"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Senin, 16 Juli 2012

Bagian Sembilan


Fiona sedang berjalan menyusuri kota Seoul yang diselimuti kabut putih dan udara dingin di malam hari. Kota Seoul masih terlihat begitu ramai dan terang menderang, orang-orang berjalan melewati jalan sambil tertawa dan berbincang-bincang dengan orang di samping mereka. Beda halnya dengan Fiona yang menyendiri dengan raut wajah yang datar sambil menendang-nendang batu kerikil kecil di sepanjang jalan. Suasana kota Seoul di malam musim dingin yang ramai itu sama sekali tidak berpengaruh dengan suasana hati Fiona saat ini.
“Aaaaa” erang Fiona pelan sambil mendongak melihat ke atas langit. “kenapa salju tidak turun lagi? Kenapa?  Kenapa tidak mau menghiburku?”
Beberapa orang yang lewat sempat memperhatikan Fiona yang berceloteh sendiri. Karena sadar menjadi pusat perhatian, Fiona menunduk dengan perasaan malu. Memang suasana hati yang buruk selalu membuatnya menuntut sesuatu yang bisa membuatnya senang. Sejauh ini, hari ini merupakan yang terburuk baginya. Pertama Lee Jae Woo, lalu tanpa disangka-sangka, Adrian juga membuat suasana hatinya makin ruyam. Nah, yang terakhir itu yang masih membuatnya heran. Kenapa Ia bisa merasa begitu kesal di lokasi syuting tadi? Apa hanya karena Song Mi Na yang menjadi model gadis  utama dan punya kesempatan untuk memegang-megang Adrian? Ah, tidak mungkin. Itu sama sekali bukan urusan Fiona. Tidak, tidak, Fiona lalu menepuk kedua pipinya dengan tangannya yang dibaluti sarung tangan rajutan berwarna putih. Karena sudah tenggelam jauh dalam pikirannya sendiri, Fiona tidak sadar kalau dia sudah sampai di depan apartemen.
“Aku pulang…” seru Fiona dengan nada yang lemah sambil membuka pintu apartemennya dengan malas.
Min Rae lalu menghampiri Fiona dengan wajah yang terlihat agak cemas, “ya ampun, Hwa Young-ssi. Aku kira kau sedang ada di mana malam ini.”
Seperti biasa, Min Rae selalu khawatir jika Fiona datang terlambat di malam hari. Terkadang sikap Min Rae yang seperti ini membuat Fiona merasa masih memiliki seorang ibu.
“aku tadi sedang berkeliling sebentar.” sahut Fiona sambil melepas sepatu bootnya. “ada apa? Kau masih terlihat cemas. Hei, aku sudah ada di sini.”
“Bukan itu masalahnya.” Sela Min Rae lalu menatap ke arah ponselnya yang Ia pegang. “apa kau mematikan ponselmu?”
Kening Fiona mengkerut, Ia yakin kalau ponselnya tidak dimatikan. Fiona lalu mengambil ponsel di tas kecilnya yang berwarna merah. Matanya melebar, “ya ampun, ternyata ponselku kehabisan baterai.”
Min Rae mendecakkan lidah, “pantas saja. Ayahmu sempat meneleponmu, tetapi tidak tersambung. Jadi Beliau baru saja meneleponku dan menanyakanmu. Dia ingin segera bertemu denganmu sekarang.”
Appa? Bertemu sekarang?” alis Fiona terangkat heran.
Min Rae mengangguk dan wajahnya masih terlihat cemas. “sepertinya sesuatu yang serius, Hwa Young-ssi.”
Fiona yang tadinya sedang berpikir lalu menoleh ke arah Min Rae.
“Sebaiknya kau cepat menemuinya. Tidak biasanya Beliau ingin bertemu denganmu mendadak seperti ini.” Saran sahabatnya itu.
Fiona hanya mengangguk pelan dan kembali memasang sepatu bootnya. “jangan tidur duluan, aku akan segera kembali.”


Fiona ragu. Sepanjang perjalanan ke rumah ayahnya, Ia sudah memikirkan segala alasan mengapa ayahnya meminta untuk bertemu tiba-tiba seperti ini. Apa memang ada sesuatu yang begitu penting sehingga harus dibicarakan sekarang? Apa ayahnya akan marah-marah begitu melihat Fiona saat itu juga? Apakah Fiona sudah membuat kesalahan? Apa jangan-jangan ayahnya akan melarangnya untuk pergi belajar ke Inggris karena… sudah! Fiona tidak sanggup memikirkan kemungkinan jelek lainnya, akhirnya Ia berdeham dan memencet tombol interkom.
Untuk beberapa saat Fiona tidak berkata, menunggu ayahnya bersuara. Ia yakin ayahnya bisa melihatnya melalui kamera pengawas. “Fiona?” suara ayahnya terdengar setelah jeda beberapa saat.
“ya, Appa. Ini Fiona.”
“masuklah.”
Fiona menghembuskan napas pelan, Ia masih merasa was-was. Namun dengan segala keyakinan yang ada, Fiona membuka pintu utama rumah yang besar dan putih itu. Baru saja saat Ia ingin menutup pintu yang berat itu, ayahnya sudah berdiri di depannya dengan kedua tangan terlipat di dada. Gawat. Kalau ekspresi wajah ayahnya sudah datar dan serius begini, sudah pasti ada masalah. Fiona tertegun, tubuhnya mulai menegang.
“ada apa, Appa?” tanya Fiona perlahan.
Ayahnya menatap Fiona sesaat, namun akhirnya nada suaranya terdengar lembut dan tenang sangat berbeda dengan ekspresi wajahnya. “duduklah dulu. Sudah lama kau tidak berkunjung ke rumah.”
Fiona berjalan ke sofa panjang di ruang keluarga yang luas itu dan Ia sama sekali tidak berani melihat wajah ayahnya. Ia masih grogi dan was-was. Bagaimanapun, Fiona sudah mempersiapkan diri untuk menerima omelan, ceramah dan apapun yang akan dikatakan ayahnya. Tapi sebelum menerima semua itu, Ia ingin tahu kalau dia memang membuat kesalahan. Fiona mulai memutar-mutar otaknya, berusaha mengingat kapan dan di mana.
“Fiona, langsung saja.” Kata ayahnya yang sudah duduk berhadapan dengan Fiona di sofa.
Appa dengar kau sempat datang ke acara fashion show butik terkenal di Myong Dong. Benar?”
Ini dia yang selalu membuat Fiona bertanya-tanya. Ayahnya tahu setiap kegiatan Fiona dari mana? Dari dulu Fiona mempunyai firasat bahwa ayahnya mempunyai mata-mata. Sampai sekarang Ia masih yakin walaupun belum punya bukti. Ya, pasti ada mata-mata.
Appa tidak membutuhkan jawabanmu.” Ujar ayahnya lagi yang melihat Fiona hanya menunduk.
Appa yakin kau pasti takut.”
Fiona lalu mendongak melihat wajah ayahnya. “Appa…”
“Kalaupun kau memang datang ke acara fashion show itu, Appa harap kau tidak datang lagi ke acara seperti itu.” Sela ayahnya kini dengan nada yang agak tidak sabar.
Appa, Fiona masih bingung. Kenapa Appa selalu melarang Fiona untuk datang ke acara atau pesta kerabat-kerabat Appa?” tanya Fiona tiba-tiba. Mengingat kerabat-kerabat ayahnya itu adalah orang-orang terkenal di Korea.
Ayahnya tidak menjawab.
Fiona mulai memasang wajah agak kesal. Ayahnya selalu seperti itu setiap ditanyai hal yang sama. Selalu seperti itu dari dulu.
Appa lihat-lihat kau sepertinya dekat dengan artis muda dari Inggris itu.” Kata ayahnya yang tidak memberikan jawaban tapi malah mengalihkan pembicaraan.
Appa sudah bilang berkali-kali…”
Appa.” Fiona menyela, suaranya tercekat. Ayah Fiona lalu menatap Fiona dengan sedikit terkejut. Seumur hidupnya, ini baru pertama kalinya Fiona menyelanya yang sedang berbicara.
Appa, maaf. Fiona menyela. Tapi Fiona butuh penjelasan.” Tegas Fiona, seakan-akan bisa membaca pikiran ayahnya.
“Kenapa Appa selalu melarang Fiona untuk memberitahu orang-orang bahwa Fiona adalah anak Appa. Kenapa Appa selalu khawatir setiap Fiona mendatangi pesta-pesta resmi.” Kata Fiona sambil memejamkan mata, Ia tidak bisa melihat ekspresi ayahnya saat ini. Terlalu takut.
“Fiona selalu grogi dan was-was setiap ada di tengah orang banyak. Itu semua karena Appa selalu memperingati Fiona untuk berhati-hati sejak kecil. Dan jangan pernah mengatakan apa-apa kepada mereka yang bertanya tentang Fiona.”
Ayahnya masih terdiam, pandangannya menerawang. Tangannya memegang erat sisi sofa.
“sampai sekarang Fiona belum tahu jelas apa alasannya. Appa, tolong jelaskan pada Fiona.” pinta Fiona dengan nada suara yang berharap ayahnya akan memberikan penjelasan sekarang juga.
Ayahnya yang kini ditatapnya hanya terdiam dan masih memasang ekspresi wajah yang begitu datar. Entah apa yang ada dipikiran Ethan Park saat ini.
“Fiona.  kau ingat sendiri kejadian buruk empat belas tahun yang lalu.” Lirih ayahnya membangkitkan kenangan buruk Fiona.
Apa hubungannya semua ini dengan kecelakaan lalu? Tidak, tidak mungkin ada hubungannya. Atau mungkin…
Fiona merasa jantungnya mulai berdebar-debar. “maksud Appa?”
Ayah Fiona menatap putrinya itu sejenak. Tatapannya lemah. “jangan tanya lagi, Fiona. Appa mohon. Selama kau menuruti kata ayahmu ini, Appa akan hidup dengan tenang.”
Fiona menunduk, lalu mendesah pelan. Ia tidak pernah bermaksud untuk membuat ayahnya khawatir atau sakit. Tidak pernah. Ia selalu berharap ayahnya mempunyai hidup yang panjang, karena ayahnya merupakan orang yang paling berharga di dalam hidupnya. Tapi Ia butuh penjelasan. Alasan yang  jelas atas semua kekhawatiran ayahnya itu.
“Jangan menyukainya.” Kata ayah Fiona tiba-tiba.
Fiona menoleh ke arah ayahnya, keningnya berkerut. Menyukai siapa? Jangan-jangan…
“jangan menyukai Adrian Harrison.” Ucap ayahnya memperjelas.
“Menyukai Adrian? Appa, itu tidak… tidak mungkin.” Suara Fiona terdengar ragu. Kenapa Fiona merasa ada yang salah dengan kata-katanya itu?
“Fiona, segala kemungkinan bisa terjadi.” Ayahnya kini menghampiri Fiona dan menggenggam tangan anaknya. “Appa tidak ingin kau terluka. Appa tidak ingin kau dikejar-kejar media, Appa hanya…”
Appa.” Sela Fiona lagi. Kini ayahnya hanya menatap Fiona dengan matanya yang sudah melemah. Fiona bisa melihat sinar kekhawatiran memancar dari mata ayahnya itu. Satu-satunya orang yang paling berharga baginya di dunia ini.
Dengan beban yang ada di dalam hatinya, Fiona menggenggam tangan ayahnya erat. “Appa tenang saja. Fiona bisa menjaga perasaan Fiona sendiri.”


“Bagaimana?” tanya Min Rae begitu melihat Fiona masuk ke dalam apartemen. Sejak Fiona pergi tadi, Min Rae sudah mondar-mandir di dalam apartemennya, tidak bisa tenang. Min Rae mengenal betul sejarah keluarga Fiona, walaupun bisa dikatakan sumbernya itu adalah Fiona seorang. Mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil. Karena itu, bukan hanya Fiona, tetapi Min Rae sangat mengenal sikap Mr. Park yang tidak bisa ditebak. Kalau sudah marah, tidak ada yang berani menatap sepasang bola mata hitam orang tua itu.
Fiona menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan mendesah pelan, “aku tidak tahu harus bagaimana lagi.”
“Maksudmu?”
“Sepertinya Appa tidak menyukai Adrian.” Sahut Fiona sambil menatap melamun.
“Apa? Adrian? Ia tidak suka Adrian? Pelan-pelan, jelaskan dari awal.” Kata Min Rae dengan tidak sabar.
Fiona menjelaskan semuanya dari awal.
Min Rae lalu menyandarkan tubuhnya di sofa dan menatap Fiona yang kemudian terdiam membisu.
“Tapi… kenapa ayahmu berkata seperti itu? Adrian itu kan artis…  maksudku, pria yang sangat baik. Ia juga terlihat begitu ramah. Begitu sempurna.”
Fiona lalu mendesah pelan dan menyentuh keningnya dengan sebelah tangan. “bukan itu masalahnya.”
“Lalu kau akan menuruti kata-kata ayahmu?”
“apa aku punya pilihan lain?” tanya Fiona, lebih kepada dirinya sendiri.
Min Rae lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Hwa Young-ssi, dengarkan aku.”
Fiona menoleh.
“Kau seharusnya bisa mengerti perkataan ayahmu itu.”
Alis Fiona terangkat. Apa lagi yang sedang dibicarakan temannya ini? Apa Ia sedang serius? Yang benar saja, mana mungkin Fiona bisa berpikir dengan jernih saat ayahnya membuatnya bingung setengah mati.
“Kau seharusnya lebih mengolah perkataannya. Ya, itupun kalau memang yang dimaksudnya sama dengan yang aku perkirakan.”
Fiona masih menatap Min Rae dengan heran. Benar-benar tidak mengerti maksud dan arah pembicaraannya.
“Ya Tuhan! Hwa Young, kau masih tidak mengerti?” tanya temannya itu dengan gemas.
Fiona hanya menggeleng pelan. Ekspresi wajahnya datar.
“aku yakin kau barusan bilang ayahmu hanya mengatakan jangan menyukainya.
Fiona mengangguk.
“apakah itu sama artinya dengan jangan bertemu dengannya atau jangan berbicara dengannya atau juga jangan berteman dengannya?”
Fiona lalu mengerjapkan matanya. Benar juga. Kenapa tiba-tiba Min Rae menjadi lebih cerdas?
“Itupun kalau ayahmu memang benar-benar sadar dengan apa yang Ia katakan. Atau mungkin dia sedang naik darah saat itu, jadi tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat.” Tambah Min Rae.
Baru saja Fiona merasa bebannya lebih terangkat sedikit, namun apa yang barusan dikatakan Min Rae menarik beban itu kembali ke pundaknya.
Min Rae menatap raut wajah Fiona yang berubah lebih murung. Ia segera mengibaskan tangannya. “tapi aku belum tentu benar. Jadi jangan terlalu dengarkan aku. Kau tahu sendiri bukan, kalau aku orang yang suka menebak-nebak dan tidak sepandaimu, Hwa Young-ssi?”
Fiona hanya tersenyum tipis. Segala kemungkinan bisa terjadi. Dan apa yang Min Rae katakan barusan itu tidak salah. Mungkin maksud ayahnya lebih dari apa yang dia ucapkan. Mungkin juga…
“Tapi kalau kau memang masih ragu,” suara Min Rae membuyarkan lamunan Fiona. “kau bisa coba berteman dulu dengan Adrian, kalau dia tidak sebaik yang kau kira, urusan perasaan lemparkan saja dia padaku.” Gurau Min Rae.
Fiona lalu tertawa kecil. “apa yang sedang kau bicarakan? Memangnya kita sedang berebut mainan mewah?”
“baguslah, akhirnya kau tertawa.” Kata Min Rae puas. Ia lalu berkata dengan nada lembut, “Hwa Young-ssi. pertemanan itu bukan tindakan kriminal. Hanya berteman dengan Adrian bukanlah  sesuatu yang terlarang.”


Fiona baru saja selesai membasuh wajah untuk ketiga kalinya. Sedari tadi Ia bolak-balik keluar kamar mandi hanya untuk membasuh ulang wajahnya yang baginya masih terlihat kusut. Hari ini benar-benar hari sial. Rasanya sudah seharian Ia dibanjiri rasa kesal dan suasana hati yang buruk. Dan semua itu datang dari orang-orang yang berbeda. Ia menoleh ke arah ponselnya yang masih di charge dan meniup poninya yang terpotong rapi. Semoga tidak ada yang menghubunginya lagi malam ini. Ia ingin segera menghempaskan badannya ke tempat tidur dan terlelap. Sudah cukup untuk hari ini. Sambil membenam wajahnya ke dalam bantal, Fiona berharap hari esok akan jauh lebih baik dari sekarang. Kalau bisa, Ia tidak ingin melihat Song Mi Na. tidak, tepatnya Ia tidak ingin melihat Song Mi Na disekitar Adrian. Fiona mengepal tangannya, terbayang dengan syuting tadi siang. Kenapa Ia tiba-tiba membayangkan si artis Inggris itu? Menyebalkan.
Setelah beberapa saat mencoba untuk tidur, ponsel Fiona bergetar. Fiona lalu mengangkat wajahnya dan mendecakkan lidah. “siapa lagi sih?!”
Fiona lalu melempar bantalnya dengan kasar dan meraih ponselnya yang terletak di meja rias. Awalnya Ia mengira ada pesan masuk, namun ternyata ada panggilan masuk.
Mata Fiona yang awalnya menyipit lalu melebar ketika melihat nama yang muncul di layar ponsel. “Adrian??”
Dengan perasaan ragu, Fiona menjawab ponselnya. “ha-lo?”
“Fiona-ssi?”
Suara Adrian yang selalu memanggil Fiona lembut itu dalam sesaat membuat Fiona terasa ringan. Perasaan kesal yang tadi menghujamnya tiba-tiba terlupakan begitu saja.
“apa kau sedang ada di dalam apartemen sekarang?” tanya Adrian, sadar Fiona sedang terdiam.
“kenapa kau meneleponku tiba-tiba?”
“aku ingin mendengar suaramu.”
Fiona tercengang. Suaranya kini terdengar kesal. “tidak usah basa-basi. Kenapa menelepon?”
Adrian terdiam untuk beberapa saat. “kau marah?”
Fiona menggeleng. Tapi apa Adrian bisa melihatnya? Percuma, lagi pula perasaannya memaksanya untuk mengangguk. Iya, Ia kesal. Ia marah.
“kenapa kau marah-marah begitu? Sejak tadi siang..” Fiona lalu mendengar Adrian mendesah pelan. “aku tahu. Lihat keluar.”
Fiona mengangkat sebelah alis. “apa?”
“lihat keluar.” Ulang Adrian. “aku yakin suasana hatimu tidak akan buruk lagi.”
Tanpa berpikir panjang, Fiona lalu berlari kecil keluar kamarnya dan menuju balkon. Matanya melebar dan berbinar-binar. Salju turun!
“Ada salju!” seru Fiona sambil masih menempelkan ponselnya di telinga.
Adrian tertawa kecil, “sudah kubilang tadi. Suasana hatimu jauh lebih baik, bukan?”
“ya.” Jawab Fiona dengan cepat. Suasana hatinya memang sangat membaik. Itu semua karena salju turun. Itu semua karena Adrian memberitahunya bahwa salju turun. Kalau tidak, mungkin saja Ia sekarang sudah terpulas dengan posisi tidur terbalik.
“di mana kau? Aku tidak bisa melihat wajahmu.”
Apa? Apa yang barusan Adrian katakan tadi? Tidak bisa melihat wajahnya?
Fiona sedikit terkesiap, lalu otaknya sudah mulai menduga-duga. “maksudmu?”
“kau sedang ada di balkon, bukan? Lihatlah ke bawah. Aku ingin melihat wajahmu.” Sahut Adrian, lagi-lagi dengan nada bicara yang menghipnotis.
Entah apa yang mendorong Fiona, Ia berjalan pelan menyusuri sisi balkon dan menengok ke bawah. Adrian melambaikan tangannya dan tersenyum hangat kepadanya.


Tadinya Adrian duduk termenung di apartemennya sambil menatap rantang makanan yang ada di atas meja kecil di hadapannya. Sebelum itu, Ia sempat memeriksa ramalan cuaca di ponselnya. Malam ini diprediksi bahwa salju akan turun, itu adalah hal yang sangat bagus. Terlepas dari itu semua, Ia masih belum mempunyai jawaban yang pasti. Sejak tadi siang, otaknya benar-benar tidak bisa fokus pada pekerjaan. Itu semua karena gadis itu. Itu semua karena wajah Fiona yang terlihat murung dan tidak ingin menceritakan ‘masalah kecil’ yang Ia sebut. Adrian yakin ‘masalah kecil’ itu pasti karena Lee Jae Woo. Jelas-jelas tadi siang Ia menyebutkan nama pria itu dan raut wajah Fiona berubah seketika. Pasti lagi-lagi karena Lee Jae Woo. Saking kesalnya, gadis itu sampai pergi menghilang entah ke mana bahkan sebelum syuting selesai. Bukan hanya itu, Ia sampai lupa membawa rantang makanannya. Sekesal itukah Fiona? Apa yang Lee Jae Woo lakukan sampai Fiona bersikap tidak jelas seperti itu? Apa yang laki-laki itu punya sampai gadis itu masih mengharapkannya?
Semua pertanyaan itu masih berputar-putar di dalam kepala Adrian. Tidak bisa. Ia tidak bisa duduk dan melamun saja. Fiona terlihat begitu kesal hari ini dan Ia merasa tidak tenang. Ia merasa tidak puas. Tidak puas karena belum sempat melihat wajah polos Fiona yang biasanya tersenyum kepadanya. Tidak tenang karena Fiona yang pergi begitu saja sebelum syutingnya selesai dan sempat berbicara lagi dengannya. Adrian yakin, kalau dibiarkan seperti ini, Ia tidak akan bisa tidur. Kepalanya akan berputar-putar. Akhirnya Ia memutuskan untuk menghampiri gadis itu dengan harapan salju akan turun.

Sekarang di sini Ia berdiri, di depan apartemen Fiona. Di tengah perjalanan tadi Adrian tersenyum lebar karena butir-butir salju sudah mulai berjatuhan. Sepertinya cuaca sangat mendukungnya. Saat menyetir mobilnya, sesekali Adrian menengok ke luar jendela, memperhatikan hujan butir-butir salju yang halus. Kenapa Ia baru sadar kalau musim dingin itu menyenangkan?
Adrian mengambil ponsel dari saku jaketnya sambil memegang rantang makanan di sebelah tangan.
“ha-lo?”
Akhirnya Fiona mengangkat telepon. Terbesit rasa lega di benaknya. Tapi kenapa suara gadis itu terdengar ragu?
“Fiona-ssi?” tidak ada jawaban.
“apa kau sedang ada di dalam apartemen sekarang?” tanya Adrian, sadar Fiona sedang terdiam.
“kenapa kau meneleponku tiba-tiba?”
“aku ingin mendengar suaramu.”
Adrian sedikit terkesiap mendengar perkataannya barusan. Kenapa mulutnya bergerak sendiri?
Suara Fiona kini terdengar kesal. “tidak usah basa-basi. Kenapa menelepon?”
Adrian terdiam untuk beberapa saat. Ia tahu reaksi Fiona pasti akan seperti itu setelah mendengar jawabannya yang tidak jelas. “kau marah?”
Gadis itu tidak menjawab.
“kenapa kau marah-marah begitu? Sejak tadi siang..” Adrian lalu mendesah pelan dan melihat ke sekelilingnya. “aku tahu. Lihat keluar.”
 “apa?”
“lihat keluar.” Ulang Adrian. “aku yakin suasana hatimu tidak akan buruk lagi.”
Terdengar suara gaduh di ujung sana. Adrian yakin Fiona pasti sedang berlari menyusuri balkonnya. Adrian mulai tersenyum.
“Ada salju!” seru Fiona riang di ponselnya.
Adrian tertawa kecil, “sudah kubilang tadi. Suasana hatimu jauh lebih baik, bukan?”
“ya.”
Bagus. Nada suaranya sudah berubah. Sudah terdengar normal seperti biasa.
Adrian mendongak ke atas balkon, tetapi masih tidak melihat gadis itu muncul. “di mana kau? Aku tidak bisa melihat wajahmu.”
Fiona terdengar sedikit terkesiap, “maksudmu?”
Adrian tersenyum, lalu menyahut, “kau sedang ada di balkon, bukan? Lihatlah ke bawah. Aku ingin melihat wajahmu.”
Adrian terus memandangi balkon apartemen Fiona dan setelah beberapa detik, akhirnya Ia bisa melihat gadis itu di atas sana. Matanya yang hijau dan besar menatap Adrian dengan berbinar-binar. Ia sangat menyukai tatapan itu.
Adrian melambaikan tangannya. “kau senang sekali bukan, bisa melihatku? Apakah kau bisa turun sebentar? aku ingin bicara.”
Untuk sejenak, Fiona tidak menjawabnya dan hanya menatapi Adrian dari atas. “jangan ke mana-mana.”
Fiona bergegas ke kamarnya untuk mengambil jaket biru mudanya dan berlari menuruni tangga apartemen.  Fiona tidak tahu apa yang tiba-tiba merasuki dirinya sampai-sampai Ia merasa begitu bersemangat sekarang. Rasa kesalnya menghilang begitu saja dengan mudahnya.
Saat sudah ada di depan gerbang apartemen, Fiona menatap Adrian. Pria itu mengangkat sebelah tangan sambil tersenyum. “rantang makananmu.”
Oh iya! Ia lupa untuk membawa rantang makanannya pulang. Dan ternyata Ia masih belum ingat sampai Adrian datang dan membawakannya kembali. Kenapa dirinya bisa menjadi pelupa seperti ini?
Fiona lalu berjalan pelan menghampiri Adrian. “terima kasih.” Katanya dengan nada agak malu.
“kenapa kau bisa lupa seperti itu?” tanya Adrian sambil masih tersenyum.
Fiona tidak menjawab. Ia hanya berpaling dari pandangan Adrian.
“kenapa kau pergi sebelum syuting selesai? Masih kesal?”
Fiona masih terdiam. Entah kenapa, Ia tidak bisa mencari jawaban yang tepat.
“masih kesal?” desak Adrian. Ia lalu mendesah pelan. “Aku heran. Bagaimana laki-laki itu bisa membuatmu terlihat kusut sepanjang hari.”
Apa? Siapa? Laki-laki siapa?
“Lee Jae Woo memang sesuatu.” Tambah Adrian.
Siapa yang sedang Adrian bicarakan? Lee Jae Woo? Memang tadi Fiona sempat kesal karena Jae Woo.. tetapi dia bukan alasannya Fiona pergi meninggalkan lokasi syuting! Fiona masih tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Ia hanya menatap Adrian dengan mata sedikit terbelalak.
“Bukan!” tegasnya.
Adrian sedikit terkesiap, lalu menoleh. “apa?”
Fiona lagi-lagi tidak menjawab. Gadis itu benar-benar membuat Adrian bingung. Sesaat Adrian merasa Fiona masih merasa enggan dengannya. Fiona masih belum bisa terbuka dan menceritakan masalahnya kepada Adrian.
“Bagaimana syutingmu?” tanya Fiona tiba-tiba.
“Syutingnya lancar. Seperti biasa, ayahmu selalu mengulang-ngulang adegan.”
Jawaban Adrian barusan membuat Fiona—sekali lagi—mengepal tangannya. Rasa kesal mulai terbit di dalam dirinya.
“Bagaimana dengan Song Mi Na?” Fiona tidak bisa menahan diri.
Adrian menatapnya dengan alis terangkat. “Bagaimana dengan Song Mi Na? maksudmu?”
“apakah dia artis yang baik?” sahut Fiona, berusaha menahan nada bicaranya agar terdengar normal.
Adrian lalu tersenyum dan menatap butir-butiran salju yang berjatuhan. “Mi Na-ssi merupakan gadis yang ramah. Dia juga menyenangkan dan lucu. Dia selalu tertawa. Gadis yang periang, cocok untuk video musikku.”
Fiona masih mengepal tangannya, kini lebih erat. Kenapa udara dingin di luar jadi terasa panas?
“Baguslah kalau begitu. Semoga video musikmu akan terlihat hebat.” Kata Fiona masih berusaha menahan nada bicaranya yang mulai terdengar ketus.
“Fiona-ssi.” suara Adrian tiba-tiba terdengar lembut. Selalu dengan nada bicara itu Adrian memanggilnya.
Karena merasa terhipnotis, Fiona menoleh. “apa?”
“kau tidak tahu tadi siang aku kebingungan mencarimu setelah syuting? Aku kira kau pergi ke mana. Aku mencoba menghubungimu beberapa kali, tidak ada jawaban. Aku mengirim pesan, tapi tidak terkirim. Aku mulai berpikir yang aneh-aneh. Tapi syukurlah kau sudah berdiri di depanku, seperti sekarang.” Jelas Adrian. Fiona bisa merasakan kekhawatiran yang muncul dari nada bicaranya. Benar, Adrian mengkhawatirkannya.
Adrian lalu memegang kedua bahu Fiona. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya. Adrian tersenyum melihat reaksinya. “aku sudah pernah bilang, bukan? Kalau kau butuh teman untuk bercerita. Aku ada di sini.”
Fiona masih membisu. Matanya yang hijau terus menatap mata cokelat Adrian yang menghangatkan itu. Sesaat Fiona tidak merasa panas lagi. Darahnya yang tadi sempat mendidih tiba-tiba mereda. Mata cokelat Adrian yang gelap itu, tatapannya yang hangat, ada apa dengan laki-laki ini?
“Aku bisa menjadi teman berbagimu.” Suara Adrian membuyarkan lamunannya. “aku bisa menjadi teman yang selalu mendengarkanmu.”  Kata Adrian lagi sambil tersenyum.
Senyuman itu lagi…
Fiona ragu sejenak, lalu Ia mengangguk.
Setiap Adrian ada disekitarnya, Fiona selalu merasa nyaman. Dan kini Ia baru sadar, Ia merasakan kehangatan. Kehangatan yang membuat kekesalannya mereda begitu saja. Mungkin itulah gunanya teman.
Fiona lalu teringat dengan perkataan Min Rae tadi. Hanya berteman dengan Adrian bukanlah  sesuatu yang terlarang.
Fiona lalu memutuskan dalam hati. Iya, Ia akan mencobanya.





0 Comments:

Posting Komentar

2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena