperti
ini, hanya ada satu hal yang menghampiri pikirannya. Ia butuh gadis itu. Gadis
malaikat yang selalu memberinya semangat baru. Gadis yang mampu menguapkan
beban Adrian dalam sekejap. Fiona Park.
“Sedang apa?”
suara Min Rae membuat Fiona terbangun dari
lelapnya. Sudah sekitar dua jam Ia tertidur sambil memegang pulpen di depan
meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan kertas.
“ya ampun…” gumam Fiona sambil mengusap leher
belakangnya.
“bagaimana lehermu tidak terasa sakit kalau
sudah tidur seperti itu selama dua jam?” ujar Min Rae yang sudah bisa menebak
pikiran Fiona.
Fiona lalu menatap ke arah tangan Min Rae
yang menggenggam beberapa gantungan baju. “baju-baju itu untuk apa?”
Min Rae menatap Fiona dengan sebelah alis
terangkat, seakan-akan dirinyalah yang seharusnya mengajukan pertanyaan. “kau
lupa? Dua hari lagi adalah pesta malam kesenian di Kyung Hee.”
Gadis yang diajak bicaranya terdiam sejenak,
lalu matanya melebar. Fiona menepuk dahinya dengan sebelah tangan. Min Rae yang
melihat reaksi Fiona itupun sudah bisa menduga.
“jangan bilang kalau kau lupa.”
“aku memang lupa.” Ujar Fiona pelan. Ia lalu
mendesah. “sudahlah, lagipula aku hanya perlu untuk mempersiapkan gaun malam
dan hal-hal sepele lainnya. Tidak ada yang terlalu penting, bukan?”
“Hwa Young-ssi. Jangan katakan juga kalau kau lupa akan tampil di malam itu.”
Kini mata Fiona membelalak. “tampil? Tampil
untuk apa?”
Min Rae hanya menggelengkan kepalanya.
Sepertinya temannya itu baru saja hilang ingatan karena tidurnya yang
menyakitkan. “aku yakin dosen kita sudah mengumumkan soal penghargaan yang akan
diberikan untuk murid beasiswa Oxford di
malam kesenian.”
Fiona kembali menepuk dahinya pelan.
Sepertinya ada yang salah dengan otaknya. Kenapa Ia bisa sampai lupa bahkan
tentang penghargaan beasiswa itu?
“Maaf Min Rae, sepertinya aku hanya
kelelahan.”
Min Rae tersenyum kecil. “sudah kuduga.
Wajahmu terlihat sangat melelahkan. Aku rasa kau harus istirahat sekarang.
Sudah dua hari kau memaksa diri untuk menyelesaikan tulisan itu.” Min Rae lalu
menggerakkan matanya ke arah tumpukan kertas di atas meja. “ngomong-ngomong,
apa kau sudah selesai?”
Fiona lalu memperhatikan kertasnya dan
mencari ujung kalimatnya. “Sebentar lagi. Baru selesai tiga perempat.”
“kau menulis tentang apa?”
Fiona terdiam sejenak sambil memperhatikan
kertas yang dipegangnya. Ia lalu menatap Min Rae dan tersenyum. “apa aku bisa
memberitahu judulnya saja?”
Seulas senyuman menggoda tersungging di bibir
Min Rae. “wah, sepertinya ada yang sedang menciptakan sebuah karya kejutan.”
Fiona hanya tertawa kecil mendengar perkataan
temannya itu. “kau mau tahu judulnya atau tidak? Kalau tidak jadi, sama sekali
bukan masalah bagiku.”
“Park Hwa Young, kau membuatku semakin
penasaran! Oke, judulnya saja kalau begitu.”
Fiona kembali tertawa kecil, Ia berusaha
menahan diri sebelum membalas perkataan Min Rae. “sebenarnya aku belum buat
judulnya.”
“apa-apaan ini?” ujar Min Rae dengan nada
terluka. “kau sedang mempermainkanku?”
“tidak usah dramatis seperti itu.” Sahut
Fiona. “aku janji, kalau aku sudah menemukan judul yang tepat, aku akan
memberitahumu. Bagaimana?”
“asal kau tidak lupa saja dengan janjimu
itu.”
Fiona lalu mengacungkan jempolnya dan
tersenyum lebar meyakinkan. “tenang saja. Aku pasti tidak akan lupa.”
Min Rae menganggukkan kepala dan tersenyum.
Ia lalu mengalihkan pandangannya pada gantungan-gantungan baju yang sedari tadi
digenggamnya. “aku tahu kau tidak memerlukan waktu yang lama untuk
bersiap-siap. Tapi aku harus kembali ke aktivitas semulaku. Kau juga jangan
lupa untuk bersiap-siap, Hwa Young.”
Fiona hanya mengangguk tegas sambil masih
tersenyum lebar. Min Rae memang terkadang bersikap agak kecentilan. Padahal
temannya itu sudah terlihat cantik tanpa polesan apapun, kenapa harus repot-repot
melakukan segala persiapan? Yang diperlukannya itu hanya percaya diri.
Beberapa saat kemudian, ponselnya yang Ia
taruh di atas meja berkedip-kedip. Ia melirik nama yang muncul di layar
ponselnya, seulas senyuman langsung muncul diwajahnya begitu melihat inisial
nama ‘A.H’.
“Halo.”
“Annyeong,
Fiona-ssi.” Terdengar nada khas
korea laki-laki itu di ujung sana.
“Annyeong.”
Balas Fiona. “sepertinya kau sudah bisa berbicara tanpa bahasa formal.”
“benarkah? Berarti aku ada kemajuan?” ujar
Adrian dengan nada riang. “kau sedang apa?”
“aku hanya…” Fiona terdiam sesaat lalu
melihat sekelilingnya. Apa yang sedang Ia lakukan? Ia baru saja terbangun dari
tidurnya yang tidak nyaman. “aku sedang tidak melakukan apa-apa.”
“apa kau punya waktu untuk bertemu?” Tanya
Adrian. Nada suaranya kini terdengar lebih datar dari sebelumnya. Fiona ragu
sejenak, Ia menoleh ke arah jendela kamarnya, cuaca hari ini sangat dingin
walaupun salju tidak turun, bahkan jendelanya sampai berembun.
“sepertinya aku membutuhkanmu.”
Mata Fiona yang tadinya mengamati udara di
luar kini mengerjap heran. Apa yang dibilang Adrian barusan? Adrian membutuhkan
Fiona? Kenapa cara bicaranya barusan membuat dada Fiona terasa aneh?
“apa aku bisa menemuimu?” Tanya Adrian sekali
lagi. Fiona masih tidak menjawab. “Fiona-ssi.”
Fiona tersentak, Ia lalu bertanya, “apa kau
baik-baik saja?”
“aku tidak yakin.” Sahut Adrian. “maka dari
itu aku membutuhkanmu.”
Fiona menundukkan kepala sesaat, entah apa
yang sedang terjadi dengan dirinya, tetapi Ia tidak bisa menahan diri untuk
tersenyum. “aku bisa. Tunggu aku di taman kota.”
“tidak usah.”
Fiona mengerutkan keningnya. Apa laki-laki
itu berubah pikiran?
“aku sudah ada di depan apartemenmu.
Keluarlah.”
Mata Fiona melebar begitu mendengar perkataan
Adrian barusan. Ia lalu berlari menuju sisi balkon dan menoleh ke bawah
apartemen. Benar, laki-laki berjaket putih itu sedang menunggunya di depan
apartemen.
“kenapa datang tiba-tiba?” Tanya Fiona kepada
Adrian yang masih menggenggam ponselnya. Fiona lalu melirik ke belakang Adrian.
“kau membawa mobilmu?”
Adrian mengangguk. Ia lalu bertanya, “apa kau
tidak keberatan jika aku mengajakmu berkeliling?”
Fiona menatap Adrian heran. “maksudmu? Kau
ingin merepotkanku lagi?” balasnya dengan nada bergurau. “apa kau tahu kalau
aku sering direpotkan oleh fans-fans fanatikmu itu setiap kali ada
disekitarmu?”
Adrian hanya tersenyum tipis. Ia lalu
membalas dengan nada datar. “aku tahu. aku sangat sadar akan hal itu.”
Fiona yang mendengar nada bicara Adrian yang
datar merasa tidak enak hati. Tadi dia hanya bermaksud untuk bergurau, tapi
sepertinya Adrian menanggapi perkataannya dengan serius. “hei, aku hanya
bercanda, santai saja.”
Adrian lalu menatap Fiona dan tersenyum
kecil. “tapi kelihatannya kau memang terasa terbebani.”
“bukankah sudah kubilang kalau aku hanya
bercanda?”
Adrian terdiam untuk beberapa saat, Ia lalu
menundukkan kepalanya. “maaf.”
Fiona maju selangkah, Ia berusaha untuk
memperhatikan wajah laki-laki yang menundukkan kepala itu. “untuk apa?”
“karena selalu merepotkanmu.” Jawab Adrian.
Ia lalu mendongak, Ia sedikit terkesiap begitu menyadari wajah Fiona yang kini
jaraknya cukup dekat dengannya. Gadis itu hanya menatapnya polos.
“aku menghampirimu karena aku tidak tahu
siapa lagi yang bisa aku ajak bicara.” Ujar Adrian, berusaha menutupi rasa
gugupnya.
“jadi aku pilihan terakhir?” Tanya Fiona
dengan mata disipitkan.
“ya begitulah.” Sahut Adrian. Ia lalu tidak
mengatakan apapun. Awalnya Ia merasa ragu, namun akhirnya Adrian memberanikan
diri untuk melanjutkan kalimatnya. “tapi setelah aku pikir-pikir, pilihan
terakhir bisa menjadi yang terbaik.”
Setelah mengatakan itu, dadanya terasa aneh,
jantungnya berdebar lebih cepat. Adrian merasa gugup menunggu respon dari gadis
yang berdiri di depannya itu.
“terserah. Aku juga sedang merasa bosan di
rumah. Tapi jangan bawa aku ke tempat berbahaya.” Jawab Fiona dengan nada
sedikit kesal. Syukurlah. Reaksi seperti itu jauh lebih baik dari pada melihat
Fiona yang terdiam dan membalas ucapannya dengan wajah serius. Adrian bisa-bisa
mengutuk dirinya sendiri jika Fiona sampai berusaha menarik diri darinya. Ia
tidak ingin jauh-jauh dari gadis itu, Adrian sudah sangat bersyukur karena
belakangan ini Ia sudah bisa tidur dengan nyaman. Adrian yakin itu semua ada
hubungannya dengan Fiona. Karena gadis itu tersenyum padanya. Karena gadis itu
tertawa dengannya. Karena gadis itu ada disekitarnya.
“apa lagi yang kau tunggu? apa kau mau
berdiri membeku di situ?” suara Fiona membuyarkan lamunan Adrian. Ia lalu
menoleh menatap Fiona yang sedang berlari-lari di tempat. “cepatlah bergerak,
udaranya dingin sekali.” Keluhnya sambil menarik-narik lengan jaket Adrian.
Laki-laki itu membalas keluhan Fiona dengan
tatapan tersenyum. “tenang saja.” Ujarnya. Adrian lalu memutar pergelangan
tangannya dan menggenggam tangan Fiona.
Fiona yakin jantungnya sempat berhenti
berdetak sampai-sampai Ia sendiri tidak sadar kalau Ia sempat mengerjapkan
mata. Adrian menyadari kerjapan mata gadis itu, namun Ia masih tetap tersenyum,
“gadis bodoh.”
Belum sempat Fiona membalas perkataannya,
Adrian kembali berkata, “apa kau lupa membawa sarung tangan atau kau memang
tidak punya satupun di apartemenmu?”
Fiona bermaksud untuk menjawab perkataan
Adrian itu, namun laki-laki itu segera membuka salah satu sarung tangannya dan
memakaikannya di tangan kiri Fiona. Tangan kanan Fiona tetap digenggamnya di
dalam saku jaketnya yang dalam.
Fiona kembali berhenti bernapas untuk beberapa detik.
“kau akan merasa hangat selama jalan-jalan
kita nanti.”
Fiona hanya terdiam dan menatap wajah
laki-laki itu. Ia lalu menunduk dan menyembunyikan senyum. Perasaan hangat
mulai menjelajari dirinya, entah itu berasal dari detak jantungnya yang cepat
yang memompa darahnya ke seluruh tubuh atau itu berasal dari tangan Adrian yang
begitu hangat. Fiona tidak
mengelak dan membiarkan Adrian menggenggam tangannya. Kehangatan yang Ia
rasakan saat ini terasa begitu nyaman dan benar.
“Kau membawa gitar?” Tanya Fiona sambil
menoleh ke arah belakang kemudi.
“karena akhir-akhir ini aku sibuk di studio,
jadi aku biarkan gitarku di dalam mobil.” Jawab Adrian. “kebetulan sekali
bukan?”
Fiona mengangkat sebelah alis. “kebetulan
apa?”
“aku tiba-tiba ingin memainkan gitar.” Ungkap
Adrian. Laki-laki itu lalu tersenyum ke arah Fiona. “bagaimana menurutmu?”
Fiona menatapnya dengan mata melebar. “kau
serius? Kalau nanti kau menarik perhatian banyak orang bagaimana?”
“bukankah itu memang tujuan utama dari
bernyanyi di depan umum?”
Fiona lalu memukul lengan Adrian pelan, “aku
serius.”
Adrian tertawa kecil, Ia lalu membalas,
“tujuanku bukan untuk mencari perhatian.”
“lalu?”
Adrian tidak menjawab untuk beberapa saat,
namun Ia menoleh menatap Fiona. “kau belum pernah melihatku memainkan gitar secara
langsung, bukan?”
Fiona menggeleng. “belum. Jadi setelah piano,
sekarang kau ingin memamerkan permainan gitarmu?”
“bisa dibilang begitu.” Adrian terdiam
sesaat, lalu Ia melanjutkan. “tunggu dulu, bukankah waktu itu kau yang
memaksaku untuk bermain piano? Sekarang aku sedang berbaik hati untuk
memperlihatkan kemahiranku dalam bermain gitar.”
Fiona hanya mendengus pelan, Ia lalu
tersenyum. “oke. Terserah kau saja.”
Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai
di depan terminal stasiun kereta Cheongnyangni
yang merupakan salah satu terminal stasiun kereta terbesar di Korea. Fiona
sangat jarang menghampiri stasiun kereta ini, itu karena lokasi stasiun kereta
yang cukup jauh dan Ia juga jarang pergi keluar kota.
“kenapa stasiun kereta?” Tanya Fiona begitu
turun dari mobil Adrian. Laki-laki yang sedang diajaknya berbicara menatap ke sekeliling
terminal, suasana yang sibuk dan padat sama sekali tidak membuatnya merasa
pusing. Adrian justru menikmati suasana itu. Ia lalu berdiri menghadap Fiona.
“apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu?”
Fiona terdiam sesaat. Ia menyipitkan kedua
matanya dan terlihat berpikir. Ia lalu ingat akan saat-saat pertama kalinya
bertemu dengan Adrian. “waktu itu kau sedang syuting dan aku bermaksud untuk menghampiri
ayahku. Tapi aku justru menabrakmu.”
“dan setelah itu aku mengantarmu ke stasiun
kereta.”
Fiona mengangguk. Ia lalu tersenyum menatap
Adrian. “karena itukah sekarang kau mengajakku ke stasiun kereta?”
“walaupun bukan di stasiun kereta yang sama…”
balas Adrian. Ia lalu menatap ke arah bangku kosong yang berada tidak jauh dari
posisi mereka berdiri. “kau punya hutang padaku.”
Fiona menatap Adrian heran. “hutang apa?”
“apa kau tahu kalau waktu itu kau sangat
tidak sopan? Kau pergi begitu saja meninggalkanku yang sedang dikerumuni banyak
orang.” Jelas Adrian. “itu berarti kau berhutang waktu padaku sekarang.”
“oh yang itu…” Fiona lalu mengibaskan
tangannya bermaksud untuk mengoreksi perkataan Adrian barusan. “waktu itu aku
tidak bermaksud untuk meninggalkan…”
kata-kata Fiona terhenti begitu Adrian
kembali menggenggam tangannya dan menariknya pelan. “kita cari tempat duduk
dulu sebelum kau kembali cerewet.”
Fiona ingin membalas Adrian yang barusan
mengatainya cerewet, tapi tidak jadi. Ia lebih memilih untuk diam dan
membiarkan Adrian menyentuh tangannya dari pada membalas ucapan Adrian dengan
kesal dan menarik tangannya.
Begitu mereka duduk di bangku, Adrian lalu
mendesah pelan. Kedua mata cokelat gelapnya masih memandang ke sekeliling
stasiun kereta. Terdengar suara peluit kereta yang baru saja tiba. Orang-orang
di depan mereka berlalu lalang dan tetap melihat lurus ke depan tanpa
sedikitpun memperdulikan orang-orang yang ada di samping mereka. Semuanya
terlihat begitu sibuk dan padat, mereka mungkin bahkan tidak menyadari seorang
artis Inggris yang sedang duduk dibangku dan memperhatikan semua keadaan itu.
Adrian dan Fiona duduk saling diam untuk
beberapa saat, Fiona lalu menoleh ke arah Adrian dan memperhatikan mata
laki-laki itu yang tiba-tiba terlihat menerawang.
“apa kau sedang memikirkan sesuatu?” Tanya
Fiona.
Adrian mengalihkan pandangannya dari
sekeliling ke arah Fiona. “apa?”
“apa ada yang terjadi?” ulang Fiona
memperjelas pertanyaannya. “kau seperti… sedang berpikir.”
Seulas senyuman tipis lalu tersungging di
bibir Adrian. “apakah terlihat sangat jelas?”
Fiona mengangguk pelan. Adrian kembali
mendesah, Ia akhirnya memutuskan untuk bercerita. “ini karena adikku.”
“Katherine?” balas Fiona dengan nada sedikit
ragu. Walaupun Ia sadar kalau Adrian hanya memiliki seorang adik, tapi Fiona
tidak pernah berpikir kalau Adrian akan mempunyai masalah dengan Katherine.
“ya.” Aku Adrian. “belakangan ini dia sangat
membingungkan. Juga sedikit menyusahkan.”
Fiona tetap terdiam, menunggu Adrian untuk
melanjutkan. “sampai sekarang aku tidak paham apa yang membuatnya begitu
membenci ayah kita.”
Sebuah pertanyaan muncul di dalam benak
Fiona. Katherine membenci ayah kandungnya? Kenapa?
“gadis itu bahkan tidak ingin mengingat hari
ayahnya meninggal. Dia berlagak seakan-akan dia tidak pernah mempunyai ayah
sama sekali.” Adrian memberi jeda, Ia lalu melanjutkan, “sepertinya aku tidak
bisa merubahnya.”
Fiona masih mendapati dirinya tidak bisa
berkata apa-apa. Ia tidak pernah berpikir gadis semanis, sebaik dan seriang
Katherine akan mempunyai masalah di dalam keluarganya. Maksudnya, bagaimana
Katherine bisa menyembunyikan semua itu di depan orang lain?
Fiona lalu meletakkan tangannya di bahu
Adrian dan menepuk bahunya pelan. “mungkin saja adikmu butuh waktu. Butuh waktu
untuk melupakan semua kenangan pahit di masa lalu. Maka dari itu dia bersikap
seperti ini.”
“tapi bukankah itu terlalu berlebihan?” balas
Adrian. “dan itu bukan hanya Kate. Ibuku juga hanya mengalah saja setiap Kate
bersikap seperti itu. Aku merasa seperti orang bodoh. Sepertinya hanyalah aku
satu-satunya yang kebingungan di sini.”
Fiona kembali terdiam. Kini Ia yang merasa
bodoh. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membuat Adrian merasa
lebih baik. Apa Ia merupakan teman bercerita yang baik?
“tidak usah berpikir keras seperti itu.” Ujar
Adrian seakan-akan Ia bisa menebak pikiran Fiona. Gadis itu sedikit terkesiap
begitu mendengar ucapan Adrian yang bisa menebak dirinya dengan mudahnya.
“aku tidak butuh kata-kata yang bersimpati.”
Tambah Adrian. “yang aku butuhkan hanya satu. kau diam saja di sini. Tetap diam
disampingku.”
Fiona menoleh menatap Adrian. Laki-laki itu
menatap lurus ke depan, namun Fiona bisa melihat tatapan matanya yang dalam yang
tidak diarahkan ke siapapun. Fiona mulai merasakan rasa hangat yang mulai
menjelajari tubuhnya untuk kesekian kalinya, Ia lalu memutuskan untuk berada di
samping laki-laki itu terus jika itu memang bisa membuatnya merasa lebih
tenang.
Karena tidak bisa menemukan kata-kata lain
yang lebih tepat, Fiona memutuskan untuk bertanya. “apa kau bisa menyanyikan
lagu Korea?”
Adrian lalu mengalihkan pandangannya ke
Fiona. Ia mengangkat sebelah alis. “kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?”
Senyum lalu mengembang di wajah Fiona. “siapa
sangka kalau aku juga pandai dalam mengalihkan pembicaraan?”
Adrian tertawa kecil, ternyata gadis itu bisa
menjiplak sikapnya dengan baik. “kau benar. Kau sangat pandai.” Pujinya.
“sebenarnya aku belum pernah bernyanyi dalam bahasa lain selain bahasa Inggris.
Aku akan mencobanya.”
Fiona kini tersenyum lebih lebar kepada
Adrian. Senyuman itu membuat Adrian sedikit terkejut, senyuman yang begitu
cerah, Adrian merasa beban dipikirannya menguap detik itu juga.
“aku mempunyai sebuah tantangan untukmu.”
Kata Fiona. “apa kau bisa mempelajari lagu Korea dalam dua minggu?”
Adrian lalu tersenyum sambil menggelengkan
kepala pelan. “sepertinya kau benar-benar meremehkanku.” Balasnya. “kita lihat
saja nanti.”
“bagus.” Ujar Fiona sambil menepuk kedua
tangannya. “aku sangat penasaran bagaimana suaramu akan terdengar dalam bahasa
Korea.”
“tapi sebelum itu…” Adrian beranjak dari
tempat duduknya. “aku sudah bilang kalau aku ingin bermain gitar, bukan?”
Fiona mengerjapkan matanya. Ia lalu
melemparkan pandangannya ke sekeliling. “apa kau serius? Di sini?”
“kenapa tidak?” Tanya Adrian balik. “bukankah
konser gratis itu menyenangkan?”
“Adrian, aku serius.” Balas Fiona dengan nada
serius dan raut wajah khawatir. Ia hanya tidak ingin orang-orang tiba-tiba
menyadari keberadaan Adrian dan akan mengerubunginya saat itu juga. Dan jika
itu terjadi, Fiona harus menyiapkan diri untuk menjauh sejauh mungkin dari
kerumunan. Berjaga-jaga agar tidak ada orang yang menyadari keberadaannya. Menjauh
dari Adrian.
“kau tenang saja, aku tahu kau tidak suka
keramaian.” Ujar Adrian yang bisa menebak semua kekhawatiran Fiona lewat raut
wajahnya. “kau tunggu di sini.”
Belum sempat Fiona menahan Adrian, laki-laki
itu sudah berlari menuju parkir mobilnya. Adrian mengeluarkan gitar akustik
berwarna putihnya dari bangku belakang mobil dan berjalan ke seberang jalan.
Adrian tidak menghampiri Fiona, Ia justru berhenti di depan sebuah rumah makan
tradisional yang letaknya sekitar lima puluh meter dari posisi Fiona duduk.
“apa dia mau mengamen?” gumam Fiona sambil tersenyum
menatap Adrian dari kejauhan.
Sebelum memulai permainan gitarnya, Adrian
melirik ke arah Fiona dan tersenyum manis. Senyuman itu lagi. Senyuman hangat
yang selalu membuat Fiona lupa akan dinginnya hari. Senyuman itu seakan-akan
mengisyaratkan “tatap aku dan dengarkan.”
Adrian lalu mulai menjentikkan jari-jarinya
di senar gitar. Dari kejauhan itu Fiona masih bisa mendengar nada gitar Adrian
yang begitu jelas. Tanpa sadar Fiona menyunggingkan seulas senyuman lebar
begitu mendengar Adrian memainkan lagu Payphone.
Permainannya sangat mahir sampai-sampai Fiona tidak bisa mengalihkan
pandangannya dari laki-laki itu walau hanya dari jauh.
Fiona bisa melihat beberapa orang yang sudah
mulai berlarian mengerumuni Adrian, para gadis yang sudah mengeluarkan kamera
dan handphone mereka untuk mengambil gambar Adrian. Fiona sedikit mendongak,
sosok Adrian mulai menghilang dari pandangannya. Tetapi beberapa saat kemudian,
Adrian terlihat berjalan menaiki beberapa tumpukan benda sambil masih memainkan
gitarnya. Kini Adrian terlihat lebih tinggi dan Fiona bisa memperhatikannya
dengan jelas dari bangkunya. Sesaat Fiona merasa sesuatu yang aneh muncul di
dalam hatinya. Sama seperti perasaan aneh yang muncul saat melihat laki-laki
itu bermain piano. Perasaan yang tidak ingin Ia lepaskan, perasaan yang
membuatnya begitu nyaman.
Setelah beberapa saat memperhatikan laki-laki
itu, Adrian kembali menatap Fiona. Sambil masih memainkan gitarnya, Adrian
mengedipkan sebelah mata ke arah Fiona. Dan saat itu juga, Fiona mengaku bahwa
dunianya sudah tidak sama lagi.
Jumat, 24 Agustus 2012
Bagian Empat Belas
“Hei, bangun.”
Seulas senyuman kecil tersungging di bibir Adrian begitu mendengar
suara gadis itu. Ia membuka matanya samar, sejenak Ia menyentuh kepalanya,
ternyata sudah membaik.
“bagaimana kepalamu?” Tanya Fiona. “sudah membaik?”
Adrian menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu kemudian membalikkan
badannya dan menemukan gadis didepannya tersenyum manis. Sesaat Adrian merasa jantungnya
berdegup kencang. Senyuman itu, senyuman manis pagi hari yang pertama kali Ia
lihat.
“kau tahu? Kau sudah hampir tidur seharian.” Suara Fiona membuyarkan
lamunannya.
“benarkah?” Adrian lalu bersandar di tempat tidurnya. “tapi aku sudah
merasa jauh lebih baik.”
Senyum Fiona yang manis kembali mengembang. “baguslah. Kau mandi saja
dulu, aku akan membuatkan sarapan. Kau mau minum apa?”
“tidak usah, aku buat sendiri saja nanti.”
Fiona terdiam sejenak, namun akhirnya Ia menganggukkan kepala. “baiklah.”
Gadis itu kemudian berjalan keluar kamar, namun suara Adrian yang
memanggilnya menghentikan langkahnya. “kau tidur di mana semalaman?”
Fiona membalikkan badannya, Ia tersenyum kecil. “semalaman aku tidak
pulang. Jadi, aku tidur di sofa di ruang tengah.”
“oh ya?”
Fiona mengangguk. “ya. Aku rasa aku harus menunggumu, siapa tahu kau
butuh bantuan. Tidak apa-apa, bukan?”
“tentu saja tidak masalah.” Sahut Adrian. “terima kasih, Fiona-ssi.”
Gadis itu hanya tersenyum membalasnya. Kedua mata hijaunya yang jelas
itu terlihat berbeda dari biasanya, mata yang membuat Adrian selalu ingin
memperhatikannya. Hanya dengan melihat gadis itu, semua beban Adrian sejak tadi
malam terasa terangkat begitu saja.
“kau yakin ingin minum kopi?”
“kenapa tidak?” Tanya Adrian balik sambil menuangkan air panas ke
dalam cangkir kopinya.
“kau baru saja membaik. Apa tidak sebaiknya minum teh hangat saja?”
Adrian menggelengkan kepalanya pelan. “yang benar saja. Sejak aku
tinggal di Korea, minumanku selalu teh hijau. Aku bahkan tidak sempat meminum kopi favoritku.”
Fiona tidak menjawab, Ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri
dapur. Matanya lalu melirik ke arah sarapan yang terletak di atas meja makan.
“kau sudah lihat sarapan yang aku buatkan?”
Adrian lalu mengikuti arah pandangan Fiona. Senyumnya mengembang
begitu melihat dua tumpukan pancake
dengan madu di atasnya. “kau bisa buat pancake?”
“kau kira aku hanya bisa membuat kimchi?”
“aku tidak pernah tahu kalau kau bisa membuat pancake.” Kata Adrian sambil berjalan menghampiri meja makan.
“itu karena kau selalu meminta kimchi.”
Balas Fiona. “dan pancake bukan
satu-satunya kue yang bisa aku buat. Aku juga bisa membuat cheese cake, cupcake dan apple
pie.”
Adrian tersenyum sambil menyantap suapan pertama pancakenya. “ternyata kau penulis yang pintar memasak. Baguslah.”
Fiona yang sudah meraih secangkir air panas kemudian mengangkat
sebelah alis. “bagus? Bagus kenapa?”
“aku tidak usah khawatir nantinya.”
“apa?”
“tidak apa-apa.” Balas Adrian cepat. “mmm, pancake ini benar-benar enak. Apalagi madunya, manis sekali.”
Fiona terdiam sejenak. Kenapa laki-laki di depannya itu selalu
mengatakan hal yang membingungkan? Dan jeleknya, Adrian tidak pernah
memperjelas maksudnya dari perkataan-perkataan itu. Gadis bermata hijau itu
hanya menghela napas dan kembali membuat teh, sepertinya Ia sudah terbiasa
dengan sikap Adrian yang tidak bisa ditebak itu.
Sambil menyantap sarapannya, Adrian memperhatikan Fiona yang sedang
membuat teh untuk dirinya sendiri. Adrian lalu menghentikan gerakannya. Menatap
gadis itu yang sedang mencelupkan kantung teh dan menambah dua kubus kecil
gula, semua perpaduan gerakannya membuat Adrian seakan-akan terpana. Adrian
tidak pernah melihat gadis itu di dapur sebelumnya. Dan sekarang, Ia berdiri di
depan Adrian yang sedang menyantap pancake
buatannya dan membuat teh untuk dirinya sendiri. Adrian menundukkan
kepalanya dan tersenyum, Ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebar
begitu menyadari semua itu.
“Adrian? Kau kenapa?” Tanya Fiona begitu melihat Adrian yang
menundukkan kepala.
“hah? Tidak apa-apa. Aku hanya… melihat lantai.”
Senyum Adrian masih terlihat samar. Gadis itu menatapnya heran. Ia
hanya mengangguk pelan dan berjalan menghampiri sofa. Ia lalu menyesap tehnya
dan membuka novel favoritnya.
“kau membaca buku yang sama lagi?”
“sebenarnya aku sudah
membaca ini empat tahun yang lalu. Aku membaca ulang lagi.”
Adrian menyipitkan kedua matanya, memperhatikan buku yang Fiona baca.
Ia lalu beranjak dari kursinya dan menghampiri sofa. Mata Adrian melebar begitu
menyadari judul buku yang Fiona baca.
“Fallen?”
Fiona lalu mengangkat novelnya dan memperlihatkan buku favoritnya itu
kepada Adrian dengan senyum bangga. “Apa kau tahu buku ini? Ini novel favoritku.”
Adrian tidak menjawab untuk beberapa saat. Kebetulan sekali. Ini
benar-benar kebetulan. Ia tidak pernah tahu novel yang berjudul Fallen. Tidak pernah tahu sejak empat
tahun yang lalu sampai gadis di depannya menunjukkan buku itu kepadanya. Kenapa
judul buku ini bisa kebetulan sama dengan judul albumnya?
“aku tidak tahu. Tapi novel itu… menceritakan tentang apa?”
senyum Fiona masih mengembang di wajahnya. Ia cukup merasa senang melihat
Adrian yang penasaran dengan buku bacaannya. “ini novel fantasi. Menceritakan
tentang kisah cinta antara seorang manusia dan malaikat. Mereka sudah pernah
bertemu sebelumnya di masa lampau, dan kini mereka dipertemukan kembali.”
“mereka saling
mencintai?”
Fiona mengangguk sambil tersenyum. “aku sangat menyukai cerita di
novel ini. Aku harap suatu saat nanti aku bisa menulis buku yang menarik
seperti ini.”
“tentu saja kau pasti bisa.”
Fiona terlihat ragu sejenak, namun akhirnya Ia memberanikan diri. “apa
kau mau mendengar bagian yang menarik?”
“dari novel itu?” Tanya Adrian. Ia tersenyum, menyadari gadis
didepannya itu terlihat antusias membicarakan topik favoritnya.
“ya, tapi kalau kau memang mau.”
“tentu saja. Siapa tahu aku bisa mendapatkan inspirasi.”
Sebersit rasa penasaran kemudian muncul di dalam hati Fiona.
“inspirasi untuk apa?”
Awalnya Adrian tidak ingin menjawab pertanyaan Fiona itu, namun
akhirnya Ia tersenyum. “untuk album baruku.”
Fiona membalas senyuman Adrian, Ia lalu membuka novelnya kembali dan
membalik-balikkan halaman, mencari bagian yang paling berkesan.
Fiona menghentikan gerakan tangannya, senyum kecil mengembang di
bibirnya begitu melihat bagian favoritnya.
‘Her mere proximity gave him the most
peculiar sensation, like the kind of heat sent out when a log shatters to ash
in a fire. He could not escape her.’
Fiona melirik ke arah Adrian, bermaksud untuk melihat reaksi laki-laki
itu setelah mendengarnya membaca sesaat. Ia lalu kembali mengalihkan
pandangannya ke buku dan melanjutkan kalimatnya yang tadi.
Adrian terus memperhatikan Fiona, mendengarkan setiap kata yang gadis
itu ucapkan, meresap setiap kalimat yang Ia suarakan. Setelah beberapa saat
Adrian memusatkan konsentrasinya pada cerita, Ia tidak menyadari dirinya yang
beralih hanya menatap Fiona. Hanya Fiona. Seolah-olah hanya ada gadis itu di
dalam pandangannya, tidak ada latar belakang. Hanya gadis itu yang sedang
membaca bukunya. Suaranya yang lembut dan lemah membuat Adrian merasa
terhipnotis. Sebercah cahaya matahari menyentuh rambut cokelat gelapnya yang
bergantung di sisi pipinya. Sesekali Fiona melirik menatap Adrian,
memperhatikan wajah laki-laki itu sekilas. Adrian merasa gadis itu seperti…
seperti… ah, Adrian tidak dapat menjelaskan perasaannya sendiri.
Gadis di depannya sesekali tersenyum manis saat membaca bukunya, Ia
juga sesekali tertawa begitu melihat Adrian yang terus melamun
memperhatikannya. Fiona pasti tidak menyadari betapa anehnya perasaan Adrian
sekarang. Betapa anehnya sampai yang Ia bisa lihat saat itu hanya Fiona. Dan
terlebihnya, laki-laki itu tidak ingin mengalihkan pandangannya. kalau bisa, Ia
berharap waktu berhenti saat itu juga.
“aku capek.” Ujar Fiona sambil menutup bukunya. “ternyata membaca
sambil berbicara itu benar-benar jauh lebih melelahkan dari pada membaca dalam
hati.”
Suara Fiona barusan membuyarkan lamunan Adrian yang sudah berlangsung
sekitar sepuluh menit. Laki-laki itu lalu tersenyum tipis dan merubah posisi
duduknya yang tadinya menyandarkan kepalanya di sisi sofa. Adrian lalu duduk
menengadah menatap langit-langit rumahnya.
“Fiona-ssi.”
“mm??”
“boleh aku tanya sesuatu?”
“apa itu?”
“apakah ini pertama kalinya kau bercerita untuk seseorang?”
Fiona terdiam sesaat, Ia agak heran dengan pertanyaan Adrian barusan.
“bukan pertama kalinya. Aku sudah pernah membaca untuk anak-anak panti asuhan
yang dulu sering aku kunjungi.”
Adrian kembali merubah posisi duduknya, Ia lalu menatap Fiona. “boleh
aku minta sesuatu?”
“minta apa?”
“lain kali bacakan cerita itu lagi untukku.” Pinta Adrian sambil
menunjuk ke arah buku Fiona. Ia lalu mengulurkan tangannya mengambil buku yang
Fiona pegang dengan perlahan.
“Fallen…” bisik Adrian.
“sangat menarik.”
“kenapa aku harus membaca untukmu lagi?” tanya Fiona. Lalu, “bukankah
kau bisa membaca sendiri?”
“aku tidak terlalu suka membaca buku.” Jawab Adrian langsung. “tapi
aku suka ceritanya. Dan juga…”
“juga apa?” sela Fiona. Adrian menatap gadis itu untuk sesaat. Ia
bermaksud untuk menyelesaikan perkataannya, tetapi tidak jadi.
“tidak ada.”
Fiona mulai menatap Adrian dengan perasaan dongkol. Kenapa Ia terus
tidak menyelesaikan kalimatnya? Apa laki-laki itu kira menyenangkan bagi orang
yang sedang mendengarkannya?
“kenapa kau selalu berlagak misterius seperti itu!”
“hah?” Adrian sedikit terkesiap. Suara Fiona barusan lebih terdengar
seperti membentak dari pada bertanya.
“kau selalu tidak menyelesaikan kalimatmu. Selalu membuat orang
penasaran. Selalu membuat orang bingung.” Kata Fiona masih dengan nada kesal.
“kau kira itu menyenangkan?”
“jadi aku sudah sering membuatmu penasaran?”
Fiona tetap menatap Adrian dengan tajam. Ia lalu memelototi laki-laki
itu dan beranjak dari sofa. “sudahlah! Lupakan saja. Kau sudah membaik bukan?
Aku pulang sekarang.”
Gadis itu lalu mengambil tasnya dan cepat-cepat berjalan menuju pintu
keluar.
“aku ingin selalu mendengar suaramu.”
Fiona menghentikan langkah kakinya. Ia harus memproses otaknya untuk
beberapa saat setelah mendengar ucapan Adrian barusan.
Adrian memperhatikan gadis itu, tetapi dia masih terdiam membelakangi
Adrian.
“suaramu selalu menenangkan.” Adrian masih menatap gadis itu, berharap
Ia membalikkan badannya. “itu alasan lain yang aku punya. Kau bisa melakukannya
untukku, bukan?”
Fiona lalu menundukkan kepalanya, gadis itu merasakan sesuatu yang
sudah lama Ia tidak rasakan, sesuatu yang menyenangkan muncul di dalam hatinya.
Ia lalu membalikkan badannya dan menatap Adrian. “ya.” Ujarnya. Gadis itu
kemudian tersenyum, memperhatikan mata Adrian yang juga menatapnya. Fiona
kembali membalikkan badannya dan berjalan keluar pintu.
Adrian masih terpaku dalam posisi semulanya. Ia mulai menyesali
sikapnya yang kurang berani untuk berterus terang dan belum mengatakan semuanya
yang ingin Ia katakan pada Fiona.
Sebenarnya itu adalah alasan utamaku.
Aku ingin mendengar suaramu setiap hari. Suara yang hanya ditujukan untukku.
Langganan:
Postingan (Atom)
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.