"Asal kau berada disampingku, di mana saja terasa hangat. terlihat terang. semuanya begitu jelas."

Rabu, 14 November 2012

Bagian Tujuh Belas


Fiona terkesiap begitu merasakan tangan menyentuh bahu kanannya. Sentuhan hangat yang tak asing baginya—tangan yang menangkup sempurna sisi bahunya. Begitu Ia memutar badan, matanya bertemu dengan sepasang mata gelap yang sejak tadi sudah memperhatikannya.
Fiona menghela napas begitu menyadari laki-laki yang berdiri di depannya. “Jae Woo.”
Jae Woo memejamkan mata sesaat dan tersenyum lembut begitu mendengar suara Fiona yang memangginya, seolah-olah Ia sudah sangat mengharapkan suara lembut itu memanggilnya. “You look lovely, Miss Scarlett.” Pujinya, tanpa sedikitpun menghiasi bahasa Inggrisnya dengan logat Korea.
Fiona tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas pujian Jae Woo. Ia memperhatikan wajah Jae Woo yang tiba-tiba terlihat dingin, raut wajahnya terlihat kaku. Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Fiona mempelajari wajahnya, memperhatikan sepasang mata hitam gelap yang memperhatikan wajahnya dengan tatapan sedih. “Jae Woo… kau tidak apa-apa?”
“tidak.” Jawab Jae Woo langsung. “aku baik-baik saja.”
“kau terlihat… agak pucat.”
“karena aku tahu kau tidak datang sendiri.” ungkap Jae Woo, sadar kalau ucapannya barusan membangkitkan reaksi Fiona. “apalagi datang dengan seseorang yang tidak kuharapkan.”
Menyedihkan, pikir Fiona. Apa lagi yang akan dikatakan Jae Woo sekarang? Bersikap seakan-akan dia adalah ayahnya dan membentaknya karena datang ke acara ini dengan Adrian?
“jangan bilang kau cemburu.” Ujar Fiona dengan nada bergurau. Di dalam hati kekesalannya sudah mulai terbit, memang siapa Jae Woo, untuk masih berhak mencampuri urusannya?
“Jawab aku, Hwa Young.” Kata Jae Woo. Nada bicaranya tegas, seolah-olah menuntut kebenaran. “ada apa diantara kau dan Harrison?”
Mata Fiona melebar, terkejut dengan pertanyaan tak wajar, bodoh, apalagi pertanyaan ini diutarakan oleh seseorang yang pernah menyakiti hatinya dengan cara yang menyedihkan. Apakah Jae Woo tidak merasa malu sama sekali untuk menanyakan hal itu kepada Fiona?
Fiona menunduk dan tertawa rendah meremehkan. “bukan urusanmu. Kenapa kau harus peduli?” Ia lalu melihat ke belakang bahu Jae Woo, tatapannya terarah pada gadis berambut hitam pekat yang berjalan dengan anggun ke arahnya. “aku yakin orang yang kau cari-cari sudah datang.” Ujar Fiona pada Jae Woo sambil menggerakkan kepalanya ke arah belakang bahu laki-laki itu.
Begitu Jae Woo menyadari kedatangan Ha Ra—kekasih baru dan sumber inspirasi mahakarya terbesarnya itu—Ia mendesah pelan. Ia lalu kembali menoleh ke arah Fiona, tatapannya masih menunggu jawaban, menunggu Fiona untuk mengatakan sesuatu.
“apa?” tanya Fiona datar, tak mengerti apa yang sedang di tunggu Jae Woo sampai masih berdiri tegak di depannya.
Fiona terkesiap begitu pergelangan tangan kanannya digenggam erat oleh Jae Woo.“apa yang kau—“
“kau belum menjawabku, Fiona.” Ucap Jae Woo. Gadis yang digenggamnya terdiam seketika dan menatap kedua mata hitamnya dengan heran. Pertama kalinya—bukan, ini kedua kalinya Jae Woo memanggil Fiona dengan nama Inggrisnya setelah sesaat yang lalu Ia memujinya. Tapi ini yang pertama kalinya, Jae Woo memanggilnya Fiona dengan tatapan serius itu. Dengan tatapan yang penuh harapan itu. Tatapan yang masih menunggu penjelasan keluar dari mulut Fiona.
Fiona menggelengkan kepalanya pelan, dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Jae Woo. Namun genggamannya begitu erat sampai-sampai Fiona meringis begitu merasakan sakit menyerbu pergelangan tangannya.
Get your hands off her, dude.” Logat Inggris kental yang terdengar tegas namun masih terdengar lembut di telinga Fiona muncul, membuat kulit Fiona terasa hangat seketika, Ia mendesah pelan, lega akan suara yang ditunggu-tunggunya akhirnya muncul.
Sebelum Fiona sempat mendongak menatap wajah Adrian, tangan lebarnya sudah mendarat di tangan Jae Woo yang masih menyentuh tangan Fiona tanpa sama sekali melonggarkan genggamannya. Fiona baru sadar kalau warna kulit Adrian tidak jauh berbeda dengan warna kulit Jae Woo. Hanya saja kulit Adrian terlihat lebih terang dan bersinar. Bukannya menangkis tangan Jae Woo dengan kasar, Adrian justru meraih jemari-jemari tangan Fiona dan menarik tangannya dengan pelan ke sisi tubuhnya.
Jae Woo terlalu sibuk memusatkan kedua matanya di wajah Adrian, tatapannya tajam dan penuh benci. Semua itu terlihat begitu jelas. Fiona yakin bukan hanya dirinya yang menyadari arti dari tatapan itu, Adrian juga. Namun Adrian yang kini menggenggam tangan Fiona hanya membalas tatapan Jae Woo dengan tenang dan sama sekali tak menunjukkann sedikitpun emosi. Adrian meremas tangan Fiona, dan Fiona merasakan kehangatan langsung menjelajari tubuhnya ke atas. Kini Ia ada di tangan yang benar. Di tangan yang membuatnya merasa aman.
“aku yakin kau tidak ingin buat keributan di sini dan terlihat memalukan di depan orang-orang ini.” ujar Adrian dengan senyumnya yang masih terlihat ramah. Senyum yang selalu Ia tunjukkan pada orang-orang di sekitarnya. Senyum yang mungkin, bahkan dihadapan orang terburuk sekalipun, masih ditunjukkan oleh Adrian.
Jae Woo masih menatap Adrian dengan tatapan tajam yang sama, dan membalas perkataan Adrian dengan senyum remeh, “aku tidak terlalu peduli soal keributan. Tapi sepertinya kau sangat peduli dengan reputasimu, Mr. Harrison.”
“Jae Woo.” Ha Ra yang baru tiba dihadapan Fiona segera melingkari tangannya di lengan Jae Woo. Raut wajahnya yang kosong jelas memberitahu jika dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini. Namun dalam satu detik raut wajahnya berubah, mata hitamnya berkilat-kilat begitu menyadari sosok Adrian Harrison yang berdiri tepat di hadapannya, memandangnya. “Ad… Ad…”
Fiona memutar bola matanya begitu melihat Ha Ra yang gagap, sangat sulit hanya untuk mengucapkan nama Adrian. Sikap yang tidak jauh berbeda dari gadis-gadis lainnya. Reaksi Ha Ra selanjutnya sudah bisa ditebak: grogi, wajah merah merona malu, tangan sibuk memperbaiki rambut, overreacting.
“aku penggemar beratmu! Perkenalkan nama…”
“Fiona-ssi. Aku sudah mencarimu dari tadi.” Ujar Adrian tanpa sama sekali mendengarkan Ha Ra, badannya menghadap Fiona. Dan sebelum Fiona sempat merespon perkataannya, Adrian membelai helai rambut Fiona dan menghelus pipi Fiona dengan lembut. Begitu lembut sehingga Fiona menggigil. Sentuhan Adrian selalu memberikannya sensasi yang aneh. Sensasi yang membuat sesuatu di dalam dadanya bergetar.
“maaf sudah membuatmu menunggu di sini.” Ujar Adrian dan kini tangannya yang tadi menghelus pipi Fiona, meluncur dari bahunya, ke bawah lengannya, dan berhenti di telapak tangannya. “kau mau minum?”
Fiona hanya memperhatikan kedua mata cokelat Adrian yang memberikan isyarat ‘ayo pergi dari sini.’ Ia menoleh ke arah Jae Woo dan Ha Ra, lalu kembali menatap Adrian. Fiona tersenyum lebar begitu Adrian memperlihatkan senyumnya yang hangat. Fiona tidak mengerti—Ia tidak bisa menahan untuk tersenyum juga jika Adrian tersenyum seperti itu kepadanya.
“tentu saja.” Jawab Fiona. Ia lalu mengusap tenggorokkannya pelan. “aku rasa aku sudah menunggu cukup lama sehingga kehausan.”
Tanpa basa-basi lagi, Adrian menuntun tangan Fiona diatas lengannya, dan membiarkan Fiona mengunci tangannya dilengannya dengan erat. Mereka berjalan menelusuri ruangan, menuju tempat minuman berada, setelah mereka berjalan cukup jauh dari Jae Woo dan Ha Ra, Fiona mulai mengeluarkan pertanyaannya pada Adrian. “apa kau sengaja melakukan semua itu tadi?”
Adrian menatap Fiona dengan alis terangkat. “maksudmu?”
“maksudku… Ha Ra, jelas-jelas tadi dia terlihat sangat tertarik denganmu.”
Adrian lalu tertawa lepas. Fiona tiba-tiba merasa malu. Apa yang lucu dari perkataannya barusan? Memang, semua itu sudah jelas dan tidak usah dipertanyakan lagi. Ia tahu kalau Ha Ra bukan satu-satunya gadis yang tertarik dengan Adrian. Ia tahu kalau setiap gadis yang melihatnya akan tersihir begitu saja dan mereka sudah pasti in—
“kau kira aku melakukan semua itu tadi karena ingin membuat gadis itu panas dan tidak menyukaimu? Atau membuat Jae Woo yang sepertinya masih…” Adrian berhenti untuk beberapa saat, Ia lalu tersenyum tipis. “masih mengharapkanmu, merasa cemburu.”
Fiona hanya menatap wajah Adrian untuk sesaat, Ia lalu mengalihkan perhatiannya begitu Adrian menyadari Fiona yang tadi memperhatikannya.
“lalu? Apa tujuanmu melakukan semua itu?”
Adrian menarik dadanya, dan menghembuskan napas panjang. “semuanya muncul begitu saja di otakku.” Ujarnya sambil menatap lurus ke depan. Ia lalu menoleh ke arah Fiona yang kini tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Adrian. “semua itu, Fiona. Mengalir begitu saja. Aku ada di sampingmu. Aku hanya ingin… menggenggam tanganmu. Dan membuatmu merasa aman.”
Fiona tidak sadar kalau dirinya menahan napas untuk beberapa detik. Kedua mata cokelat Adrian menatap dalam kedua mata hijau Fiona. Seakan-akan tatapannya bisa merasuki jiwa Fiona. Saat itu satu-satunya hal yang bisa Fiona pikirkan adalah Adrian sedang mempelajari bentuk mata Fiona. Dari gerak bola matanya, Fiona bisa membayangkan Adrian sedang memperhatikan alisnya, tekstur bulu matanya yang tebal dan panjang, iris mata hijaunya yang terang. Semakin lama Fiona memperhatikan kedua mata cokelat yang ada dihadapannya itu, semakin besar rasa ketertarikan itu muncul di dalam dirinya. Mata Adrian bukan hanya sekedar cokelat gelap, jika diperhatikan sedekat ini, tatapan matanya tajam, namun masih memberikan kesan kelembutan dan membuat siapapun yang memandangnya hanyut dan tenggelam begitu saja. Bulu matanya yang tebal dan hitam, membuat mata laki-laki itu terlihat lebih indah, bahkan mampu membuat para gadis iri karena tidak bisa memiliki mata seindah itu.
Dengan perasaan ragu, Fiona memutuskan untuk mengeluarkan perkataan yang ada dibenaknya. “Adrian.”
“Ya?”
“terima kasih, karena sudah ada disampingku.”


Oh, please.”
Desah gadis berambut hitam ikal itu untuk kesekian kalinya. Setiap kali matanya menangkap Adrian yang tersenyum kepada Fiona, kepalanya tiba-tiba terasa panas, perasaan geram muncul di dalam dadanya. Jika saja Fiona terpisah dari Adrian, mungkin saja dia bisa mendekati Adrian dan mengalihkan perhatiannya. Bukankah dia selalu berhasil melakukan itu kepada laki-laki lainnya? Tapi kelihatannya Adrian sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya dari bahu Fiona.
Sekali lagi dia memutar bola matanya. Kenapa Adrian harus memandang Fiona seperti itu? Kenapa Adrian harus tersenyum kepada Fiona seperti itu? Kenapa semuanya terlihat begitu berbeda dari biasanya? Apakah jangan-jangan…
“ternyata kau di sini, Song Mi Na.”
Gadis itu memutar badannya dan segera berhadapan dengan sepasang mata kelabu yang memandangnya dengan tatapan yang amat dibencinya.
“Murray.” Ujar Mi Na datar. “ada perlu apa kau mencariku?”
begitu mendengar nada bicara Mi Na yang ketus, Luis hanya tertawa rendah. Seakan-akan dirinya sudah terbiasa menerima perlakuan seperti itu. “apa kau harus selalu galak seperti ini? Ngomong-ngomong, kau terlihat menawan.”
Mi Na mendengus. “simpan pujianmu itu untuk gadis murahan lainnya.” Ia lalu menoleh ke belakang, ke arah Adrian. Tapi orang yang dicarinya sudah menghilang. “apa kau datang ke sini hanya untuk merayu gadis-gadis di pesta?”
“hahaha, kau lucu sekali.” Balas Luis dengan tawanya yang lebar.
Mi Na memandangnya dengan sebelah alis terangkat. “maksudmu? Bukankah itu satu-satunya tujuanmu datang ke pesta resmi seperti ini? Gadis. Model.”
“aku harap kau tidak lupa kalau aku adalah seorang produser terkenal di Korea Selatan ini.” Ujar Luis dengan nada formal, seolah-olah Mi Na belum pernah mengenalnya sebelumnya. “aku menerima undangan, kau tahu? Dan bukan. Tujuanku sudah tidak sama lagi.”
“apa?”
“aku sudah menemukannya.”
Masih dengan tatapan yang begitu heran, Mi Na menanggapi pernyataan Luis dengan kesal. “kau tahu aku sangat tidak suka permainan kata? Bicara yang jelas.”
Untuk beberapa saat Luis tidak membalas perkataan Mi Na, ia hanya memperhatikan wajah gadis itu yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Dengan senyum miring, Ia lalu mengalihkan pandangannya ke seberang ruangan pesta. Begitu kedua mata kelabunya terarah ke seberang ruangan, badan Luis terpaku, seperti seluruh pikirannya hanya terpusat pada apa yang kini Ia lihat.
Mi Na merasakan itu sebagai sebuah isyarat, ia lalu segera mengikuti arah pandangan Luis. Mata Mi Na melebar begitu melihat apa—atau siapa—yang sedang diperhatikan lelaki itu. Beberapa detik kemudian, seperti bohlam lampu yang menyala terang, Mi Na akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi di sini.
Mi Na kembali menatap Luis, yang masih menjatuhkan tatapannya ke arah yang sama sejak tadi. Dengan senyum lebar, Mi Na lalu berkata, “apa kau sedang memikirkan hal yang sama?”


Fiona memperhatikan namanya yang dipahat di keramik hitam berlapis perak. “the recipient of the Oxford English Literature Scholarship”. Senyum lebar menghiasi wajahnya sambil meraba pahatan kalimat itu.
congratulation, Miss Scarlett.”
Fiona mengalihkan pandangannya kepada Adrian yang sedang menyetir mobil di sebelahnya. “lagi?”
“mm?”
“kenapa tiba-tiba kau memanggilku Scarlett?”
Adrian menatap Fiona dengan senyum samar. “ini bukan yang pertama kalinya bukan?”
“memang. Tapi kenapa tiba-tiba?”
“kedua namamu sama indahnya.”
“lalu?”
“kenapa? Aku tidak boleh memanggilmu dengan kedua namamu?”
“bukan begitu… kau orang yang tidak konsisten.”
Adrian lalu tertawa rendah dan terdiam sambil tersenyum. Sambil memutar kemudi mobilnya, Ia berkata “jujur saja, aku suka menyebut kedua namamu. Park Hwa Young atau Fiona Scarlett, kau tetap saja gadis manis bermata hijau yang aku kenal, Fiona-ssi.
Fiona yang tadinya menatap ke arah jendela lalu menoleh ke arah Adrian yang memusatkan pandangannya ke arah jalan. Fiona yakin kalau Adrian tidak menyadari dirinya sedang diperhatikan, tapi ternyata kalau dilihat-lihat, dari samping Adrian terlihat sama. Dia terlihat sama dari sudut manapun. Dari depan dan belakang. Dari sisi kiri dan kanan… bentuk wajahnya yang sempurna, tulang pipinya, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis. Fiona merasa dirinya sangat telat untuk menyadari semua itu.
“Fiona AWAS!!”
seperti kilatan cahaya, semuanya terjadi begitu cepat. Fiona bahkan tidak yakin apa yang sedang terjadi. Yang Ia tahu, dirinya hanya sedang memperhatikan setiap sudut wajah Adrian tanpa sepengetahuannya dan tak memperhatikan sekelilingnya. Hanya laki-laki yang ada di depannya. Tak memeperhatikan yang ada di luar jendela dan tak ingin memperhatikan yang lain. Namun sekarang, Fiona harus memaksa dirinya membuka kedua matanya yang terpejam selama sudah lima detik.
Mata hijaunya terbelalak begitu melihat apa yang ada di depannya. Bibir bawahnya lalu bergetar, sekujur tubuhnya bergetar, perasaan dingin bagaikan bongkahan es menghujam seluruh tubuhnya. Semua memori yang sudah mulai terkubur dan mati, kini hidup kembali.
“Fiona…” Adrian dengan perlahan menyentuh tangan Fiona, Ia terkesiap begitu menyadari temperatur Fiona yang tiba-tiba turun drastis.
“Fiona, kau baik-baik saja? Fiona… kau dengar aku?”
Gadis yang diajaknya bicara sama sekali tidak menatapnya, kedua matanya tetap terpaku pada sesuatu yang ada di depannya. Setelah beberapa saat dalam keadaan seperti itu, mata Fiona memerah, dan mulai berlinangan air mata, Ia lalu pecah dalam tangisan.
Fiona menarik tangannya yang disentuh oleh Adrian dengan cepat dan memeluk tubuhnya sambil menangis terisak-isak, seakan-akan tersiksa oleh perasaan dingin yang muncul di dalam dirinya.
“Fiona!” Adrian memegang kedua bahu Fiona, dan mengusap-ngusap bahunya dengan cepat, berharap suhunya yang hangat kembali lagi.
Panik, Adrian bahkan tidak bisa membuat Fiona menatap matanya. Ia lalu keluar dari mobil dan berjalan mengitari mobilnya, bermaksud untuk menarik Fiona keluar dari mobil dan menenangkan gadis itu.
“Fiona, apa yang terjadi?”
Adrian menggenggam kedua tangan Fiona, namun gadis itu tetap menangis, dan kini dia tidak berani melihat ke depan, Fiona hanya menatap kedua tangannya yang digenggam Adrian sambil menyembunyikan wajah. Adrian mengelus kepala Fiona dan mengusap wajahnya yang basah.
Karena masih tidak bisa membuat Fiona menatap wajahnya, Adrian terus mengelus kepala Fiona dan mengusap bahunya, berharap Fiona sadar, walaupun dirinya sama sekali tidak mengerti apa yang membuat gadis itu tiba-tiba menjadi seperti ini.
“Fiona-ssi. Lihat aku.”
 Sontak, Fiona mengangkat wajah dan menatap kedua mata cokelat Adrian yang hangat, yang memperhatikannya dengan penuh khawatir.
“Ad… Adrian.”
Mendengar suara Fiona yang memanggil namanya, Adrian lalu tersenyum lega, “ya, aku di sini.”
Fiona lalu hanya terdiam dalam posisi seperti itu. Memperhatikan wajah Adrian, seakan-akan Ia baru saja sadar Adrian ada di depannya, seolah-olah dirinya baru saja kembali ke dunia nyata. Sebelum air matanya mengalir lagi, Adrian memeluk tubuh Fiona dengan erat, berharap Ia bisa memberikan Fiona kehangatan, membuatnya merasa aman dan memastikan kalau Fiona tetap ada di depannya.





Read More

Sabtu, 15 September 2012

Bagian Enam Belas

“Jangan bilang kalau kau belum menyiapkan gaun sama sekali.” Terdengar omelan Min Rae di ujung sana. Fiona masih terduduk di atas tempat tidurnya, dengan laptop menyala di depan dan mengetuk-ngetuk ujung pulpen di atas sisi laptop.
“aku masih sibuk.” Sahut Fiona sambil memegang ponsel dengan sebelah tangan. Fiona mendengar nada suara Min Rae yang berubah kesal. “apa kau serius? Park Hwa Young, kau benar-benar tidak akan datang malam ini?”
“bukannya begitu.” Jawab Fiona cepat. “aku sudah menyiapkan semuanya dari kemarin. Masalahnya, kau sudah menanyakan hal yang sama lebih dari tiga kali.”
“ahh, benar juga. Aku hanya ingin memastikan jika kau tidak berbohong.”
Fiona memutar bola matanya. Walaupun temannya itu tidak bisa melihat ekspresinya saat ini, Fiona masih ingin Min Rae tahu kalau sikapnya itu agak berlebihan. “tidak usah khawatir tentang aku. Lebih baik kau berkonsentrasi dengan pedicure dan medicuremu saat ini.”
“bagaimana kau bisa tahu?” ujar Min Rae kini dengan suara yang terdengar riang.
“aku bisa mendengar suara pengering rambut dari ujung sini. Kau ada di salon, bukan?” kata Fiona dengan nada penuh yakin. “sudah berapa lama kau di salon?”
“tiga jam.” jawab Min Rae masih dengan nada riang, tanpa sama sekali terbesit rasa malu. “setelah ini aku akan langsung pergi ke pesta kesenian. Sampai ketemu nanti malam, Hwa Young-ssi!”
“enjoy your day, lassie.” Balas Fiona, setelah itu Ia menutup teleponnya. Gadis itu lalu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri gaun malam biru yang tergantung di pintu kamar. Ia mendesah. Entah apa yang membuatnya merasa terganggu, Ia sama sekali tidak meyukai perasaan itu. Beberapa detik kemudian, ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur berdenting. Satu pesan masuk.
“jam tujuh malam di depan pintu apartemenmu. Sampai ketemu nanti, cherry blossom.”
Fiona mengangkat sebelah alis. Cherry blossom? Apa Adrian salah kirim? Fiona lalu segera menggerakkan jarinya, membalas pesan dari Adrian.
cherry blossom? Gadis mana yang kau maksud?”
setelah beberapa detik pesannya terkirim, balasan dari Adrianpun tiba.
“gadis itu kau. Menurutmu siapa lagi yang akan kujemput nanti malam, Miss Fiona Scarlett?”
untuk beberapa saat Fiona hanya menatap pesan dari Adrian itu. Ini pertama kalinya Adrian menyebut nama Inggris Fiona. Walaupun memang secara tidak langsung, namun senyuman sudah  mengembang di wajah Fiona saat membayangkan Adrian menyebut namanya itu. Fiona Scarlett. Ia lalu kembali membalas pesan Adrian.
“aku rasa otakku kali ini tidak berfungsi seperti biasanya.” Ungkapnya. Sebenarnya Fiona sudah bisa menebak apa yang dimaksud oleh Adrian, namun gadis itu lebih memilih berpura-pura untuk tidak mengerti. Tidak lama kemudian, satu pesan lain masuk.
“jika kau memang cerdas, kau akan paham maksudku. Sayang sekali.”
Sama sekali bukan balasan yang diharapkan Fiona. Gadis itu hanya mendengus pelan, namun Ia akhirnya tersenyum tipis, dan membalas untuk terakhir kalinya.
“sampai ketemu nanti malam, Harrison.”


Sekali lagi Fiona menatap bayangannya di cermin, sudah cukup. Fiona tidak ingin terlalu memolesi wajahnya. Baginya, riasan wajah yang tipis dan natural sudah cukup sempurna. Lagipula, setiap kali Fiona menghadiri acara resmi, Ia tidak pernah berniat untuk menarik perhatian siapapun.
Fiona lalu mengambil dompet berwarna perak di atas mejanya dan bergegas keluar kamar. Baru saat Fiona menutup pintu kamar, dentingan bel apartemennya berbunyi. Sudah datang. Ternyata Adrian sangat tepat waktu. Gadis itu lalu berjalan lebih cepat menuju pintu apartemennya dan dengan senyuman tercerahnya, Fiona menyambut Adrian yang berdiri dalam balutan tuksedo putih dengan dasi hitam disekitar lehernya.
Masih menunjukkan senyumannya yang begitu cerah, laki-laki di depannya terlihat terpaku. Adrian tidak mengedipkan mata untuk beberapa detik, Ia hanya menatap wajah Fiona—juga dari atas lalu ke bawah—memperhatikan penampilan gadis itu yang benar-benar berbeda dari biasanya. Ia tahu kalau jantungnya sering berdetak lebih cepat setiap kali Fiona tersenyum padanya, tapi kali ini sepertinya keadaannya jauh lebih memprihatikan. Adrian bahkan merasa sulit untuk menyusun kata-kata.
“kau…” ujarnya dengan kikuk. “cantik.”
Adrian lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “tidak. maksudku, sangat cantik.”
Fiona hanya tertawa rendah melihat reaksi Adrian. Ia tidak yakin, tapi sepertinya laki-laki di depannya itu terlihat grogi. Namun semua itu sama sekali tidak ada bandingannya dengan penampilan Adrian malam ini. Kenapa laki-laki ini selalu terlihat tampan disetiap waktu? Di manapun dan kapanpun Fiona bertemu dengannya, Adrian selalu muncul dengan kehadiran yang menenangkan dan senyumnya yang menghangatkan. Entah apa yang membuat senyumnya sehangat sinar mentari di musim semi, tapi semua itu mampu membuat Fiona luluh dan mendesah lega. Kharisma yang Adrian pancarkan selalu berhasil menunjukkan betapa menariknya laki-laki itu. Apakah itu hanya karena lesung pipit di kedua sisi wajahnya? Entahlah.
Fiona lalu tersenyum membalas Adrian. “kau juga. Selalu terlihat baik seperti biasa.”
Adrian kembali menyunggingkan seulas senyum, kini lebih lebar dan percaya diri. “kau ingin tahu sesuatu?”
“apa?”
Adrian tidak menjawab sesaat. Ia lalu berkata, “tidak apa-apa. Nanti saja.”
Fiona menyipitkan kedua matanya, menunjukkan ekspresi kesal dan tidak puas. Kenapa laki-laki ini masih saja selalu membuatnya penasaran?
“kau tahu jelas kalau aku sangat tidak menyukai itu.”
“tidak menyukai apa?”
Fiona mendengus. Ia yakin Adrian hanya berpura-pura tidak tahu. “sikapmu yang selalu membuat orang mati penasaran.”
“bukankah ini menyenangkan?” balasnya dengan nada bergurau. “aku semakin ingin sering melakukan ini padamu. Apalagi melihat ekspresimu itu.”
Fiona lalu dengan cepat menggerakkan tangannya dan mencubit lengan Adrian. “tidak lucu. Cepat katakan atau…”
“aku akan bernyanyi.” Sela Adrian.
Fiona mengangkat sebelah alis, lalu kedua mata hijaunya mulai berkilat-kilat. “kau akan bernyanyi?”
Adrian mengangguk. “sepertinya direktur utama universitas Kyung Hee sangat merasa terhormat akan kedatanganku malam ini. Ia mengirimkan undangan spesial sekali lagi hanya untuk memintaku bernyanyi di pesta nanti.”
“lagu apa?” Tanya Fiona dengan antusias.
“apa yang kau harapkan?”
“mmm… lagu korea?” ujar Fiona dengan penuh harap.
Adrian tersenyum tipis. Ia dengan tiba-tiba meraih tangan kanan Fiona, lalu meletakkan tangan gadis itu di atas lengannya. Fiona hanya membiarkan tangan Adrian memimpin tangannya, membiarkan semua itu terjadi. Kini sebelah tangannya melingkari lengan Adrian dan entah kenapa, Ia merasa tangannya memang pantas disitu. Posisi yang tepat dan sempurna untuk digenggam, lengan yang membuat Fiona ingin bersandar saat itu juga jika Ia membiarkan perasaannya menguasai dirinya.
“sayang sekali, permohonanmu belum bisa dikabulkan Fiona-ssi.” Ujar Adrian begitu tangan Fiona sudah melingkari lengannya. “kita berangkat sekarang.”


“Kau siap?” Tanya Adrian sekali lagi. Setelah membukakan pintu mobil untuk Fiona tadi, Ia juga menanyakan hal yang sama.
Fiona menoleh ke arah Adrian, Ia lalu tersenyum dan mengangguk pelan. “sepertinya kau sangat khawatir. Bukankah sudah kubilang iya tadi?”
“aku hanya tidak ingin kau tiba-tiba tersentak melihat keramaian di dalam sana lalu kabur. Aku datang ke sini hanya karenamu.”
Fiona tersentak. Bukan karena keramaian yang akan Ia lihat di dalam sana tapi karena ucapan Adrian barusan. Adrian lalu menatap mata Fiona dan tersenyum. “tentu saja karena aku juga diundang dan aku harus menemanimu yang anti-sosial.”
Oh, jadi bukan itu maksudnya. Fiona lalu menghela napas, dan melemparkan tatapan kesal pada Adrian. “aku bukan anti-sosial.” Ujar Fiona. “aku hanya benci… tidak suka orang memperhatikanku.”
“aku akan terus berada di sampingmu.” Balas Adrian, lalu memperbaiki posisi tangan Fiona yang menggandeng lengannya. Fiona tidak membalas tatapan Adrian. Ia baru sadar kalau semua yang dilakukannya saat ini sama sekali bukan berarti apa-apa. Hubungannya dengan Adrian Harrison hanya sekadar berteman.
“pegang lenganku dengan benar.” Ujar Adrian. Ia terdiam sesaat, menunggu Fiona untuk membalas tatapannya. Tapi gadis itu hanya diam dan menatap lurus ke depan. Adrian hanya tersenyum kecil, lalu berkata, “kita masuk sekarang.”
Saat pintu besar ruang utama terbuka, semua tamu yang sudah mulai menikmati acara awal memusatkan mata kepada sepasang tamu muda yang baru tiba itu.
Adrian merasa tangan Fiona mulai menegang, sebelah tangan Adrian yang bebas lalu menyentuh tangan Fiona yang melingkari lengannya, “senyum.” Bisik Adrian.
Fiona menarik napas panjang dan berusaha menarik sisi-sisi bibirnya untuk tersenyum. Fiona merasa Ia tidak akan sanggup berjalan jika bukan Adrian yang menuntunnya ke sisi ruangan pesta. Ia membiarkan Adrian menariknya dengan pelan, ke mana saja, asalkan semua mata itu tidak memperhatikannya lagi.
“selamat datang, Mr. Harrison.” Sapa seorang laki-laki tua. Fiona menoleh, Ia baru sadar bahwa orang yang barusan menyapa Adrian adalah rektor universitas Kyung Hee, Lee Min Ha.
“kami sangat senang anda menerima undangan kami.” Tambahnya.
“ini adalah acara resmi pertama yang saya kunjungi di Korea. Terima kasih atas undangannya.” Mr. Lee lalu melihat ke arah Fiona yang berdiri di samping Adrian. “Park Hwa Young?”
Fiona membungkukkan badan. Ia lalu tersenyum lebar, “selamat malam, pak. Acara malam kesenian Kyung Hee memang selalu hebat.” Puji Fiona.
you’re looking beautiful, Hwa Young-ssi. Selamat atas beasiswamu di Oxford.”
“terima kasih.” Balas Fiona.
“Mr. Harrison, kami harap anda bisa menyumbangkan suara anda di acara ini, itu akan sangat mengesankan.” Ujar Mr. Lee.
Adrian tersenyum ramah, Ia lalu menatap Fiona. “Saya memang sudah merencanakan itu.” Ujarnya.
“kau berbicara padaku?” Tanya Fiona sambil berbisik.
“kau bisa menunggu di sini sebentar?”
“mau ke mana?”
“ke pangggung.” Balas Adrian. “kau tidak akan pingsan kalau tidak menggenggam tanganku, bukan?”
Fiona lalu memukul bahu Adrian pelan. “pergi saja selama yang kau mau.”
Senyum Adrian melebar begitu melihat bibir Fiona yang mengerucut. Ia lalu mengalihkan pandangan kepada Mr. Lee. “mungkin acaranya bisa dimulai sekarang?”
“tentu saja.” Balas Mr. Lee dengan senyum puas.
Sebelum Adrian beranjak meninggalkan Fiona, Ia menepuk pelan bahu gadis itu, dan sekali lagi berbisik ke telinganya, “tatap aku dan dengarkan.”
Fiona hanya mendesah pelan. Sekarang di sini Ia berdiri di tengah ruangan yang besar, dipenuhi banyak orang yang tidak semuanya Ia kenali. Detak jantungnya kini tidak karuan.
Apakah aku harus selalu was-was seperti ini setiap kali di tengah pesta? Gumam Fiona dalam hati. Ia sangat berharap Min Rae datang saat itu juga, menghampirinya, dan menggenggam tangannya agar Ia merasa aman dan tak terjatuh.
Selama Fiona sibuk mengendalikan getaran ditangannya, Adrian sudah tiba di atas panggung dengan gitar akustik. Sinar lampu di ruangan utama yang tadinya terlihat terang benderang kini tiba-tiba meredup, memusatkan fokus kepada orang yang sedang berdiri di panggung.
Begitu fokus cahaya di panggung sudah terlihat jelas, suara pekikan kecil mulai terdengar dari sisi panggung, seolah-olah mereka baru saja menyadari keberadaan pria Inggris yang sedang terduduk di atas sana. Adrian tidak memperdulikan semua kehebohan itu, matanya masih terpusat di gitar akustiknya—semua gerakan itu seakan-akan membuat Fiona terpana. Cara Adrian duduk di atas kursinya, caranya memegang gitar, dan caranya memandang ke bawah ke gitarnya. Sorot cahaya yang terpusat kepada Adrian seolah-olah membuatnya satu-satunya orang yang ada di dalam ruangan. Satu-satunya yang Fiona bisa lihat.
Adrian lalu mengangkat kepala dan melempar pandangannya ke seluruh ruangan. Walaupun ruangan itu terlihat agak gelap, Ia masih bisa melihat beberapa orang yang memperhatikannya di panggung. Adrian berusaha mencari Fiona, berusaha meyakinkan dirinya agar gadis itu baik-baik saja. Saat matanya beralih ke tengah ruangan, Adrian bisa melihat wajah gadis itu di dalam kegelapan. Mata hijaunya memperhatikan Adrian. Laki-laki itu lalu bisa merasa sedikit lebih lega.
“Malam ini pastinya adalah malam yang spesial bagi kalian semua.” Ujar Adrian. “malam ini juga begitu spesial bagiku. Karena malam ini akan menjadi yang pertama kalinya bagiku untuk menyanyikan lagu untuk seseorang.”
Semua kerumunan mulai berkata ‘wah’ dan terlihat sedikit lebih ribut dari sebelumnya. Sudah pasti mereka sangat penasaran dengan siapa yang Adrian maksud.
“di manapun dia berada, aku hanya berharap dia tahu kalau aku menyanyikan lagu ini untuknya.” Tambah Adrian. Saat itu juga, Ia mulai menjentikkan jemarinya di senar gitar.

She's like cold coffee in the morning
I'm drunk off last night's whiskey and coke
She'll make me shiver without warning
And make me laugh as if I'm in on the joke
And you can stay with me forever
Or you could stay with me for now

Tell me if I'm wrong, tell me if I'm right
Tell me if you need a loving hand, to help you fall asleep tonight
Tell me if I know, tell me if I do
Tell me how to fall in love the way you want me to

I'll wake with coffee in the morning
But she prefers two lumps of sugar and tea
Outside the day is up and calling
But I don't have to be so, please go back to sleep
Stay with me forever
Or you could stay with me for now

'Cause I love the way you wake me up
For goodness sake will my love not be enough?

(cold coffee- Ed Sheeran)

Saat itu tak ada yang bisa Fiona lihat tapi Adrian. Ini pertama kalinya gadis itu melihatnya bernyanyi secara langsung. Dan saat itu juga, Fiona mulai menyadari satu hal yang lain. Suara Adrian yang menghanyutkan. Ia yakin kalau matanya tidak salah lihat, Adrian terus menatap ke arahnya saat Ia bernyanyi. Apakah ini hanya dirinya atau Adrian memang menyanyikan lagu itu untuknya?
Fiona, itu tidak mungkin. Desakan dalam hati Fiona seolah-olah berusaha meyakinkannya kalau Adrian memang sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun dengannya.

Laki-laki itu terus memandanginya dari kejauhan. Beberapa kali Ia berhenti dan berjalan mengelilingi ruangan pesta hanya untuk berusaha meyakinkan diri bahwa mata kelabunya tidak salah lihat. Benar, gadis itu adalah gadis yang sama yang Ia lihat sebelumnya di ekshibisi. Fiona… siapa? Fiona Park?
Ya, tidak salah lagi. Seulas senyuman lalu tersungging di bibirnya, ternyata gadis yang bernama Fiona itu sama sekali tidak buruk. Sangat cantik, bahkan Ia terlihat lebih menawan dibandingkan Katherine. Semua orang di ruangan memusatkan perhatian pada Adrian yang ada di atas panggung, namun hanya Luis Murray yang memperhatikan Fiona dengan tatapan tajam itu.




 

 


Read More

Jumat, 31 Agustus 2012

Bagian Lima Belas


Sudah lebih dari enam kali Adrian berusaha menelepon gadis itu. Masih tidak ada jawaban.
“sebenarnya apa yang sedang dilakukan Kate?” gumamnya agak kesal. Sejak dua hari yang lalu Adrian belum sempat untuk memperingati hari sepeninggalan ayahnya. Semua itu karena kesibukannya dan juga demam sialan yang menyerangnya mendadak. Kalau sampai ibunya tahu, beliau pasti akan mengomelinya habis-habisan di telepon. Ia berharap setidaknya adiknya bisa menggantikan dirinya, tetapi sepertinya Katherine sama sekali tidak berniat dan bahkan tidak mau ingat hari ayahnya meninggal. Gadis itu terkadang membuat Adrian bingung dan kesal, adiknya bersikap menyebalkan tanpa alasan yang jelas. Dari dulu.
Sekali lagi Adrian mencoba untuk menelepon Katherine, kalau yang satu ini tidak diangkatnya, maka Adrian berencana untuk mencari adiknya itu ke agensinya dan membentaknya di depan rekan-rekan modelnya.
“Katherine Harrison! Kenapa kau baru angkat ponselmu?” Tanya Adrian begitu mendengar suara adiknya. “apa kau tahu aku sudah mencoba meneleponmu seharian?”
“aku tahu, brother.” Jawab Kate. Adrian mengangkat sebelah alisnya. Tumben sekali gadis ini tidak memanggilnya ‘oppa’. Biasanya Katherine selalu bersikap sebagai gadis kecil dan adik perempuan yang sangat manja di depan Adrian dan memanggilnya ‘oppa’.
“apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya Adrian begitu merasa ada yang berbeda dari suara adiknya.
“tidak ada. Aku tahu kau sudah meneleponku lebih dari enam kali.”
“lalu kenapa kau tidak menjawab teleponku sejak tadi?”
“karena aku sudah tahu apa yang ingin kau katakan.”
Adrian mengerutkan keningnya. Sepertinya Katherine memang sengaja menghindari telepon dari kakaknya. “Kate. Kau tidak pantas bertingkah seperti ini. Bagaimanapun dia adalah ayahmu. Orang tua kita. Apa kau tidak sedih setelah ayah meninggal?”
“untuk apa?” jawab Kate cepat. Sangat cepat. “aku sama sekali tidak sedih, Adrian. Sama sekali tidak ada rasa sakit yang berbekas.”
Adrian terdiam sejenak. Ia benar-benar tidak paham apa yang membuat adiknya itu bisa berbicara sekasar itu tentang seseorang yang sudah meninggal, terlebih lagi ayahnya. “ada apa denganmu? Kenapa sejak kecil kau selalu seperti ini?”
“Adrian.” Suara Katherine terdengar tegas. “jika kau meneleponku untuk menanyakan soal itu, lebih baik kau tidak usah menelepon.”
“sekali lagi…” Adrian memberi jeda sejenak. “apa kau sama sekali lupa tentang ayah kita? Apa kau akan terus membencinya seperti ini?”
“lupa? Kakakku yang tercinta, tanyakan hal itu pada dirimu sendiri.” Sahut Kate.
Adrian benar-benar tidak paham dengan jawaban adiknya barusan. Maksudnya apa? Ia tidak pernah melupakan apapun. Tidak pernah melupakan keluarganya. Tidak pernah melupakan orangtuanya. Tidak seperti adik perempuannya yang satu ini. “apa maksudmu kate?”
Oppa, aku sangat sibuk sekarang. Managerku baru saja memanggilku. Aku akan meneleponmu lagi besok.”
Adrian mendesah pelan. Gadis itu kembali memanggilnya dengan panggilan manjanya. Sebenarnya apa yang dipikirkan adiknya itu? “kau masih harus ingat dengan hari peringatan ayah kita. Jangan lupa itu. Aku tidak mau tahu.” Begitu selesai mengatakan kalimat itu, Adrian segera menutup teleponnya dan mendesah berat. Ia lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, mencoba untuk menebak maksud dari perkataan adiknya barusan. Adrian yakin, tidak ada satu detail kecil yang pernah Ia lupakan tentang keluarganya. Semuanya masih begitu jelas diotaknya. Saat ayahnya kecelakaan. Saat ayahnya dikabarkan meninggal begitu Ia sadar dari tidurnya empat belas tahun yang lalu.



Figura besar yang berisikan foto ayahnya itu diletakkan di atas perapian. Adrian lalu meletakkan beberapa bunga Mugunghwa dan makanan-makanan khas Korea juga diletakkan di depan foto ayahnya. Adrian Harrison sudah berjanji kepada ibunya kalau Ia akan memperingati hari sepeninggalan ayahnya dengan melakukan tradisi Korea. Walaupun ayahnya adalah orang Inggris dan sama sekali tidak mewarisi darah orang Korea, ibunya tetap ingin agar anak laki-lakinya itu mewakilinya untuk memperingati hari itu dengan melakukan tradisi Korea. Dulu ayahnya, Nicholas Harrison adalah seorang pria Inggris yang sangat menghargai budaya dari negara lain, apalagi Korea Selatan. Adrian ingat bahwa ibunya sempat mengatakan bahwa ayahnya jatuh cinta dengan Negara Korea Selatan. Dan karena itulah ayahnya bertemu dengan ibunya, Hana Harrison.
Adrian menyatukan kedua tangannya, lalu Ia memejamkan mata sejenak, berdoa untuk ayahnya yang sudah tidur dengan tenang selama hampir empat belas tahun.
“Ayah.” Ujar Adrian pelan dengan tatapan menerawang. “bagaimana kabar ayah sekarang? Maaf, aku sangat terlambat.”
Laki-laki itu kemudian memperbaiki posisi duduknya dan menggeser mangkuk sup agar lebih dekat dengan foto ayahnya. “aku juga minta maaf karena tidak bisa membantu ibu membesarkan adik yang baik.” Tambah Adrian sambil menunduk, seakan-akan dirinya memang sedang berbicara dengan sosok ayahnya. Seakan-akan Ia takut dimarahi ayahnya karena tidak bisa membawa Katherine datang dengannya.
“tapi aku berjanji. Aku berjanji akan menjaga ibu dan Katherine. Walaupun ayah tidak sempat mengatakan itu secara langsung kepadaku, aku yakin ayah ingin agar aku bisa menjadi laki-laki yang kuat. Yang bisa menjaga keluarga kita.” Adrian lalu mendongak menatap foto ayahnya. Di dalam foto itu ayahnya terlihat muda dan sehat, beliau tersenyum lebar sambil duduk di atas kursi dan memegang buku tebal.
Bibir Adrian melengkung membentuk senyuman kecil, sebuah ingatan terbesit dalam benaknya. “ayah, aku sudah menemukan seseorang.” Adrian terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “seseorang yang bisa membantuku untuk menjalani hidup. Seseorang yang selalu memberikanku semangat baru. Aku yakin ayah sudah tahu siapa orangnya.”
Adrian kembali menunduk dan tertawa rendah, seakan-akan ayahnya sudah memberi tanggapan atas apa yang barusan Ia katakan. Adrian tetap melanjutkan perkataannya. “dia gadis yang cantik. Apakah ayah sudah melihatnya? Gadis itu seperti malaikat.”
Laki-laki itu kembali menyatukan kedua tangannya dan menatap wajah ayahnya difoto lekat-lekat. Dengan penuh harapan Ia berkata, “aku hanya berharap dia mengetahui apa yang sebenarnya kurasakan.”
Beberapa saat kemudian, Adrian sedikit terkesiap begitu merasakan getaran di kantung celana jeans nya. Begitu melihat nama ibunya di layar ponsel, Ia mendesah pelan. “ya, ibu.”
“Adrian, bagaimana?” mendengar pertanyaan ibunya itu, Adrian sudah tahu apa yang dimaksud ibunya. Ia pasti ingin memastikan jika anak-anaknya ingat akan hari peringatan ayahnya.
“aku baru saja selesai, bu.” Jawab Adrian. “tapi Katherine...”
“apa dia tidak mau lagi?” tebak ibunya. Terdengar nada kecewa dari suaranya itu. “seperti yang ibu duga.”
Adrian menaikkan sebelah alis. Ia masih tidak paham. Sangat tidak paham kenapa ibunya bisa pasrah begitu saja saat anak perempuannya itu berlagak seakan-akan Ia tidak pernah mempunyai seorang ayah. “Aku sangat tidak mengerti.”
“apa?”
“kenapa Katherine selalu seperti itu?” Tanya Adrian. “kenapa dia selalu seperti itu sejak kecil? Apa yang membuatnya begitu membenci ayah?”
Ibunya tidak menjawab untuk beberapa saat. Adrian juga terdiam, menunggu penjelasan ibunya. Ia mulai merasa bahwa ibunya juga tahu akan sesuatu, namun enggan untuk menjelaskan. “ibu.”
“oh… iya. Maaf, nak. Ibu juga tidak tahu. Biarkan saja adikmu. Ibu berusaha memakluminya.”
“apa aku perlu menculik Katherine dari apartemennya dan menariknya ke sini?”
“Adrian, tidak usah. Biarkan saja Kate begitu. Dan satu lagi, jangan marahi adikmu.” Sahut ibunya. “dia sudah melalui begitu banyak hal.”
Alis Adrian terangkat lebih tinggi begitu mendengar perkataan ibunya. Sudah melalui begitu banyak hal? Hal apa? Apakah Adrian merupakan seorang kakak yang begitu buruk sampai dirinya tidak tahu apapun yang sudah dilalui adik perempuannya?
“ibu bilang apa tadi?”
Ibunya mendesah. Beliau lalu menjawab, “jangan culik adikmu ataupun memaksanya. Dan Adrian, jaga dirimu baik-baik di sana. Ibu akan meneleponmu lagi besok. Kalau kau merasa kebingungan, hubungi saja Mi Na, ibu sudah bilang kepadanya untuk membantumu.”
Sama sekali bukan jawaban yang Adrian harapkan. Benar, Ibunya memang sedang menyembunyikan sesuatu. Adrian yakin itu. Namun Ia tidak ingin menuntut penjelasan sekarang. Kali ini bukanlah waktu yang tepat. Adrian lalu menghela napas dan mengalah. “baiklah. Ibu juga jaga diri baik-baik. I miss you
Ibunya membalas perkataan Adrian. Setelah menutup ponselnya, Adrian lalu menatap keluar jendela di dalam ruangan tempat perapian itu. Ia merasa dikucilkan. Dikucilkan dari keluarganya. Merasa dikucilkan karena ada rahasia yang Ia tidak ketahui di dalam keluarganya. Dan yang sangat mengganggunya adalah Ia merasa hanya dirinya yang tidak mengetahui semua itu. Perasaan tak berdaya, kesal, dan penasaran menghujam dirinya. Apa yang sedang terjadi? Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh ibu dan adiknya? Adrian adalah seseorang yang peka terhadap situasi. Ia yakin apa yang dirasakannya itu adalah sesuatu yang tepat.
Dan disaat suasana hatinya memburuk seperti ini, hanya ada satu hal yang menghampiri pikirannya. Ia butuh gadis itu. Gadis malaikat yang selalu memberinya semangat baru. Gadis yang mampu menguapkan beban Adrian dalam sekejap. Fiona Park.
 


“Sedang apa?”
suara Min Rae membuat Fiona terbangun dari lelapnya. Sudah sekitar dua jam Ia tertidur sambil memegang pulpen di depan meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan kertas.
“ya ampun…” gumam Fiona sambil mengusap leher belakangnya.
“bagaimana lehermu tidak terasa sakit kalau sudah tidur seperti itu selama dua jam?” ujar Min Rae yang sudah bisa menebak pikiran Fiona.
Fiona lalu menatap ke arah tangan Min Rae yang menggenggam beberapa gantungan baju. “baju-baju itu untuk apa?”
Min Rae menatap Fiona dengan sebelah alis terangkat, seakan-akan dirinyalah yang seharusnya mengajukan pertanyaan. “kau lupa? Dua hari lagi adalah pesta malam kesenian di Kyung Hee.”
Gadis yang diajak bicaranya terdiam sejenak, lalu matanya melebar. Fiona menepuk dahinya dengan sebelah tangan. Min Rae yang melihat reaksi Fiona itupun sudah bisa menduga.
“jangan bilang kalau kau lupa.”
“aku memang lupa.” Ujar Fiona pelan. Ia lalu mendesah. “sudahlah, lagipula aku hanya perlu untuk mempersiapkan gaun malam dan hal-hal sepele lainnya. Tidak ada yang terlalu penting, bukan?”
“Hwa Young-ssi. Jangan katakan juga kalau kau lupa akan tampil di malam itu.”
Kini mata Fiona membelalak. “tampil? Tampil untuk apa?”
Min Rae hanya menggelengkan kepalanya. Sepertinya temannya itu baru saja hilang ingatan karena tidurnya yang menyakitkan. “aku yakin dosen kita sudah mengumumkan soal penghargaan yang akan diberikan untuk murid beasiswa Oxford di malam kesenian.
Fiona kembali menepuk dahinya pelan. Sepertinya ada yang salah dengan otaknya. Kenapa Ia bisa sampai lupa bahkan tentang penghargaan beasiswa itu?
“Maaf Min Rae, sepertinya aku hanya kelelahan.”
Min Rae tersenyum kecil. “sudah kuduga. Wajahmu terlihat sangat melelahkan. Aku rasa kau harus istirahat sekarang. Sudah dua hari kau memaksa diri untuk menyelesaikan tulisan itu.” Min Rae lalu menggerakkan matanya ke arah tumpukan kertas di atas meja. “ngomong-ngomong, apa kau sudah selesai?”
Fiona lalu memperhatikan kertasnya dan mencari ujung kalimatnya. “Sebentar lagi. Baru selesai tiga perempat.”
“kau menulis tentang apa?”
Fiona terdiam sejenak sambil memperhatikan kertas yang dipegangnya. Ia lalu menatap Min Rae dan tersenyum. “apa aku bisa memberitahu judulnya saja?”
Seulas senyuman menggoda tersungging di bibir Min Rae. “wah, sepertinya ada yang sedang menciptakan sebuah karya kejutan.”
Fiona hanya tertawa kecil mendengar perkataan temannya itu. “kau mau tahu judulnya atau tidak? Kalau tidak jadi, sama sekali bukan masalah bagiku.”
“Park Hwa Young, kau membuatku semakin penasaran! Oke, judulnya saja kalau begitu.”
Fiona kembali tertawa kecil, Ia berusaha menahan diri sebelum membalas perkataan Min Rae. “sebenarnya aku belum buat judulnya.”
“apa-apaan ini?” ujar Min Rae dengan nada terluka. “kau sedang mempermainkanku?”
“tidak usah dramatis seperti itu.” Sahut Fiona. “aku janji, kalau aku sudah menemukan judul yang tepat, aku akan memberitahumu. Bagaimana?”
“asal kau tidak lupa saja dengan janjimu itu.”
Fiona lalu mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar meyakinkan. “tenang saja. Aku pasti tidak akan lupa.”
Min Rae menganggukkan kepala dan tersenyum. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada gantungan-gantungan baju yang sedari tadi digenggamnya. “aku tahu kau tidak memerlukan waktu yang lama untuk bersiap-siap. Tapi aku harus kembali ke aktivitas semulaku. Kau juga jangan lupa untuk bersiap-siap, Hwa Young.”
Fiona hanya mengangguk tegas sambil masih tersenyum lebar. Min Rae memang terkadang bersikap agak kecentilan. Padahal temannya itu sudah terlihat cantik tanpa polesan apapun, kenapa harus repot-repot melakukan segala persiapan? Yang diperlukannya itu hanya percaya diri.
Beberapa saat kemudian, ponselnya yang Ia taruh di atas meja berkedip-kedip. Ia melirik nama yang muncul di layar ponselnya, seulas senyuman langsung muncul diwajahnya begitu melihat inisial nama ‘A.H’.
“Halo.”
Annyeong, Fiona-ssi.” Terdengar nada khas korea laki-laki itu di ujung sana.
Annyeong.” Balas Fiona. “sepertinya kau sudah bisa berbicara tanpa bahasa formal.”
“benarkah? Berarti aku ada kemajuan?” ujar Adrian dengan nada riang. “kau sedang apa?”
“aku hanya…” Fiona terdiam sesaat lalu melihat sekelilingnya. Apa yang sedang Ia lakukan? Ia baru saja terbangun dari tidurnya yang tidak nyaman. “aku sedang tidak melakukan apa-apa.”
“apa kau punya waktu untuk bertemu?” Tanya Adrian. Nada suaranya kini terdengar lebih datar dari sebelumnya. Fiona ragu sejenak, Ia menoleh ke arah jendela kamarnya, cuaca hari ini sangat dingin walaupun salju tidak turun, bahkan jendelanya sampai berembun.
“sepertinya aku membutuhkanmu.”
Mata Fiona yang tadinya mengamati udara di luar kini mengerjap heran. Apa yang dibilang Adrian barusan? Adrian membutuhkan Fiona? Kenapa cara bicaranya barusan membuat dada Fiona terasa aneh?
“apa aku bisa menemuimu?” Tanya Adrian sekali lagi. Fiona masih tidak menjawab. “Fiona-ssi.
Fiona tersentak, Ia lalu bertanya, “apa kau baik-baik saja?”
“aku tidak yakin.” Sahut Adrian. “maka dari itu aku membutuhkanmu.”
Fiona menundukkan kepala sesaat, entah apa yang sedang terjadi dengan dirinya, tetapi Ia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum. “aku bisa. Tunggu aku di taman kota.”
“tidak usah.”
Fiona mengerutkan keningnya. Apa laki-laki itu berubah pikiran?
“aku sudah ada di depan apartemenmu. Keluarlah.”
Mata Fiona melebar begitu mendengar perkataan Adrian barusan. Ia lalu berlari menuju sisi balkon dan menoleh ke bawah apartemen. Benar, laki-laki berjaket putih itu sedang menunggunya di depan apartemen.


“kenapa datang tiba-tiba?” Tanya Fiona kepada Adrian yang masih menggenggam ponselnya. Fiona lalu melirik ke belakang Adrian. “kau membawa mobilmu?”
Adrian mengangguk. Ia lalu bertanya, “apa kau tidak keberatan jika aku mengajakmu berkeliling?”
Fiona menatap Adrian heran. “maksudmu? Kau ingin merepotkanku lagi?” balasnya dengan nada bergurau. “apa kau tahu kalau aku sering direpotkan oleh fans-fans fanatikmu itu setiap kali ada disekitarmu?”
Adrian hanya tersenyum tipis. Ia lalu membalas dengan nada datar. “aku tahu. aku sangat sadar akan hal itu.”
Fiona yang mendengar nada bicara Adrian yang datar merasa tidak enak hati. Tadi dia hanya bermaksud untuk bergurau, tapi sepertinya Adrian menanggapi perkataannya dengan serius. “hei, aku hanya bercanda, santai saja.”
Adrian lalu menatap Fiona dan tersenyum kecil. “tapi kelihatannya kau memang terasa terbebani.”
“bukankah sudah kubilang kalau aku hanya bercanda?”
Adrian terdiam untuk beberapa saat, Ia lalu menundukkan kepalanya. “maaf.”
Fiona maju selangkah, Ia berusaha untuk memperhatikan wajah laki-laki yang menundukkan kepala itu. “untuk apa?”
“karena selalu merepotkanmu.” Jawab Adrian. Ia lalu mendongak, Ia sedikit terkesiap begitu menyadari wajah Fiona yang kini jaraknya cukup dekat dengannya. Gadis itu hanya menatapnya polos.
“aku menghampirimu karena aku tidak tahu siapa lagi yang bisa aku ajak bicara.” Ujar Adrian, berusaha menutupi rasa gugupnya.
“jadi aku pilihan terakhir?” Tanya Fiona dengan mata disipitkan.
“ya begitulah.” Sahut Adrian. Ia lalu tidak mengatakan apapun. Awalnya Ia merasa ragu, namun akhirnya Adrian memberanikan diri untuk melanjutkan kalimatnya. “tapi setelah aku pikir-pikir, pilihan terakhir bisa menjadi yang terbaik.”
Setelah mengatakan itu, dadanya terasa aneh, jantungnya berdebar lebih cepat. Adrian merasa gugup menunggu respon dari gadis yang berdiri di depannya itu.
“terserah. Aku juga sedang merasa bosan di rumah. Tapi jangan bawa aku ke tempat berbahaya.” Jawab Fiona dengan nada sedikit kesal. Syukurlah. Reaksi seperti itu jauh lebih baik dari pada melihat Fiona yang terdiam dan membalas ucapannya dengan wajah serius. Adrian bisa-bisa mengutuk dirinya sendiri jika Fiona sampai berusaha menarik diri darinya. Ia tidak ingin jauh-jauh dari gadis itu, Adrian sudah sangat bersyukur karena belakangan ini Ia sudah bisa tidur dengan nyaman. Adrian yakin itu semua ada hubungannya dengan Fiona. Karena gadis itu tersenyum padanya. Karena gadis itu tertawa dengannya. Karena gadis itu ada disekitarnya.
“apa lagi yang kau tunggu? apa kau mau berdiri membeku di situ?” suara Fiona membuyarkan lamunan Adrian. Ia lalu menoleh menatap Fiona yang sedang berlari-lari di tempat. “cepatlah bergerak, udaranya dingin sekali.” Keluhnya sambil menarik-narik lengan jaket Adrian.
Laki-laki itu membalas keluhan Fiona dengan tatapan tersenyum. “tenang saja.” Ujarnya. Adrian lalu memutar pergelangan tangannya dan menggenggam tangan Fiona.
Fiona yakin jantungnya sempat berhenti berdetak sampai-sampai Ia sendiri tidak sadar kalau Ia sempat mengerjapkan mata. Adrian menyadari kerjapan mata gadis itu, namun Ia masih tetap tersenyum,
“gadis bodoh.”
Belum sempat Fiona membalas perkataannya, Adrian kembali berkata, “apa kau lupa membawa sarung tangan atau kau memang tidak punya satupun di apartemenmu?”
Fiona bermaksud untuk menjawab perkataan Adrian itu, namun laki-laki itu segera membuka salah satu sarung tangannya dan memakaikannya di tangan kiri Fiona. Tangan kanan Fiona tetap digenggamnya di dalam saku jaketnya yang dalam.  Fiona kembali berhenti bernapas untuk beberapa detik.
“kau akan merasa hangat selama jalan-jalan kita nanti.”
Fiona hanya terdiam dan menatap wajah laki-laki itu. Ia lalu menunduk dan menyembunyikan senyum. Perasaan hangat mulai menjelajari dirinya, entah itu berasal dari detak jantungnya yang cepat yang memompa darahnya ke seluruh tubuh atau itu berasal dari tangan Adrian yang begitu hangat.  Fiona tidak mengelak dan membiarkan Adrian menggenggam tangannya. Kehangatan yang Ia rasakan saat ini terasa begitu nyaman dan benar.
 

“Kau membawa gitar?” Tanya Fiona sambil menoleh ke arah belakang kemudi.
“karena akhir-akhir ini aku sibuk di studio, jadi aku biarkan gitarku di dalam mobil.” Jawab Adrian. “kebetulan sekali bukan?”
Fiona mengangkat sebelah alis. “kebetulan apa?”
“aku tiba-tiba ingin memainkan gitar.” Ungkap Adrian. Laki-laki itu lalu tersenyum ke arah Fiona. “bagaimana menurutmu?”
Fiona menatapnya dengan mata melebar. “kau serius? Kalau nanti kau menarik perhatian banyak orang bagaimana?”
“bukankah itu memang tujuan utama dari bernyanyi di depan umum?”
Fiona lalu memukul lengan Adrian pelan, “aku serius.”
Adrian tertawa kecil, Ia lalu membalas, “tujuanku bukan untuk mencari perhatian.”
“lalu?”
Adrian tidak menjawab untuk beberapa saat, namun Ia menoleh menatap Fiona. “kau belum pernah melihatku memainkan gitar secara langsung, bukan?”
Fiona menggeleng. “belum. Jadi setelah piano, sekarang kau ingin memamerkan permainan gitarmu?”
“bisa dibilang begitu.” Adrian terdiam sesaat, lalu Ia melanjutkan. “tunggu dulu, bukankah waktu itu kau yang memaksaku untuk bermain piano? Sekarang aku sedang berbaik hati untuk memperlihatkan kemahiranku dalam bermain gitar.”
Fiona hanya mendengus pelan, Ia lalu tersenyum. “oke. Terserah kau saja.”

Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai di depan terminal stasiun kereta Cheongnyangni yang merupakan salah satu terminal stasiun kereta terbesar di Korea. Fiona sangat jarang menghampiri stasiun kereta ini, itu karena lokasi stasiun kereta yang cukup jauh dan Ia juga jarang pergi keluar kota.
“kenapa stasiun kereta?” Tanya Fiona begitu turun dari mobil Adrian. Laki-laki yang sedang diajaknya berbicara menatap ke sekeliling terminal, suasana yang sibuk dan padat sama sekali tidak membuatnya merasa pusing. Adrian justru menikmati suasana itu. Ia lalu berdiri menghadap Fiona. “apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu?”
Fiona terdiam sesaat. Ia menyipitkan kedua matanya dan terlihat berpikir. Ia lalu ingat akan saat-saat pertama kalinya bertemu dengan Adrian. “waktu itu kau sedang syuting dan aku bermaksud untuk menghampiri ayahku. Tapi aku justru menabrakmu.”
“dan setelah itu aku mengantarmu ke stasiun kereta.”
Fiona mengangguk. Ia lalu tersenyum menatap Adrian. “karena itukah sekarang kau mengajakku ke stasiun kereta?”
“walaupun bukan di stasiun kereta yang sama…” balas Adrian. Ia lalu menatap ke arah bangku kosong yang berada tidak jauh dari posisi mereka berdiri. “kau punya hutang padaku.”
Fiona menatap Adrian heran. “hutang apa?”
“apa kau tahu kalau waktu itu kau sangat tidak sopan? Kau pergi begitu saja meninggalkanku yang sedang dikerumuni banyak orang.” Jelas Adrian. “itu berarti kau berhutang waktu padaku sekarang.”
“oh yang itu…” Fiona lalu mengibaskan tangannya bermaksud untuk mengoreksi perkataan Adrian barusan. “waktu itu aku tidak bermaksud untuk meninggalkan…”
kata-kata Fiona terhenti begitu Adrian kembali menggenggam tangannya dan menariknya pelan. “kita cari tempat duduk dulu sebelum kau kembali cerewet.”
Fiona ingin membalas Adrian yang barusan mengatainya cerewet, tapi tidak jadi. Ia lebih memilih untuk diam dan membiarkan Adrian menyentuh tangannya dari pada membalas ucapan Adrian dengan kesal dan menarik tangannya.
Begitu mereka duduk di bangku, Adrian lalu mendesah pelan. Kedua mata cokelat gelapnya masih memandang ke sekeliling stasiun kereta. Terdengar suara peluit kereta yang baru saja tiba. Orang-orang di depan mereka berlalu lalang dan tetap melihat lurus ke depan tanpa sedikitpun memperdulikan orang-orang yang ada di samping mereka. Semuanya terlihat begitu sibuk dan padat, mereka mungkin bahkan tidak menyadari seorang artis Inggris yang sedang duduk dibangku dan memperhatikan semua keadaan itu.
Adrian dan Fiona duduk saling diam untuk beberapa saat, Fiona lalu menoleh ke arah Adrian dan memperhatikan mata laki-laki itu yang tiba-tiba terlihat menerawang.
“apa kau sedang memikirkan sesuatu?” Tanya Fiona.
Adrian mengalihkan pandangannya dari sekeliling ke arah Fiona. “apa?”
“apa ada yang terjadi?” ulang Fiona memperjelas pertanyaannya. “kau seperti… sedang berpikir.”
Seulas senyuman tipis lalu tersungging di bibir Adrian. “apakah terlihat sangat jelas?”
Fiona mengangguk pelan. Adrian kembali mendesah, Ia akhirnya memutuskan untuk bercerita. “ini karena adikku.”
“Katherine?” balas Fiona dengan nada sedikit ragu. Walaupun Ia sadar kalau Adrian hanya memiliki seorang adik, tapi Fiona tidak pernah berpikir kalau Adrian akan mempunyai masalah dengan Katherine.
“ya.” Aku Adrian. “belakangan ini dia sangat membingungkan. Juga sedikit menyusahkan.”
Fiona tetap terdiam, menunggu Adrian untuk melanjutkan. “sampai sekarang aku tidak paham apa yang membuatnya begitu membenci ayah kita.”
Sebuah pertanyaan muncul di dalam benak Fiona. Katherine membenci ayah kandungnya? Kenapa?
“gadis itu bahkan tidak ingin mengingat hari ayahnya meninggal. Dia berlagak seakan-akan dia tidak pernah mempunyai ayah sama sekali.” Adrian memberi jeda, Ia lalu melanjutkan, “sepertinya aku tidak bisa merubahnya.”
Fiona masih mendapati dirinya tidak bisa berkata apa-apa. Ia tidak pernah berpikir gadis semanis, sebaik dan seriang Katherine akan mempunyai masalah di dalam keluarganya. Maksudnya, bagaimana Katherine bisa menyembunyikan semua itu di depan orang lain?
Fiona lalu meletakkan tangannya di bahu Adrian dan menepuk bahunya pelan. “mungkin saja adikmu butuh waktu. Butuh waktu untuk melupakan semua kenangan pahit di masa lalu. Maka dari itu dia bersikap seperti ini.”
“tapi bukankah itu terlalu berlebihan?” balas Adrian. “dan itu bukan hanya Kate. Ibuku juga hanya mengalah saja setiap Kate bersikap seperti itu. Aku merasa seperti orang bodoh. Sepertinya hanyalah aku satu-satunya yang kebingungan di sini.”
Fiona kembali terdiam. Kini Ia yang merasa bodoh. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membuat Adrian merasa lebih baik. Apa Ia merupakan teman bercerita yang baik?
“tidak usah berpikir keras seperti itu.” Ujar Adrian seakan-akan Ia bisa menebak pikiran Fiona. Gadis itu sedikit terkesiap begitu mendengar ucapan Adrian yang bisa menebak dirinya dengan mudahnya.
“aku tidak butuh kata-kata yang bersimpati.” Tambah Adrian. “yang aku butuhkan hanya satu. kau diam saja di sini. Tetap diam disampingku.”
Fiona menoleh menatap Adrian. Laki-laki itu menatap lurus ke depan, namun Fiona bisa melihat tatapan matanya yang dalam yang tidak diarahkan ke siapapun. Fiona mulai merasakan rasa hangat yang mulai menjelajari tubuhnya untuk kesekian kalinya, Ia lalu memutuskan untuk berada di samping laki-laki itu terus jika itu memang bisa membuatnya merasa lebih tenang.
Karena tidak bisa menemukan kata-kata lain yang lebih tepat, Fiona memutuskan untuk bertanya. “apa kau bisa menyanyikan lagu Korea?”
Adrian lalu mengalihkan pandangannya ke Fiona. Ia mengangkat sebelah alis. “kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?”
Senyum lalu mengembang di wajah Fiona. “siapa sangka kalau aku juga pandai dalam mengalihkan pembicaraan?”
Adrian tertawa kecil, ternyata gadis itu bisa menjiplak sikapnya dengan baik. “kau benar. Kau sangat pandai.” Pujinya. “sebenarnya aku belum pernah bernyanyi dalam bahasa lain selain bahasa Inggris. Aku akan mencobanya.”
Fiona kini tersenyum lebih lebar kepada Adrian. Senyuman itu membuat Adrian sedikit terkejut, senyuman yang begitu cerah, Adrian merasa beban dipikirannya menguap detik itu juga.
“aku mempunyai sebuah tantangan untukmu.” Kata Fiona. “apa kau bisa mempelajari lagu Korea dalam dua minggu?”
Adrian lalu tersenyum sambil menggelengkan kepala pelan. “sepertinya kau benar-benar meremehkanku.” Balasnya. “kita lihat saja nanti.”
“bagus.” Ujar Fiona sambil menepuk kedua tangannya. “aku sangat penasaran bagaimana suaramu akan terdengar dalam bahasa Korea.”
“tapi sebelum itu…” Adrian beranjak dari tempat duduknya. “aku sudah bilang kalau aku ingin bermain gitar, bukan?”
Fiona mengerjapkan matanya. Ia lalu melemparkan pandangannya ke sekeliling. “apa kau serius? Di sini?”
“kenapa tidak?” Tanya Adrian balik. “bukankah konser gratis itu menyenangkan?”
“Adrian, aku serius.” Balas Fiona dengan nada serius dan raut wajah khawatir. Ia hanya tidak ingin orang-orang tiba-tiba menyadari keberadaan Adrian dan akan mengerubunginya saat itu juga. Dan jika itu terjadi, Fiona harus menyiapkan diri untuk menjauh sejauh mungkin dari kerumunan. Berjaga-jaga agar tidak ada orang yang menyadari keberadaannya. Menjauh dari Adrian.
“kau tenang saja, aku tahu kau tidak suka keramaian.” Ujar Adrian yang bisa menebak semua kekhawatiran Fiona lewat raut wajahnya. “kau tunggu di sini.”
Belum sempat Fiona menahan Adrian, laki-laki itu sudah berlari menuju parkir mobilnya. Adrian mengeluarkan gitar akustik berwarna putihnya dari bangku belakang mobil dan berjalan ke seberang jalan. Adrian tidak menghampiri Fiona, Ia justru berhenti di depan sebuah rumah makan tradisional yang letaknya sekitar lima puluh meter dari posisi Fiona duduk.
“apa dia mau mengamen?” gumam Fiona sambil tersenyum menatap Adrian dari kejauhan.
Sebelum memulai permainan gitarnya, Adrian melirik ke arah Fiona dan tersenyum manis. Senyuman itu lagi. Senyuman hangat yang selalu membuat Fiona lupa akan dinginnya hari. Senyuman itu seakan-akan mengisyaratkan “tatap aku dan dengarkan.”
Adrian lalu mulai menjentikkan jari-jarinya di senar gitar. Dari kejauhan itu Fiona masih bisa mendengar nada gitar Adrian yang begitu jelas. Tanpa sadar Fiona menyunggingkan seulas senyuman lebar begitu mendengar Adrian memainkan lagu Payphone. Permainannya sangat mahir sampai-sampai Fiona tidak bisa mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu walau hanya dari jauh.
Fiona bisa melihat beberapa orang yang sudah mulai berlarian mengerumuni Adrian, para gadis yang sudah mengeluarkan kamera dan handphone mereka untuk mengambil gambar Adrian. Fiona sedikit mendongak, sosok Adrian mulai menghilang dari pandangannya. Tetapi beberapa saat kemudian, Adrian terlihat berjalan menaiki beberapa tumpukan benda sambil masih memainkan gitarnya. Kini Adrian terlihat lebih tinggi dan Fiona bisa memperhatikannya dengan jelas dari bangkunya. Sesaat Fiona merasa sesuatu yang aneh muncul di dalam hatinya. Sama seperti perasaan aneh yang muncul saat melihat laki-laki itu bermain piano. Perasaan yang tidak ingin Ia lepaskan, perasaan yang membuatnya begitu nyaman.
Setelah beberapa saat memperhatikan laki-laki itu, Adrian kembali menatap Fiona. Sambil masih memainkan gitarnya, Adrian mengedipkan sebelah mata ke arah Fiona. Dan saat itu juga, Fiona mengaku bahwa dunianya sudah tidak sama lagi.


Musik dimulai di detik ke 18:00
Read More
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.

© Sunny In Winter, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena