Rabu, 14 November 2012
Bagian Tujuh Belas
Fiona terkesiap begitu merasakan tangan menyentuh bahu
kanannya. Sentuhan hangat yang tak asing baginya—tangan yang menangkup sempurna
sisi bahunya. Begitu Ia memutar badan, matanya bertemu dengan sepasang mata
gelap yang sejak tadi sudah memperhatikannya.
Fiona
menghela napas begitu menyadari laki-laki yang berdiri di depannya. “Jae Woo.”
Jae Woo memejamkan
mata sesaat dan tersenyum lembut begitu mendengar suara Fiona yang memangginya,
seolah-olah Ia sudah sangat mengharapkan suara lembut itu memanggilnya. “You look lovely, Miss Scarlett.” Pujinya,
tanpa sedikitpun menghiasi bahasa Inggrisnya dengan logat Korea.
Fiona tidak
menjawab untuk beberapa saat. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat
untuk membalas pujian Jae Woo. Ia memperhatikan wajah Jae Woo yang tiba-tiba
terlihat dingin, raut wajahnya terlihat kaku. Ada sesuatu yang sedang
mengganggu pikirannya. Fiona mempelajari wajahnya, memperhatikan sepasang mata
hitam gelap yang memperhatikan wajahnya dengan tatapan sedih. “Jae Woo… kau
tidak apa-apa?”
“tidak.”
Jawab Jae Woo langsung. “aku baik-baik saja.”
“kau
terlihat… agak pucat.”
“karena aku
tahu kau tidak datang sendiri.” ungkap Jae Woo, sadar kalau ucapannya barusan
membangkitkan reaksi Fiona. “apalagi datang dengan seseorang yang tidak kuharapkan.”
Menyedihkan,
pikir Fiona. Apa lagi yang akan dikatakan Jae Woo sekarang? Bersikap
seakan-akan dia adalah ayahnya dan membentaknya karena datang ke acara ini
dengan Adrian?
“jangan
bilang kau cemburu.” Ujar Fiona dengan nada bergurau. Di dalam hati kekesalannya
sudah mulai terbit, memang siapa Jae Woo, untuk masih berhak mencampuri
urusannya?
“Jawab aku,
Hwa Young.” Kata Jae Woo. Nada bicaranya tegas, seolah-olah menuntut kebenaran.
“ada apa diantara kau dan Harrison?”
Mata Fiona
melebar, terkejut dengan pertanyaan tak wajar, bodoh, apalagi pertanyaan ini
diutarakan oleh seseorang yang pernah menyakiti hatinya dengan cara yang
menyedihkan. Apakah Jae Woo tidak merasa malu sama sekali untuk menanyakan hal
itu kepada Fiona?
Fiona
menunduk dan tertawa rendah meremehkan. “bukan urusanmu. Kenapa kau harus
peduli?” Ia lalu melihat ke belakang bahu Jae Woo, tatapannya terarah pada
gadis berambut hitam pekat yang berjalan dengan anggun ke arahnya. “aku yakin
orang yang kau cari-cari sudah datang.” Ujar Fiona pada Jae Woo sambil
menggerakkan kepalanya ke arah belakang bahu laki-laki itu.
Begitu Jae
Woo menyadari kedatangan Ha Ra—kekasih baru dan sumber inspirasi mahakarya
terbesarnya itu—Ia mendesah pelan. Ia lalu kembali menoleh ke arah Fiona,
tatapannya masih menunggu jawaban, menunggu Fiona untuk mengatakan sesuatu.
“apa?” tanya
Fiona datar, tak mengerti apa yang sedang di tunggu Jae Woo sampai masih
berdiri tegak di depannya.
Fiona
terkesiap begitu pergelangan tangan kanannya digenggam erat oleh Jae Woo.“apa
yang kau—“
“kau belum
menjawabku, Fiona.” Ucap Jae Woo. Gadis yang digenggamnya terdiam seketika dan
menatap kedua mata hitamnya dengan heran. Pertama kalinya—bukan, ini kedua
kalinya Jae Woo memanggil Fiona dengan nama Inggrisnya setelah sesaat yang lalu
Ia memujinya. Tapi ini yang pertama kalinya, Jae Woo memanggilnya Fiona dengan
tatapan serius itu. Dengan tatapan yang penuh harapan itu. Tatapan yang masih
menunggu penjelasan keluar dari mulut Fiona.
Fiona
menggelengkan kepalanya pelan, dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman
Jae Woo. Namun genggamannya begitu erat sampai-sampai Fiona meringis begitu merasakan
sakit menyerbu pergelangan tangannya.
“Get your hands off her, dude.” Logat
Inggris kental yang terdengar tegas namun masih terdengar lembut di telinga
Fiona muncul, membuat kulit Fiona terasa hangat seketika, Ia mendesah pelan,
lega akan suara yang ditunggu-tunggunya akhirnya muncul.
Sebelum
Fiona sempat mendongak menatap wajah Adrian, tangan lebarnya sudah mendarat di
tangan Jae Woo yang masih menyentuh tangan Fiona tanpa sama sekali melonggarkan
genggamannya. Fiona baru sadar kalau warna kulit Adrian tidak jauh berbeda
dengan warna kulit Jae Woo. Hanya saja kulit Adrian terlihat lebih terang dan
bersinar. Bukannya menangkis tangan Jae Woo dengan kasar, Adrian justru meraih
jemari-jemari tangan Fiona dan menarik tangannya dengan pelan ke sisi tubuhnya.
Jae Woo
terlalu sibuk memusatkan kedua matanya di wajah Adrian, tatapannya tajam dan
penuh benci. Semua itu terlihat begitu jelas. Fiona yakin bukan hanya dirinya
yang menyadari arti dari tatapan itu, Adrian juga. Namun Adrian yang kini
menggenggam tangan Fiona hanya membalas tatapan Jae Woo dengan tenang dan sama
sekali tak menunjukkann sedikitpun emosi. Adrian meremas tangan Fiona, dan
Fiona merasakan kehangatan langsung menjelajari tubuhnya ke atas.
Kini Ia ada di tangan yang benar. Di tangan yang membuatnya merasa aman.
“aku yakin
kau tidak ingin buat keributan di sini dan terlihat memalukan di depan
orang-orang ini.” ujar Adrian dengan senyumnya yang masih terlihat ramah.
Senyum yang selalu Ia tunjukkan pada orang-orang di sekitarnya. Senyum yang
mungkin, bahkan dihadapan orang terburuk sekalipun, masih ditunjukkan oleh
Adrian.
Jae Woo
masih menatap Adrian dengan tatapan tajam yang sama, dan membalas perkataan
Adrian dengan senyum remeh, “aku tidak terlalu peduli soal keributan. Tapi
sepertinya kau sangat peduli dengan reputasimu, Mr. Harrison.”
“Jae Woo.”
Ha Ra yang baru tiba dihadapan Fiona segera melingkari tangannya di lengan Jae
Woo. Raut wajahnya yang kosong jelas memberitahu jika dia tidak mengerti apa
yang sedang terjadi di sini. Namun dalam satu detik raut wajahnya berubah, mata
hitamnya berkilat-kilat begitu menyadari sosok Adrian Harrison yang berdiri
tepat di hadapannya, memandangnya. “Ad… Ad…”
Fiona
memutar bola matanya begitu melihat Ha Ra yang gagap, sangat sulit hanya untuk
mengucapkan nama Adrian. Sikap yang tidak jauh berbeda dari gadis-gadis
lainnya. Reaksi Ha Ra selanjutnya sudah bisa ditebak: grogi, wajah merah merona
malu, tangan sibuk memperbaiki rambut, overreacting.
“aku
penggemar beratmu! Perkenalkan nama…”
“Fiona-ssi. Aku sudah mencarimu dari tadi.” Ujar
Adrian tanpa sama sekali mendengarkan Ha Ra, badannya menghadap Fiona. Dan
sebelum Fiona sempat merespon perkataannya, Adrian membelai helai rambut Fiona
dan menghelus pipi Fiona dengan lembut. Begitu lembut sehingga Fiona menggigil.
Sentuhan Adrian selalu memberikannya sensasi yang aneh. Sensasi yang membuat
sesuatu di dalam dadanya bergetar.
“maaf sudah
membuatmu menunggu di sini.” Ujar Adrian dan kini tangannya yang tadi menghelus
pipi Fiona, meluncur dari bahunya, ke bawah lengannya, dan berhenti di telapak
tangannya. “kau mau minum?”
Fiona hanya
memperhatikan kedua mata cokelat Adrian yang memberikan isyarat ‘ayo pergi dari sini.’ Ia menoleh ke arah
Jae Woo dan Ha Ra, lalu kembali menatap Adrian. Fiona tersenyum lebar begitu
Adrian memperlihatkan senyumnya yang hangat. Fiona tidak mengerti—Ia tidak bisa
menahan untuk tersenyum juga jika Adrian tersenyum seperti itu kepadanya.
“tentu
saja.” Jawab Fiona. Ia lalu mengusap tenggorokkannya pelan. “aku rasa aku sudah
menunggu cukup lama sehingga kehausan.”
Tanpa
basa-basi lagi, Adrian menuntun tangan Fiona diatas lengannya, dan membiarkan
Fiona mengunci tangannya dilengannya dengan erat. Mereka berjalan menelusuri
ruangan, menuju tempat minuman berada, setelah mereka berjalan cukup jauh dari
Jae Woo dan Ha Ra, Fiona mulai mengeluarkan pertanyaannya pada Adrian. “apa kau
sengaja melakukan semua itu tadi?”
Adrian
menatap Fiona dengan alis terangkat. “maksudmu?”
“maksudku…
Ha Ra, jelas-jelas tadi dia terlihat sangat tertarik denganmu.”
Adrian lalu
tertawa lepas. Fiona tiba-tiba merasa malu. Apa yang lucu dari perkataannya
barusan? Memang, semua itu sudah jelas dan tidak usah dipertanyakan lagi. Ia
tahu kalau Ha Ra bukan satu-satunya gadis yang tertarik dengan Adrian. Ia tahu
kalau setiap gadis yang melihatnya akan tersihir begitu saja dan mereka sudah
pasti in—
“kau kira
aku melakukan semua itu tadi karena ingin membuat gadis itu panas dan tidak
menyukaimu? Atau membuat Jae Woo yang sepertinya masih…” Adrian berhenti untuk
beberapa saat, Ia lalu tersenyum tipis. “masih mengharapkanmu, merasa cemburu.”
Fiona hanya
menatap wajah Adrian untuk sesaat, Ia lalu mengalihkan perhatiannya begitu
Adrian menyadari Fiona yang tadi memperhatikannya.
“lalu? Apa
tujuanmu melakukan semua itu?”
Adrian
menarik dadanya, dan menghembuskan napas panjang. “semuanya muncul begitu saja
di otakku.” Ujarnya sambil menatap lurus ke depan. Ia lalu menoleh ke arah
Fiona yang kini tidak mengalihkan tatapannya dari wajah Adrian. “semua itu,
Fiona. Mengalir begitu saja. Aku ada di sampingmu. Aku hanya ingin… menggenggam
tanganmu. Dan membuatmu merasa aman.”
Fiona tidak
sadar kalau dirinya menahan napas untuk beberapa detik. Kedua mata cokelat
Adrian menatap dalam kedua mata hijau Fiona. Seakan-akan tatapannya bisa
merasuki jiwa Fiona. Saat itu satu-satunya hal yang bisa Fiona pikirkan adalah
Adrian sedang mempelajari bentuk mata Fiona. Dari gerak bola matanya, Fiona
bisa membayangkan Adrian sedang memperhatikan alisnya, tekstur bulu matanya
yang tebal dan panjang, iris mata hijaunya yang terang. Semakin lama Fiona
memperhatikan kedua mata cokelat yang ada dihadapannya itu, semakin besar rasa
ketertarikan itu muncul di dalam dirinya. Mata Adrian bukan hanya sekedar cokelat
gelap, jika diperhatikan sedekat ini, tatapan matanya tajam, namun masih
memberikan kesan kelembutan dan membuat siapapun yang memandangnya hanyut dan
tenggelam begitu saja. Bulu matanya yang tebal dan hitam, membuat mata
laki-laki itu terlihat lebih indah, bahkan mampu membuat para gadis iri karena
tidak bisa memiliki mata seindah itu.
Dengan
perasaan ragu, Fiona memutuskan untuk mengeluarkan perkataan yang ada
dibenaknya. “Adrian.”
“Ya?”
“terima
kasih, karena sudah ada disampingku.”
“Oh, please.”
Desah gadis
berambut hitam ikal itu untuk kesekian kalinya. Setiap kali matanya menangkap
Adrian yang tersenyum kepada Fiona, kepalanya tiba-tiba terasa panas, perasaan
geram muncul di dalam dadanya. Jika saja Fiona terpisah dari Adrian, mungkin
saja dia bisa mendekati Adrian dan mengalihkan perhatiannya. Bukankah dia
selalu berhasil melakukan itu kepada laki-laki lainnya? Tapi kelihatannya
Adrian sama sekali tidak berniat melepaskan tangannya dari bahu Fiona.
Sekali lagi
dia memutar bola matanya. Kenapa Adrian harus memandang Fiona seperti itu?
Kenapa Adrian harus tersenyum kepada Fiona seperti itu? Kenapa semuanya
terlihat begitu berbeda dari biasanya? Apakah jangan-jangan…
“ternyata
kau di sini, Song Mi Na.”
Gadis itu
memutar badannya dan segera berhadapan dengan sepasang mata kelabu yang
memandangnya dengan tatapan yang amat dibencinya.
“Murray.”
Ujar Mi Na datar. “ada perlu apa kau mencariku?”
begitu
mendengar nada bicara Mi Na yang ketus, Luis hanya tertawa rendah. Seakan-akan
dirinya sudah terbiasa menerima perlakuan seperti itu. “apa kau harus selalu
galak seperti ini? Ngomong-ngomong, kau terlihat menawan.”
Mi Na
mendengus. “simpan pujianmu itu untuk gadis murahan lainnya.” Ia lalu menoleh
ke belakang, ke arah Adrian. Tapi orang yang dicarinya sudah menghilang. “apa
kau datang ke sini hanya untuk merayu gadis-gadis di pesta?”
“hahaha, kau
lucu sekali.” Balas Luis dengan tawanya yang lebar.
Mi Na
memandangnya dengan sebelah alis terangkat. “maksudmu? Bukankah itu
satu-satunya tujuanmu datang ke pesta resmi seperti ini? Gadis. Model.”
“aku harap
kau tidak lupa kalau aku adalah seorang produser terkenal di Korea Selatan
ini.” Ujar Luis dengan nada formal, seolah-olah Mi Na belum pernah mengenalnya
sebelumnya. “aku menerima undangan, kau tahu? Dan bukan. Tujuanku sudah tidak
sama lagi.”
“apa?”
“aku sudah
menemukannya.”
Masih dengan
tatapan yang begitu heran, Mi Na menanggapi pernyataan Luis dengan kesal. “kau
tahu aku sangat tidak suka permainan kata? Bicara yang jelas.”
Untuk
beberapa saat Luis tidak membalas perkataan Mi Na, ia hanya memperhatikan wajah
gadis itu yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Dengan senyum
miring, Ia lalu mengalihkan pandangannya ke seberang ruangan pesta. Begitu
kedua mata kelabunya terarah ke seberang ruangan, badan Luis terpaku, seperti
seluruh pikirannya hanya terpusat pada apa yang kini Ia lihat.
Mi Na
merasakan itu sebagai sebuah isyarat, ia lalu segera mengikuti arah pandangan Luis.
Mata Mi Na melebar begitu melihat apa—atau siapa—yang sedang diperhatikan
lelaki itu. Beberapa detik kemudian, seperti bohlam lampu yang menyala terang,
Mi Na akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi di sini.
Mi Na
kembali menatap Luis, yang masih menjatuhkan tatapannya ke arah yang sama sejak
tadi. Dengan senyum lebar, Mi Na lalu berkata, “apa kau sedang memikirkan hal
yang sama?”
Fiona memperhatikan
namanya yang dipahat di keramik hitam berlapis perak. “the recipient of the Oxford English Literature Scholarship”. Senyum
lebar menghiasi wajahnya sambil meraba pahatan kalimat itu.
“congratulation, Miss Scarlett.”
Fiona
mengalihkan pandangannya kepada Adrian yang sedang menyetir mobil di
sebelahnya. “lagi?”
“mm?”
“kenapa
tiba-tiba kau memanggilku Scarlett?”
Adrian menatap
Fiona dengan senyum samar. “ini bukan yang pertama kalinya bukan?”
“memang. Tapi
kenapa tiba-tiba?”
“kedua
namamu sama indahnya.”
“lalu?”
“kenapa? Aku
tidak boleh memanggilmu dengan kedua namamu?”
“bukan
begitu… kau orang yang tidak konsisten.”
Adrian lalu
tertawa rendah dan terdiam sambil tersenyum. Sambil memutar kemudi mobilnya, Ia
berkata “jujur saja, aku suka menyebut kedua namamu. Park Hwa Young atau Fiona
Scarlett, kau tetap saja gadis manis bermata hijau yang aku kenal, Fiona-ssi.”
Fiona yang
tadinya menatap ke arah jendela lalu menoleh ke arah Adrian yang memusatkan pandangannya
ke arah jalan. Fiona yakin kalau Adrian tidak menyadari dirinya sedang
diperhatikan, tapi ternyata kalau dilihat-lihat, dari samping Adrian terlihat
sama. Dia terlihat sama dari sudut manapun. Dari depan dan belakang. Dari sisi
kiri dan kanan… bentuk wajahnya yang sempurna, tulang pipinya, hidungnya yang
mancung dan bibirnya yang tipis. Fiona merasa dirinya sangat telat untuk
menyadari semua itu.
“Fiona
AWAS!!”
seperti
kilatan cahaya, semuanya terjadi begitu cepat. Fiona bahkan tidak yakin apa yang
sedang terjadi. Yang Ia tahu, dirinya hanya sedang memperhatikan setiap sudut
wajah Adrian tanpa sepengetahuannya dan tak memperhatikan sekelilingnya. Hanya
laki-laki yang ada di depannya. Tak memeperhatikan yang ada di luar jendela dan
tak ingin memperhatikan yang lain. Namun sekarang, Fiona harus memaksa dirinya
membuka kedua matanya yang terpejam selama sudah lima detik.
Mata
hijaunya terbelalak begitu melihat apa yang ada di depannya. Bibir bawahnya
lalu bergetar, sekujur tubuhnya bergetar, perasaan dingin bagaikan bongkahan es
menghujam seluruh tubuhnya. Semua memori yang sudah mulai terkubur dan mati,
kini hidup kembali.
“Fiona…”
Adrian dengan perlahan menyentuh tangan Fiona, Ia terkesiap begitu menyadari
temperatur Fiona yang tiba-tiba turun drastis.
“Fiona, kau
baik-baik saja? Fiona… kau dengar aku?”
Gadis yang
diajaknya bicara sama sekali tidak menatapnya, kedua matanya tetap terpaku pada
sesuatu yang ada di depannya. Setelah beberapa saat dalam keadaan seperti itu,
mata Fiona memerah, dan mulai berlinangan air mata, Ia lalu pecah dalam
tangisan.
Fiona
menarik tangannya yang disentuh oleh Adrian dengan cepat dan memeluk tubuhnya
sambil menangis terisak-isak, seakan-akan tersiksa oleh perasaan dingin yang
muncul di dalam dirinya.
“Fiona!”
Adrian memegang kedua bahu Fiona, dan mengusap-ngusap bahunya dengan cepat,
berharap suhunya yang hangat kembali lagi.
Panik,
Adrian bahkan tidak bisa membuat Fiona menatap matanya. Ia lalu keluar dari
mobil dan berjalan mengitari mobilnya, bermaksud untuk menarik Fiona keluar
dari mobil dan menenangkan gadis itu.
“Fiona, apa
yang terjadi?”
Adrian
menggenggam kedua tangan Fiona, namun gadis itu tetap menangis, dan kini dia
tidak berani melihat ke depan, Fiona hanya menatap kedua tangannya yang
digenggam Adrian sambil menyembunyikan wajah. Adrian mengelus kepala Fiona dan
mengusap wajahnya yang basah.
Karena masih
tidak bisa membuat Fiona menatap wajahnya, Adrian terus mengelus kepala Fiona
dan mengusap bahunya, berharap Fiona sadar, walaupun dirinya sama sekali tidak
mengerti apa yang membuat gadis itu tiba-tiba menjadi seperti ini.
“Fiona-ssi. Lihat aku.”
Sontak, Fiona mengangkat wajah dan
menatap kedua mata cokelat Adrian yang hangat, yang memperhatikannya dengan
penuh khawatir.
“Ad…
Adrian.”
Mendengar
suara Fiona yang memanggil namanya, Adrian lalu tersenyum lega, “ya, aku di
sini.”
Fiona lalu
hanya terdiam dalam posisi seperti itu. Memperhatikan wajah Adrian, seakan-akan
Ia baru saja sadar Adrian ada di depannya, seolah-olah dirinya baru saja
kembali ke dunia nyata. Sebelum air matanya mengalir lagi, Adrian memeluk tubuh
Fiona dengan erat, berharap Ia bisa memberikan Fiona kehangatan, membuatnya
merasa aman dan memastikan kalau Fiona tetap ada di depannya.
Sabtu, 15 September 2012
Bagian Enam Belas
“Jangan bilang kalau kau belum menyiapkan gaun sama
sekali.” Terdengar omelan Min Rae di ujung sana. Fiona masih terduduk di atas
tempat tidurnya, dengan laptop menyala di depan dan mengetuk-ngetuk ujung
pulpen di atas sisi laptop.
“aku masih sibuk.” Sahut Fiona sambil memegang ponsel dengan sebelah
tangan. Fiona mendengar nada suara Min Rae yang berubah kesal. “apa kau serius?
Park Hwa Young, kau benar-benar tidak akan datang malam ini?”
“bukannya begitu.” Jawab Fiona cepat. “aku sudah menyiapkan semuanya dari
kemarin. Masalahnya, kau sudah menanyakan hal yang sama lebih dari tiga kali.”
“ahh, benar juga. Aku hanya ingin memastikan jika kau tidak
berbohong.”
Fiona memutar bola matanya. Walaupun temannya itu tidak bisa melihat
ekspresinya saat ini, Fiona masih ingin Min Rae tahu kalau sikapnya itu agak
berlebihan. “tidak usah khawatir tentang aku. Lebih baik kau berkonsentrasi
dengan pedicure dan medicuremu saat ini.”
“bagaimana kau bisa tahu?” ujar Min Rae kini dengan suara yang
terdengar riang.
“aku bisa mendengar suara pengering rambut dari ujung sini. Kau ada di
salon, bukan?” kata Fiona dengan nada penuh yakin. “sudah berapa lama kau di
salon?”
“tiga jam.” jawab Min Rae masih dengan nada riang, tanpa sama sekali
terbesit rasa malu. “setelah ini aku akan langsung pergi ke pesta kesenian.
Sampai ketemu nanti malam, Hwa Young-ssi!”
“enjoy your day, lassie.” Balas Fiona, setelah itu Ia menutup teleponnya.
Gadis itu lalu beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menghampiri gaun
malam biru yang tergantung di pintu kamar. Ia mendesah. Entah apa yang membuatnya
merasa terganggu, Ia sama sekali tidak meyukai perasaan itu. Beberapa detik
kemudian, ponselnya yang tergeletak di atas tempat tidur berdenting. Satu pesan
masuk.
“jam tujuh malam di depan pintu
apartemenmu. Sampai ketemu nanti, cherry
blossom.”
Fiona mengangkat sebelah alis. Cherry blossom? Apa Adrian salah kirim?
Fiona lalu segera menggerakkan jarinya, membalas pesan dari Adrian.
“cherry blossom? Gadis mana yang
kau maksud?”
setelah beberapa detik pesannya terkirim, balasan dari Adrianpun tiba.
“gadis itu kau. Menurutmu siapa lagi
yang akan kujemput nanti malam, Miss Fiona Scarlett?”
untuk beberapa saat Fiona hanya menatap pesan dari Adrian itu. Ini
pertama kalinya Adrian menyebut nama Inggris Fiona. Walaupun memang secara
tidak langsung, namun senyuman sudah mengembang di wajah Fiona saat membayangkan Adrian menyebut
namanya itu. Fiona Scarlett. Ia lalu kembali membalas pesan Adrian.
“aku rasa otakku kali ini tidak
berfungsi seperti biasanya.” Ungkapnya.
Sebenarnya Fiona sudah bisa menebak apa yang dimaksud oleh Adrian, namun gadis
itu lebih memilih berpura-pura untuk tidak mengerti. Tidak lama kemudian, satu
pesan lain masuk.
“jika kau memang cerdas, kau akan paham
maksudku. Sayang sekali.”
Sama sekali bukan balasan yang diharapkan Fiona. Gadis itu hanya
mendengus pelan, namun Ia akhirnya tersenyum tipis, dan membalas untuk terakhir
kalinya.
“sampai ketemu nanti malam, Harrison.”
Sekali lagi Fiona menatap bayangannya di cermin, sudah cukup. Fiona
tidak ingin terlalu memolesi wajahnya. Baginya, riasan wajah yang tipis dan
natural sudah cukup sempurna. Lagipula, setiap kali Fiona menghadiri acara
resmi, Ia tidak pernah berniat untuk menarik perhatian siapapun.
Fiona lalu mengambil dompet berwarna perak di atas mejanya dan
bergegas keluar kamar. Baru saat Fiona menutup pintu kamar, dentingan bel
apartemennya berbunyi. Sudah datang. Ternyata Adrian sangat tepat waktu. Gadis
itu lalu berjalan lebih cepat menuju pintu apartemennya dan dengan senyuman
tercerahnya, Fiona menyambut Adrian yang berdiri dalam balutan tuksedo putih
dengan dasi hitam disekitar lehernya.
Masih menunjukkan senyumannya yang begitu cerah, laki-laki di depannya
terlihat terpaku. Adrian tidak mengedipkan mata untuk beberapa detik, Ia hanya
menatap wajah Fiona—juga dari atas lalu ke bawah—memperhatikan penampilan gadis
itu yang benar-benar berbeda dari biasanya. Ia tahu kalau jantungnya sering berdetak
lebih cepat setiap kali Fiona tersenyum padanya, tapi kali ini sepertinya
keadaannya jauh lebih memprihatikan. Adrian bahkan merasa sulit untuk menyusun
kata-kata.
“kau…” ujarnya dengan kikuk. “cantik.”
Adrian lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. “tidak. maksudku,
sangat cantik.”
Fiona hanya tertawa rendah melihat reaksi Adrian. Ia tidak yakin, tapi
sepertinya laki-laki di depannya itu terlihat grogi. Namun semua itu sama
sekali tidak ada bandingannya dengan penampilan Adrian malam ini. Kenapa
laki-laki ini selalu terlihat tampan disetiap waktu? Di manapun dan kapanpun
Fiona bertemu dengannya, Adrian selalu muncul dengan kehadiran yang menenangkan
dan senyumnya yang menghangatkan. Entah apa yang membuat senyumnya sehangat
sinar mentari di musim semi, tapi semua itu mampu membuat Fiona luluh dan
mendesah lega. Kharisma yang Adrian pancarkan selalu berhasil menunjukkan
betapa menariknya laki-laki itu. Apakah itu hanya karena lesung pipit di kedua
sisi wajahnya? Entahlah.
Fiona lalu tersenyum membalas Adrian. “kau juga. Selalu terlihat baik
seperti biasa.”
Adrian kembali menyunggingkan seulas senyum, kini lebih lebar dan
percaya diri. “kau ingin tahu sesuatu?”
“apa?”
Adrian tidak menjawab sesaat. Ia lalu berkata, “tidak apa-apa. Nanti
saja.”
Fiona menyipitkan kedua matanya, menunjukkan ekspresi kesal dan tidak
puas. Kenapa laki-laki ini masih saja selalu membuatnya penasaran?
“kau tahu jelas kalau aku sangat tidak menyukai itu.”
“tidak menyukai apa?”
Fiona mendengus. Ia yakin Adrian hanya berpura-pura tidak tahu.
“sikapmu yang selalu membuat orang mati penasaran.”
“bukankah ini menyenangkan?” balasnya dengan nada bergurau. “aku
semakin ingin sering melakukan ini padamu. Apalagi melihat ekspresimu itu.”
Fiona lalu dengan cepat menggerakkan tangannya dan mencubit lengan
Adrian. “tidak lucu. Cepat katakan atau…”
“aku akan bernyanyi.” Sela Adrian.
Fiona mengangkat sebelah alis, lalu kedua mata hijaunya mulai
berkilat-kilat. “kau akan bernyanyi?”
Adrian mengangguk. “sepertinya direktur utama universitas Kyung Hee
sangat merasa terhormat akan kedatanganku malam ini. Ia mengirimkan undangan
spesial sekali lagi hanya untuk memintaku bernyanyi di pesta nanti.”
“lagu apa?” Tanya Fiona dengan antusias.
“apa yang kau harapkan?”
“mmm… lagu korea?” ujar Fiona dengan penuh harap.
Adrian tersenyum tipis. Ia dengan tiba-tiba meraih tangan kanan Fiona,
lalu meletakkan tangan gadis itu di atas lengannya. Fiona hanya membiarkan
tangan Adrian memimpin tangannya, membiarkan semua itu terjadi. Kini sebelah tangannya
melingkari lengan Adrian dan entah kenapa, Ia merasa tangannya memang pantas
disitu. Posisi yang tepat dan sempurna untuk digenggam, lengan yang membuat
Fiona ingin bersandar saat itu juga jika Ia membiarkan perasaannya menguasai
dirinya.
“sayang sekali, permohonanmu belum bisa dikabulkan Fiona-ssi.” Ujar Adrian begitu tangan Fiona
sudah melingkari lengannya. “kita berangkat sekarang.”
“Kau siap?” Tanya Adrian sekali lagi. Setelah membukakan pintu mobil
untuk Fiona tadi, Ia juga menanyakan hal yang sama.
Fiona menoleh ke arah Adrian, Ia lalu tersenyum dan mengangguk pelan.
“sepertinya kau sangat khawatir. Bukankah sudah kubilang iya tadi?”
“aku hanya tidak ingin kau tiba-tiba tersentak melihat keramaian di
dalam sana lalu kabur. Aku datang ke sini hanya karenamu.”
Fiona tersentak. Bukan karena keramaian yang akan Ia lihat di dalam
sana tapi karena ucapan Adrian barusan. Adrian lalu menatap mata Fiona dan
tersenyum. “tentu saja karena aku juga diundang dan aku harus menemanimu yang
anti-sosial.”
Oh, jadi bukan itu maksudnya. Fiona lalu menghela napas, dan
melemparkan tatapan kesal pada Adrian. “aku bukan anti-sosial.” Ujar Fiona.
“aku hanya benci… tidak suka orang memperhatikanku.”
“aku akan terus berada di sampingmu.” Balas Adrian, lalu memperbaiki
posisi tangan Fiona yang menggandeng lengannya. Fiona tidak membalas tatapan
Adrian. Ia baru sadar kalau semua yang dilakukannya saat ini sama sekali bukan
berarti apa-apa. Hubungannya dengan Adrian Harrison hanya sekadar berteman.
“pegang lenganku dengan benar.” Ujar Adrian. Ia terdiam sesaat,
menunggu Fiona untuk membalas tatapannya. Tapi gadis itu hanya diam dan menatap
lurus ke depan. Adrian hanya tersenyum kecil, lalu berkata, “kita masuk
sekarang.”
Saat pintu besar ruang utama terbuka, semua tamu yang sudah mulai
menikmati acara awal memusatkan mata kepada sepasang tamu muda yang baru tiba
itu.
Adrian merasa tangan Fiona mulai menegang, sebelah tangan Adrian yang
bebas lalu menyentuh tangan Fiona yang melingkari lengannya, “senyum.” Bisik
Adrian.
Fiona menarik napas panjang dan berusaha menarik sisi-sisi bibirnya
untuk tersenyum. Fiona merasa Ia tidak akan sanggup berjalan jika bukan Adrian
yang menuntunnya ke sisi ruangan pesta. Ia membiarkan Adrian menariknya dengan
pelan, ke mana saja, asalkan semua mata itu tidak memperhatikannya lagi.
“selamat datang, Mr. Harrison.” Sapa seorang laki-laki tua. Fiona
menoleh, Ia baru sadar bahwa orang yang barusan menyapa Adrian adalah rektor
universitas Kyung Hee, Lee Min Ha.
“kami sangat senang anda menerima undangan kami.” Tambahnya.
“ini adalah acara resmi pertama yang saya kunjungi di Korea. Terima
kasih atas undangannya.” Mr. Lee lalu melihat ke arah Fiona yang berdiri di
samping Adrian. “Park Hwa Young?”
Fiona membungkukkan badan. Ia lalu tersenyum lebar, “selamat malam,
pak. Acara malam kesenian Kyung Hee memang selalu hebat.” Puji Fiona.
“you’re looking beautiful, Hwa
Young-ssi. Selamat atas beasiswamu di
Oxford.”
“terima kasih.” Balas Fiona.
“Mr. Harrison, kami harap anda bisa menyumbangkan suara anda di acara
ini, itu akan sangat mengesankan.” Ujar Mr. Lee.
Adrian tersenyum ramah, Ia lalu menatap Fiona. “Saya memang sudah
merencanakan itu.” Ujarnya.
“kau berbicara padaku?” Tanya Fiona sambil berbisik.
“kau bisa menunggu di sini sebentar?”
“mau ke mana?”
“ke pangggung.” Balas Adrian. “kau tidak akan pingsan kalau tidak
menggenggam tanganku, bukan?”
Fiona lalu memukul bahu Adrian pelan. “pergi saja selama yang kau
mau.”
Senyum Adrian melebar begitu melihat bibir Fiona yang mengerucut. Ia
lalu mengalihkan pandangan kepada Mr. Lee. “mungkin acaranya bisa dimulai
sekarang?”
“tentu saja.” Balas Mr. Lee dengan senyum puas.
Sebelum Adrian beranjak meninggalkan Fiona, Ia menepuk pelan bahu
gadis itu, dan sekali lagi berbisik ke telinganya, “tatap aku dan dengarkan.”
Fiona hanya mendesah pelan. Sekarang di sini Ia berdiri di tengah
ruangan yang besar, dipenuhi banyak orang yang tidak semuanya Ia kenali. Detak
jantungnya kini tidak karuan.
Apakah aku harus selalu was-was seperti
ini setiap kali di tengah pesta? Gumam Fiona
dalam hati. Ia sangat berharap Min Rae datang saat itu juga, menghampirinya,
dan menggenggam tangannya agar Ia merasa aman dan tak terjatuh.
Selama Fiona sibuk mengendalikan getaran ditangannya, Adrian sudah
tiba di atas panggung dengan gitar akustik. Sinar lampu di ruangan utama yang
tadinya terlihat terang benderang kini tiba-tiba meredup, memusatkan fokus
kepada orang yang sedang berdiri di panggung.
Begitu fokus cahaya di panggung sudah terlihat jelas, suara pekikan
kecil mulai terdengar dari sisi panggung, seolah-olah mereka baru saja menyadari
keberadaan pria Inggris yang sedang terduduk di atas sana. Adrian tidak
memperdulikan semua kehebohan itu, matanya masih terpusat di gitar akustiknya—semua
gerakan itu seakan-akan membuat Fiona terpana. Cara Adrian duduk di atas
kursinya, caranya memegang gitar, dan caranya memandang ke bawah ke gitarnya.
Sorot cahaya yang terpusat kepada Adrian seolah-olah membuatnya satu-satunya
orang yang ada di dalam ruangan. Satu-satunya yang Fiona bisa lihat.
Adrian lalu mengangkat kepala dan melempar pandangannya ke seluruh
ruangan. Walaupun ruangan itu terlihat agak gelap, Ia masih bisa melihat
beberapa orang yang memperhatikannya di panggung. Adrian berusaha mencari
Fiona, berusaha meyakinkan dirinya agar gadis itu baik-baik saja. Saat matanya
beralih ke tengah ruangan, Adrian bisa melihat wajah gadis itu di dalam
kegelapan. Mata hijaunya memperhatikan Adrian. Laki-laki itu lalu bisa merasa
sedikit lebih lega.
“Malam ini pastinya adalah malam yang spesial bagi kalian semua.” Ujar
Adrian. “malam ini juga begitu spesial bagiku. Karena malam ini akan menjadi
yang pertama kalinya bagiku untuk menyanyikan lagu untuk seseorang.”
Semua kerumunan mulai berkata ‘wah’ dan terlihat sedikit lebih ribut
dari sebelumnya. Sudah pasti mereka sangat penasaran dengan siapa yang Adrian
maksud.
“di manapun dia berada, aku hanya berharap dia tahu kalau aku
menyanyikan lagu ini untuknya.” Tambah Adrian. Saat itu juga, Ia mulai
menjentikkan jemarinya di senar gitar.
She's like
cold coffee in the morning
I'm drunk
off last night's whiskey and coke
She'll make
me shiver without warning
And make me
laugh as if I'm in on the joke
And you can stay with me forever
And you can stay with me forever
Or you could
stay with me for now
Tell me if I'm wrong, tell me if I'm right
Tell me if
you need a loving hand, to help you fall asleep tonight
Tell me if I
know, tell me if I do
Tell me how
to fall in love the way you want me to
I'll wake with coffee in the morning
But she
prefers two lumps of sugar and tea
Outside the
day is up and calling
But I don't
have to be so, please go back to sleep
Stay with me forever
Stay with me forever
Or you could
stay with me for now
'Cause I
love the way you wake me up
For goodness
sake will my love not be enough?
(cold coffee- Ed Sheeran)
Saat itu tak
ada yang bisa Fiona lihat tapi Adrian. Ini pertama kalinya gadis itu melihatnya
bernyanyi secara langsung. Dan saat itu juga, Fiona mulai menyadari satu hal
yang lain. Suara Adrian yang menghanyutkan. Ia yakin kalau matanya tidak salah
lihat, Adrian terus menatap ke arahnya saat Ia bernyanyi. Apakah ini hanya
dirinya atau Adrian memang menyanyikan lagu itu untuknya?
Fiona, itu tidak mungkin. Desakan dalam hati Fiona seolah-olah berusaha
meyakinkannya kalau Adrian memang sama sekali tidak mempunyai perasaan apapun
dengannya.
Laki-laki
itu terus memandanginya dari kejauhan. Beberapa kali Ia berhenti dan berjalan
mengelilingi ruangan pesta hanya untuk berusaha meyakinkan diri bahwa mata
kelabunya tidak salah lihat. Benar, gadis itu adalah gadis yang sama yang Ia
lihat sebelumnya di ekshibisi. Fiona… siapa? Fiona Park?
Ya, tidak
salah lagi. Seulas senyuman lalu tersungging di bibirnya, ternyata gadis yang
bernama Fiona itu sama sekali tidak buruk. Sangat cantik, bahkan Ia terlihat
lebih menawan dibandingkan Katherine. Semua orang di ruangan memusatkan
perhatian pada Adrian yang ada di atas panggung, namun hanya Luis Murray yang
memperhatikan Fiona dengan tatapan tajam itu.
Jumat, 31 Agustus 2012
Bagian Lima Belas
Sudah lebih dari enam kali Adrian berusaha
menelepon gadis itu. Masih tidak ada jawaban.
“sebenarnya apa yang sedang dilakukan Kate?”
gumamnya agak kesal. Sejak dua hari yang lalu Adrian belum sempat untuk
memperingati hari sepeninggalan ayahnya. Semua itu karena kesibukannya dan juga
demam sialan yang menyerangnya mendadak. Kalau sampai ibunya tahu, beliau pasti
akan mengomelinya habis-habisan di telepon. Ia berharap setidaknya adiknya bisa
menggantikan dirinya, tetapi sepertinya Katherine sama sekali tidak berniat dan
bahkan tidak mau ingat hari ayahnya meninggal. Gadis itu terkadang membuat
Adrian bingung dan kesal, adiknya bersikap menyebalkan tanpa alasan yang jelas.
Dari dulu.
Sekali lagi Adrian mencoba untuk menelepon
Katherine, kalau yang satu ini tidak diangkatnya, maka Adrian berencana untuk
mencari adiknya itu ke agensinya dan membentaknya di depan rekan-rekan
modelnya.
“Katherine Harrison! Kenapa kau baru angkat
ponselmu?” Tanya Adrian begitu mendengar suara adiknya. “apa kau tahu aku sudah
mencoba meneleponmu seharian?”
“aku tahu, brother.” Jawab Kate. Adrian mengangkat sebelah alisnya. Tumben
sekali gadis ini tidak memanggilnya ‘oppa’.
Biasanya Katherine selalu bersikap sebagai gadis kecil dan adik perempuan
yang sangat manja di depan Adrian dan memanggilnya ‘oppa’.
“apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya Adrian
begitu merasa ada yang berbeda dari suara adiknya.
“tidak ada. Aku tahu kau sudah meneleponku
lebih dari enam kali.”
“lalu kenapa kau tidak menjawab teleponku
sejak tadi?”
“karena aku sudah tahu apa yang ingin kau
katakan.”
Adrian mengerutkan keningnya. Sepertinya
Katherine memang sengaja menghindari telepon dari kakaknya. “Kate. Kau tidak
pantas bertingkah seperti ini. Bagaimanapun dia adalah ayahmu. Orang tua kita.
Apa kau tidak sedih setelah ayah meninggal?”
“untuk apa?” jawab Kate cepat. Sangat cepat.
“aku sama sekali tidak sedih, Adrian. Sama sekali tidak ada rasa sakit yang
berbekas.”
Adrian terdiam sejenak. Ia benar-benar tidak
paham apa yang membuat adiknya itu bisa berbicara sekasar itu tentang seseorang
yang sudah meninggal, terlebih lagi ayahnya. “ada apa denganmu? Kenapa sejak
kecil kau selalu seperti ini?”
“Adrian.” Suara Katherine terdengar tegas.
“jika kau meneleponku untuk menanyakan soal itu, lebih baik kau tidak usah
menelepon.”
“sekali lagi…” Adrian memberi jeda sejenak.
“apa kau sama sekali lupa tentang ayah kita? Apa kau akan terus membencinya
seperti ini?”
“lupa? Kakakku yang tercinta, tanyakan hal
itu pada dirimu sendiri.” Sahut Kate.
Adrian benar-benar tidak paham dengan jawaban
adiknya barusan. Maksudnya apa? Ia tidak pernah melupakan apapun. Tidak pernah
melupakan keluarganya. Tidak pernah melupakan orangtuanya. Tidak seperti adik
perempuannya yang satu ini. “apa maksudmu kate?”
“Oppa, aku
sangat sibuk sekarang. Managerku baru saja memanggilku. Aku akan meneleponmu
lagi besok.”
Adrian mendesah pelan. Gadis itu kembali
memanggilnya dengan panggilan manjanya. Sebenarnya apa yang dipikirkan adiknya
itu? “kau masih harus ingat dengan hari peringatan ayah kita. Jangan lupa itu.
Aku tidak mau tahu.” Begitu selesai mengatakan kalimat itu, Adrian segera
menutup teleponnya dan mendesah berat. Ia lalu menghempaskan tubuhnya ke atas
sofa, mencoba untuk menebak maksud dari perkataan adiknya barusan. Adrian
yakin, tidak ada satu detail kecil yang pernah Ia lupakan tentang keluarganya.
Semuanya masih begitu jelas diotaknya. Saat ayahnya kecelakaan. Saat ayahnya
dikabarkan meninggal begitu Ia sadar dari tidurnya empat belas tahun yang lalu.
Figura besar yang berisikan foto ayahnya itu
diletakkan di atas perapian. Adrian lalu meletakkan beberapa bunga Mugunghwa dan makanan-makanan khas Korea
juga diletakkan di depan foto ayahnya. Adrian Harrison sudah berjanji kepada
ibunya kalau Ia akan memperingati hari sepeninggalan ayahnya dengan melakukan
tradisi Korea. Walaupun ayahnya adalah orang Inggris dan sama sekali tidak
mewarisi darah orang Korea, ibunya tetap ingin agar anak laki-lakinya itu
mewakilinya untuk memperingati hari itu dengan melakukan tradisi Korea. Dulu
ayahnya, Nicholas Harrison adalah seorang pria Inggris yang sangat menghargai
budaya dari negara lain, apalagi Korea Selatan. Adrian ingat bahwa ibunya
sempat mengatakan bahwa ayahnya jatuh cinta dengan Negara Korea Selatan. Dan
karena itulah ayahnya bertemu dengan ibunya, Hana Harrison.
Adrian menyatukan kedua tangannya, lalu Ia
memejamkan mata sejenak, berdoa untuk ayahnya yang sudah tidur dengan tenang
selama hampir empat belas tahun.
“Ayah.” Ujar Adrian pelan dengan tatapan
menerawang. “bagaimana kabar ayah sekarang? Maaf, aku sangat terlambat.”
Laki-laki itu kemudian memperbaiki posisi duduknya
dan menggeser mangkuk sup agar lebih dekat dengan foto ayahnya. “aku juga minta
maaf karena tidak bisa membantu ibu membesarkan adik yang baik.” Tambah Adrian
sambil menunduk, seakan-akan dirinya memang sedang berbicara dengan sosok
ayahnya. Seakan-akan Ia takut dimarahi ayahnya karena tidak bisa membawa
Katherine datang dengannya.
“tapi aku berjanji. Aku berjanji akan menjaga
ibu dan Katherine. Walaupun ayah tidak sempat mengatakan itu secara langsung
kepadaku, aku yakin ayah ingin agar aku bisa menjadi laki-laki yang kuat. Yang
bisa menjaga keluarga kita.” Adrian lalu mendongak menatap foto ayahnya. Di
dalam foto itu ayahnya terlihat muda dan sehat, beliau tersenyum lebar sambil
duduk di atas kursi dan memegang buku tebal.
Bibir Adrian melengkung membentuk senyuman
kecil, sebuah ingatan terbesit dalam benaknya. “ayah, aku sudah menemukan
seseorang.” Adrian terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “seseorang yang bisa
membantuku untuk menjalani hidup. Seseorang yang selalu memberikanku semangat
baru. Aku yakin ayah sudah tahu siapa orangnya.”
Adrian kembali menunduk dan tertawa rendah, seakan-akan
ayahnya sudah memberi tanggapan atas apa yang barusan Ia katakan. Adrian tetap
melanjutkan perkataannya. “dia gadis yang cantik. Apakah ayah sudah melihatnya?
Gadis itu seperti malaikat.”
Laki-laki itu kembali menyatukan kedua
tangannya dan menatap wajah ayahnya difoto lekat-lekat. Dengan penuh harapan Ia
berkata, “aku hanya berharap dia mengetahui apa yang sebenarnya kurasakan.”
Beberapa saat kemudian, Adrian sedikit
terkesiap begitu merasakan getaran di kantung celana jeans nya. Begitu melihat
nama ibunya di layar ponsel, Ia mendesah pelan. “ya, ibu.”
“Adrian, bagaimana?” mendengar pertanyaan
ibunya itu, Adrian sudah tahu apa yang dimaksud ibunya. Ia pasti ingin memastikan
jika anak-anaknya ingat akan hari peringatan ayahnya.
“aku baru saja selesai, bu.” Jawab Adrian.
“tapi Katherine...”
“apa dia tidak mau lagi?” tebak ibunya.
Terdengar nada kecewa dari suaranya itu. “seperti yang ibu duga.”
Adrian menaikkan sebelah alis. Ia masih tidak
paham. Sangat tidak paham kenapa ibunya bisa pasrah begitu saja saat anak
perempuannya itu berlagak seakan-akan Ia tidak pernah mempunyai seorang ayah.
“Aku sangat tidak mengerti.”
“apa?”
“kenapa Katherine selalu seperti itu?” Tanya
Adrian. “kenapa dia selalu seperti itu sejak kecil? Apa yang membuatnya begitu
membenci ayah?”
Ibunya tidak menjawab untuk beberapa saat.
Adrian juga terdiam, menunggu penjelasan ibunya. Ia mulai merasa bahwa ibunya
juga tahu akan sesuatu, namun enggan untuk menjelaskan. “ibu.”
“oh… iya. Maaf, nak. Ibu juga tidak tahu.
Biarkan saja adikmu. Ibu berusaha memakluminya.”
“apa aku perlu menculik Katherine dari
apartemennya dan menariknya ke sini?”
“Adrian, tidak usah. Biarkan saja Kate begitu.
Dan satu lagi, jangan marahi adikmu.” Sahut ibunya. “dia sudah melalui begitu
banyak hal.”
Alis Adrian terangkat lebih tinggi begitu
mendengar perkataan ibunya. Sudah melalui begitu banyak hal? Hal apa? Apakah
Adrian merupakan seorang kakak yang begitu buruk sampai dirinya tidak tahu
apapun yang sudah dilalui adik perempuannya?
“ibu bilang apa tadi?”
Ibunya mendesah. Beliau lalu menjawab,
“jangan culik adikmu ataupun memaksanya. Dan Adrian, jaga dirimu baik-baik di
sana. Ibu akan meneleponmu lagi besok. Kalau kau merasa kebingungan, hubungi
saja Mi Na, ibu sudah bilang kepadanya untuk membantumu.”
Sama sekali bukan jawaban yang Adrian
harapkan. Benar, Ibunya memang sedang menyembunyikan sesuatu. Adrian yakin itu.
Namun Ia tidak ingin menuntut penjelasan sekarang. Kali ini bukanlah waktu yang
tepat. Adrian lalu menghela napas dan mengalah. “baiklah. Ibu juga jaga diri
baik-baik. I miss you”
Ibunya membalas perkataan Adrian. Setelah
menutup ponselnya, Adrian lalu menatap keluar jendela di dalam ruangan tempat
perapian itu. Ia merasa dikucilkan. Dikucilkan dari keluarganya. Merasa
dikucilkan karena ada rahasia yang Ia tidak ketahui di dalam keluarganya. Dan
yang sangat mengganggunya adalah Ia merasa hanya dirinya yang tidak mengetahui
semua itu. Perasaan tak berdaya, kesal, dan penasaran menghujam dirinya. Apa
yang sedang terjadi? Apa yang sebenarnya sedang disembunyikan oleh ibu dan
adiknya? Adrian adalah seseorang yang peka terhadap situasi. Ia yakin apa yang
dirasakannya itu adalah sesuatu yang tepat.
Dan disaat suasana hatinya memburuk seperti
ini, hanya ada satu hal yang menghampiri pikirannya. Ia butuh gadis itu. Gadis
malaikat yang selalu memberinya semangat baru. Gadis yang mampu menguapkan
beban Adrian dalam sekejap. Fiona Park.
“Sedang apa?”
suara Min Rae membuat Fiona terbangun dari
lelapnya. Sudah sekitar dua jam Ia tertidur sambil memegang pulpen di depan
meja kerjanya yang penuh dengan tumpukan kertas.
“ya ampun…” gumam Fiona sambil mengusap leher
belakangnya.
“bagaimana lehermu tidak terasa sakit kalau
sudah tidur seperti itu selama dua jam?” ujar Min Rae yang sudah bisa menebak
pikiran Fiona.
Fiona lalu menatap ke arah tangan Min Rae
yang menggenggam beberapa gantungan baju. “baju-baju itu untuk apa?”
Min Rae menatap Fiona dengan sebelah alis
terangkat, seakan-akan dirinyalah yang seharusnya mengajukan pertanyaan. “kau
lupa? Dua hari lagi adalah pesta malam kesenian di Kyung Hee.”
Gadis yang diajak bicaranya terdiam sejenak,
lalu matanya melebar. Fiona menepuk dahinya dengan sebelah tangan. Min Rae yang
melihat reaksi Fiona itupun sudah bisa menduga.
“jangan bilang kalau kau lupa.”
“aku memang lupa.” Ujar Fiona pelan. Ia lalu
mendesah. “sudahlah, lagipula aku hanya perlu untuk mempersiapkan gaun malam
dan hal-hal sepele lainnya. Tidak ada yang terlalu penting, bukan?”
“Hwa Young-ssi. Jangan katakan juga kalau kau lupa akan tampil di malam itu.”
Kini mata Fiona membelalak. “tampil? Tampil
untuk apa?”
Min Rae hanya menggelengkan kepalanya.
Sepertinya temannya itu baru saja hilang ingatan karena tidurnya yang
menyakitkan. “aku yakin dosen kita sudah mengumumkan soal penghargaan yang akan
diberikan untuk murid beasiswa Oxford di
malam kesenian.”
Fiona kembali menepuk dahinya pelan.
Sepertinya ada yang salah dengan otaknya. Kenapa Ia bisa sampai lupa bahkan
tentang penghargaan beasiswa itu?
“Maaf Min Rae, sepertinya aku hanya
kelelahan.”
Min Rae tersenyum kecil. “sudah kuduga.
Wajahmu terlihat sangat melelahkan. Aku rasa kau harus istirahat sekarang.
Sudah dua hari kau memaksa diri untuk menyelesaikan tulisan itu.” Min Rae lalu
menggerakkan matanya ke arah tumpukan kertas di atas meja. “ngomong-ngomong,
apa kau sudah selesai?”
Fiona lalu memperhatikan kertasnya dan
mencari ujung kalimatnya. “Sebentar lagi. Baru selesai tiga perempat.”
“kau menulis tentang apa?”
Fiona terdiam sejenak sambil memperhatikan
kertas yang dipegangnya. Ia lalu menatap Min Rae dan tersenyum. “apa aku bisa
memberitahu judulnya saja?”
Seulas senyuman menggoda tersungging di bibir
Min Rae. “wah, sepertinya ada yang sedang menciptakan sebuah karya kejutan.”
Fiona hanya tertawa kecil mendengar perkataan
temannya itu. “kau mau tahu judulnya atau tidak? Kalau tidak jadi, sama sekali
bukan masalah bagiku.”
“Park Hwa Young, kau membuatku semakin
penasaran! Oke, judulnya saja kalau begitu.”
Fiona kembali tertawa kecil, Ia berusaha
menahan diri sebelum membalas perkataan Min Rae. “sebenarnya aku belum buat
judulnya.”
“apa-apaan ini?” ujar Min Rae dengan nada
terluka. “kau sedang mempermainkanku?”
“tidak usah dramatis seperti itu.” Sahut
Fiona. “aku janji, kalau aku sudah menemukan judul yang tepat, aku akan
memberitahumu. Bagaimana?”
“asal kau tidak lupa saja dengan janjimu
itu.”
Fiona lalu mengacungkan jempolnya dan
tersenyum lebar meyakinkan. “tenang saja. Aku pasti tidak akan lupa.”
Min Rae menganggukkan kepala dan tersenyum.
Ia lalu mengalihkan pandangannya pada gantungan-gantungan baju yang sedari tadi
digenggamnya. “aku tahu kau tidak memerlukan waktu yang lama untuk
bersiap-siap. Tapi aku harus kembali ke aktivitas semulaku. Kau juga jangan
lupa untuk bersiap-siap, Hwa Young.”
Fiona hanya mengangguk tegas sambil masih
tersenyum lebar. Min Rae memang terkadang bersikap agak kecentilan. Padahal
temannya itu sudah terlihat cantik tanpa polesan apapun, kenapa harus repot-repot
melakukan segala persiapan? Yang diperlukannya itu hanya percaya diri.
Beberapa saat kemudian, ponselnya yang Ia
taruh di atas meja berkedip-kedip. Ia melirik nama yang muncul di layar
ponselnya, seulas senyuman langsung muncul diwajahnya begitu melihat inisial
nama ‘A.H’.
“Halo.”
“Annyeong,
Fiona-ssi.” Terdengar nada khas
korea laki-laki itu di ujung sana.
“Annyeong.”
Balas Fiona. “sepertinya kau sudah bisa berbicara tanpa bahasa formal.”
“benarkah? Berarti aku ada kemajuan?” ujar
Adrian dengan nada riang. “kau sedang apa?”
“aku hanya…” Fiona terdiam sesaat lalu
melihat sekelilingnya. Apa yang sedang Ia lakukan? Ia baru saja terbangun dari
tidurnya yang tidak nyaman. “aku sedang tidak melakukan apa-apa.”
“apa kau punya waktu untuk bertemu?” Tanya
Adrian. Nada suaranya kini terdengar lebih datar dari sebelumnya. Fiona ragu
sejenak, Ia menoleh ke arah jendela kamarnya, cuaca hari ini sangat dingin
walaupun salju tidak turun, bahkan jendelanya sampai berembun.
“sepertinya aku membutuhkanmu.”
Mata Fiona yang tadinya mengamati udara di
luar kini mengerjap heran. Apa yang dibilang Adrian barusan? Adrian membutuhkan
Fiona? Kenapa cara bicaranya barusan membuat dada Fiona terasa aneh?
“apa aku bisa menemuimu?” Tanya Adrian sekali
lagi. Fiona masih tidak menjawab. “Fiona-ssi.”
Fiona tersentak, Ia lalu bertanya, “apa kau
baik-baik saja?”
“aku tidak yakin.” Sahut Adrian. “maka dari
itu aku membutuhkanmu.”
Fiona menundukkan kepala sesaat, entah apa
yang sedang terjadi dengan dirinya, tetapi Ia tidak bisa menahan diri untuk
tersenyum. “aku bisa. Tunggu aku di taman kota.”
“tidak usah.”
Fiona mengerutkan keningnya. Apa laki-laki
itu berubah pikiran?
“aku sudah ada di depan apartemenmu.
Keluarlah.”
Mata Fiona melebar begitu mendengar perkataan
Adrian barusan. Ia lalu berlari menuju sisi balkon dan menoleh ke bawah
apartemen. Benar, laki-laki berjaket putih itu sedang menunggunya di depan
apartemen.
“kenapa datang tiba-tiba?” Tanya Fiona kepada
Adrian yang masih menggenggam ponselnya. Fiona lalu melirik ke belakang Adrian.
“kau membawa mobilmu?”
Adrian mengangguk. Ia lalu bertanya, “apa kau
tidak keberatan jika aku mengajakmu berkeliling?”
Fiona menatap Adrian heran. “maksudmu? Kau
ingin merepotkanku lagi?” balasnya dengan nada bergurau. “apa kau tahu kalau
aku sering direpotkan oleh fans-fans fanatikmu itu setiap kali ada
disekitarmu?”
Adrian hanya tersenyum tipis. Ia lalu
membalas dengan nada datar. “aku tahu. aku sangat sadar akan hal itu.”
Fiona yang mendengar nada bicara Adrian yang
datar merasa tidak enak hati. Tadi dia hanya bermaksud untuk bergurau, tapi
sepertinya Adrian menanggapi perkataannya dengan serius. “hei, aku hanya
bercanda, santai saja.”
Adrian lalu menatap Fiona dan tersenyum
kecil. “tapi kelihatannya kau memang terasa terbebani.”
“bukankah sudah kubilang kalau aku hanya
bercanda?”
Adrian terdiam untuk beberapa saat, Ia lalu
menundukkan kepalanya. “maaf.”
Fiona maju selangkah, Ia berusaha untuk
memperhatikan wajah laki-laki yang menundukkan kepala itu. “untuk apa?”
“karena selalu merepotkanmu.” Jawab Adrian.
Ia lalu mendongak, Ia sedikit terkesiap begitu menyadari wajah Fiona yang kini
jaraknya cukup dekat dengannya. Gadis itu hanya menatapnya polos.
“aku menghampirimu karena aku tidak tahu
siapa lagi yang bisa aku ajak bicara.” Ujar Adrian, berusaha menutupi rasa
gugupnya.
“jadi aku pilihan terakhir?” Tanya Fiona
dengan mata disipitkan.
“ya begitulah.” Sahut Adrian. Ia lalu tidak
mengatakan apapun. Awalnya Ia merasa ragu, namun akhirnya Adrian memberanikan
diri untuk melanjutkan kalimatnya. “tapi setelah aku pikir-pikir, pilihan
terakhir bisa menjadi yang terbaik.”
Setelah mengatakan itu, dadanya terasa aneh,
jantungnya berdebar lebih cepat. Adrian merasa gugup menunggu respon dari gadis
yang berdiri di depannya itu.
“terserah. Aku juga sedang merasa bosan di
rumah. Tapi jangan bawa aku ke tempat berbahaya.” Jawab Fiona dengan nada
sedikit kesal. Syukurlah. Reaksi seperti itu jauh lebih baik dari pada melihat
Fiona yang terdiam dan membalas ucapannya dengan wajah serius. Adrian bisa-bisa
mengutuk dirinya sendiri jika Fiona sampai berusaha menarik diri darinya. Ia
tidak ingin jauh-jauh dari gadis itu, Adrian sudah sangat bersyukur karena
belakangan ini Ia sudah bisa tidur dengan nyaman. Adrian yakin itu semua ada
hubungannya dengan Fiona. Karena gadis itu tersenyum padanya. Karena gadis itu
tertawa dengannya. Karena gadis itu ada disekitarnya.
“apa lagi yang kau tunggu? apa kau mau
berdiri membeku di situ?” suara Fiona membuyarkan lamunan Adrian. Ia lalu
menoleh menatap Fiona yang sedang berlari-lari di tempat. “cepatlah bergerak,
udaranya dingin sekali.” Keluhnya sambil menarik-narik lengan jaket Adrian.
Laki-laki itu membalas keluhan Fiona dengan
tatapan tersenyum. “tenang saja.” Ujarnya. Adrian lalu memutar pergelangan
tangannya dan menggenggam tangan Fiona.
Fiona yakin jantungnya sempat berhenti
berdetak sampai-sampai Ia sendiri tidak sadar kalau Ia sempat mengerjapkan
mata. Adrian menyadari kerjapan mata gadis itu, namun Ia masih tetap tersenyum,
“gadis bodoh.”
Belum sempat Fiona membalas perkataannya,
Adrian kembali berkata, “apa kau lupa membawa sarung tangan atau kau memang
tidak punya satupun di apartemenmu?”
Fiona bermaksud untuk menjawab perkataan
Adrian itu, namun laki-laki itu segera membuka salah satu sarung tangannya dan
memakaikannya di tangan kiri Fiona. Tangan kanan Fiona tetap digenggamnya di
dalam saku jaketnya yang dalam.
Fiona kembali berhenti bernapas untuk beberapa detik.
“kau akan merasa hangat selama jalan-jalan
kita nanti.”
Fiona hanya terdiam dan menatap wajah
laki-laki itu. Ia lalu menunduk dan menyembunyikan senyum. Perasaan hangat
mulai menjelajari dirinya, entah itu berasal dari detak jantungnya yang cepat
yang memompa darahnya ke seluruh tubuh atau itu berasal dari tangan Adrian yang
begitu hangat. Fiona tidak
mengelak dan membiarkan Adrian menggenggam tangannya. Kehangatan yang Ia
rasakan saat ini terasa begitu nyaman dan benar.
“Kau membawa gitar?” Tanya Fiona sambil
menoleh ke arah belakang kemudi.
“karena akhir-akhir ini aku sibuk di studio,
jadi aku biarkan gitarku di dalam mobil.” Jawab Adrian. “kebetulan sekali
bukan?”
Fiona mengangkat sebelah alis. “kebetulan
apa?”
“aku tiba-tiba ingin memainkan gitar.” Ungkap
Adrian. Laki-laki itu lalu tersenyum ke arah Fiona. “bagaimana menurutmu?”
Fiona menatapnya dengan mata melebar. “kau
serius? Kalau nanti kau menarik perhatian banyak orang bagaimana?”
“bukankah itu memang tujuan utama dari
bernyanyi di depan umum?”
Fiona lalu memukul lengan Adrian pelan, “aku
serius.”
Adrian tertawa kecil, Ia lalu membalas,
“tujuanku bukan untuk mencari perhatian.”
“lalu?”
Adrian tidak menjawab untuk beberapa saat,
namun Ia menoleh menatap Fiona. “kau belum pernah melihatku memainkan gitar secara
langsung, bukan?”
Fiona menggeleng. “belum. Jadi setelah piano,
sekarang kau ingin memamerkan permainan gitarmu?”
“bisa dibilang begitu.” Adrian terdiam
sesaat, lalu Ia melanjutkan. “tunggu dulu, bukankah waktu itu kau yang
memaksaku untuk bermain piano? Sekarang aku sedang berbaik hati untuk
memperlihatkan kemahiranku dalam bermain gitar.”
Fiona hanya mendengus pelan, Ia lalu
tersenyum. “oke. Terserah kau saja.”
Lima belas menit kemudian mereka sudah sampai
di depan terminal stasiun kereta Cheongnyangni
yang merupakan salah satu terminal stasiun kereta terbesar di Korea. Fiona
sangat jarang menghampiri stasiun kereta ini, itu karena lokasi stasiun kereta
yang cukup jauh dan Ia juga jarang pergi keluar kota.
“kenapa stasiun kereta?” Tanya Fiona begitu
turun dari mobil Adrian. Laki-laki yang sedang diajaknya berbicara menatap ke sekeliling
terminal, suasana yang sibuk dan padat sama sekali tidak membuatnya merasa
pusing. Adrian justru menikmati suasana itu. Ia lalu berdiri menghadap Fiona.
“apa kau ingat saat pertama kali kita bertemu?”
Fiona terdiam sesaat. Ia menyipitkan kedua
matanya dan terlihat berpikir. Ia lalu ingat akan saat-saat pertama kalinya
bertemu dengan Adrian. “waktu itu kau sedang syuting dan aku bermaksud untuk menghampiri
ayahku. Tapi aku justru menabrakmu.”
“dan setelah itu aku mengantarmu ke stasiun
kereta.”
Fiona mengangguk. Ia lalu tersenyum menatap
Adrian. “karena itukah sekarang kau mengajakku ke stasiun kereta?”
“walaupun bukan di stasiun kereta yang sama…”
balas Adrian. Ia lalu menatap ke arah bangku kosong yang berada tidak jauh dari
posisi mereka berdiri. “kau punya hutang padaku.”
Fiona menatap Adrian heran. “hutang apa?”
“apa kau tahu kalau waktu itu kau sangat
tidak sopan? Kau pergi begitu saja meninggalkanku yang sedang dikerumuni banyak
orang.” Jelas Adrian. “itu berarti kau berhutang waktu padaku sekarang.”
“oh yang itu…” Fiona lalu mengibaskan
tangannya bermaksud untuk mengoreksi perkataan Adrian barusan. “waktu itu aku
tidak bermaksud untuk meninggalkan…”
kata-kata Fiona terhenti begitu Adrian
kembali menggenggam tangannya dan menariknya pelan. “kita cari tempat duduk
dulu sebelum kau kembali cerewet.”
Fiona ingin membalas Adrian yang barusan
mengatainya cerewet, tapi tidak jadi. Ia lebih memilih untuk diam dan
membiarkan Adrian menyentuh tangannya dari pada membalas ucapan Adrian dengan
kesal dan menarik tangannya.
Begitu mereka duduk di bangku, Adrian lalu
mendesah pelan. Kedua mata cokelat gelapnya masih memandang ke sekeliling
stasiun kereta. Terdengar suara peluit kereta yang baru saja tiba. Orang-orang
di depan mereka berlalu lalang dan tetap melihat lurus ke depan tanpa
sedikitpun memperdulikan orang-orang yang ada di samping mereka. Semuanya
terlihat begitu sibuk dan padat, mereka mungkin bahkan tidak menyadari seorang
artis Inggris yang sedang duduk dibangku dan memperhatikan semua keadaan itu.
Adrian dan Fiona duduk saling diam untuk
beberapa saat, Fiona lalu menoleh ke arah Adrian dan memperhatikan mata
laki-laki itu yang tiba-tiba terlihat menerawang.
“apa kau sedang memikirkan sesuatu?” Tanya
Fiona.
Adrian mengalihkan pandangannya dari
sekeliling ke arah Fiona. “apa?”
“apa ada yang terjadi?” ulang Fiona
memperjelas pertanyaannya. “kau seperti… sedang berpikir.”
Seulas senyuman tipis lalu tersungging di
bibir Adrian. “apakah terlihat sangat jelas?”
Fiona mengangguk pelan. Adrian kembali
mendesah, Ia akhirnya memutuskan untuk bercerita. “ini karena adikku.”
“Katherine?” balas Fiona dengan nada sedikit
ragu. Walaupun Ia sadar kalau Adrian hanya memiliki seorang adik, tapi Fiona
tidak pernah berpikir kalau Adrian akan mempunyai masalah dengan Katherine.
“ya.” Aku Adrian. “belakangan ini dia sangat
membingungkan. Juga sedikit menyusahkan.”
Fiona tetap terdiam, menunggu Adrian untuk
melanjutkan. “sampai sekarang aku tidak paham apa yang membuatnya begitu
membenci ayah kita.”
Sebuah pertanyaan muncul di dalam benak
Fiona. Katherine membenci ayah kandungnya? Kenapa?
“gadis itu bahkan tidak ingin mengingat hari
ayahnya meninggal. Dia berlagak seakan-akan dia tidak pernah mempunyai ayah
sama sekali.” Adrian memberi jeda, Ia lalu melanjutkan, “sepertinya aku tidak
bisa merubahnya.”
Fiona masih mendapati dirinya tidak bisa
berkata apa-apa. Ia tidak pernah berpikir gadis semanis, sebaik dan seriang
Katherine akan mempunyai masalah di dalam keluarganya. Maksudnya, bagaimana
Katherine bisa menyembunyikan semua itu di depan orang lain?
Fiona lalu meletakkan tangannya di bahu
Adrian dan menepuk bahunya pelan. “mungkin saja adikmu butuh waktu. Butuh waktu
untuk melupakan semua kenangan pahit di masa lalu. Maka dari itu dia bersikap
seperti ini.”
“tapi bukankah itu terlalu berlebihan?” balas
Adrian. “dan itu bukan hanya Kate. Ibuku juga hanya mengalah saja setiap Kate
bersikap seperti itu. Aku merasa seperti orang bodoh. Sepertinya hanyalah aku
satu-satunya yang kebingungan di sini.”
Fiona kembali terdiam. Kini Ia yang merasa
bodoh. Ia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membuat Adrian merasa
lebih baik. Apa Ia merupakan teman bercerita yang baik?
“tidak usah berpikir keras seperti itu.” Ujar
Adrian seakan-akan Ia bisa menebak pikiran Fiona. Gadis itu sedikit terkesiap
begitu mendengar ucapan Adrian yang bisa menebak dirinya dengan mudahnya.
“aku tidak butuh kata-kata yang bersimpati.”
Tambah Adrian. “yang aku butuhkan hanya satu. kau diam saja di sini. Tetap diam
disampingku.”
Fiona menoleh menatap Adrian. Laki-laki itu
menatap lurus ke depan, namun Fiona bisa melihat tatapan matanya yang dalam yang
tidak diarahkan ke siapapun. Fiona mulai merasakan rasa hangat yang mulai
menjelajari tubuhnya untuk kesekian kalinya, Ia lalu memutuskan untuk berada di
samping laki-laki itu terus jika itu memang bisa membuatnya merasa lebih
tenang.
Karena tidak bisa menemukan kata-kata lain
yang lebih tepat, Fiona memutuskan untuk bertanya. “apa kau bisa menyanyikan
lagu Korea?”
Adrian lalu mengalihkan pandangannya ke
Fiona. Ia mengangkat sebelah alis. “kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?”
Senyum lalu mengembang di wajah Fiona. “siapa
sangka kalau aku juga pandai dalam mengalihkan pembicaraan?”
Adrian tertawa kecil, ternyata gadis itu bisa
menjiplak sikapnya dengan baik. “kau benar. Kau sangat pandai.” Pujinya.
“sebenarnya aku belum pernah bernyanyi dalam bahasa lain selain bahasa Inggris.
Aku akan mencobanya.”
Fiona kini tersenyum lebih lebar kepada
Adrian. Senyuman itu membuat Adrian sedikit terkejut, senyuman yang begitu
cerah, Adrian merasa beban dipikirannya menguap detik itu juga.
“aku mempunyai sebuah tantangan untukmu.”
Kata Fiona. “apa kau bisa mempelajari lagu Korea dalam dua minggu?”
Adrian lalu tersenyum sambil menggelengkan
kepala pelan. “sepertinya kau benar-benar meremehkanku.” Balasnya. “kita lihat
saja nanti.”
“bagus.” Ujar Fiona sambil menepuk kedua
tangannya. “aku sangat penasaran bagaimana suaramu akan terdengar dalam bahasa
Korea.”
“tapi sebelum itu…” Adrian beranjak dari
tempat duduknya. “aku sudah bilang kalau aku ingin bermain gitar, bukan?”
Fiona mengerjapkan matanya. Ia lalu
melemparkan pandangannya ke sekeliling. “apa kau serius? Di sini?”
“kenapa tidak?” Tanya Adrian balik. “bukankah
konser gratis itu menyenangkan?”
“Adrian, aku serius.” Balas Fiona dengan nada
serius dan raut wajah khawatir. Ia hanya tidak ingin orang-orang tiba-tiba
menyadari keberadaan Adrian dan akan mengerubunginya saat itu juga. Dan jika
itu terjadi, Fiona harus menyiapkan diri untuk menjauh sejauh mungkin dari
kerumunan. Berjaga-jaga agar tidak ada orang yang menyadari keberadaannya. Menjauh
dari Adrian.
“kau tenang saja, aku tahu kau tidak suka
keramaian.” Ujar Adrian yang bisa menebak semua kekhawatiran Fiona lewat raut
wajahnya. “kau tunggu di sini.”
Belum sempat Fiona menahan Adrian, laki-laki
itu sudah berlari menuju parkir mobilnya. Adrian mengeluarkan gitar akustik
berwarna putihnya dari bangku belakang mobil dan berjalan ke seberang jalan.
Adrian tidak menghampiri Fiona, Ia justru berhenti di depan sebuah rumah makan
tradisional yang letaknya sekitar lima puluh meter dari posisi Fiona duduk.
“apa dia mau mengamen?” gumam Fiona sambil tersenyum
menatap Adrian dari kejauhan.
Sebelum memulai permainan gitarnya, Adrian
melirik ke arah Fiona dan tersenyum manis. Senyuman itu lagi. Senyuman hangat
yang selalu membuat Fiona lupa akan dinginnya hari. Senyuman itu seakan-akan
mengisyaratkan “tatap aku dan dengarkan.”
Adrian lalu mulai menjentikkan jari-jarinya
di senar gitar. Dari kejauhan itu Fiona masih bisa mendengar nada gitar Adrian
yang begitu jelas. Tanpa sadar Fiona menyunggingkan seulas senyuman lebar
begitu mendengar Adrian memainkan lagu Payphone.
Permainannya sangat mahir sampai-sampai Fiona tidak bisa mengalihkan
pandangannya dari laki-laki itu walau hanya dari jauh.
Fiona bisa melihat beberapa orang yang sudah
mulai berlarian mengerumuni Adrian, para gadis yang sudah mengeluarkan kamera
dan handphone mereka untuk mengambil gambar Adrian. Fiona sedikit mendongak,
sosok Adrian mulai menghilang dari pandangannya. Tetapi beberapa saat kemudian,
Adrian terlihat berjalan menaiki beberapa tumpukan benda sambil masih memainkan
gitarnya. Kini Adrian terlihat lebih tinggi dan Fiona bisa memperhatikannya
dengan jelas dari bangkunya. Sesaat Fiona merasa sesuatu yang aneh muncul di
dalam hatinya. Sama seperti perasaan aneh yang muncul saat melihat laki-laki
itu bermain piano. Perasaan yang tidak ingin Ia lepaskan, perasaan yang
membuatnya begitu nyaman.
Setelah beberapa saat memperhatikan laki-laki
itu, Adrian kembali menatap Fiona. Sambil masih memainkan gitarnya, Adrian
mengedipkan sebelah mata ke arah Fiona. Dan saat itu juga, Fiona mengaku bahwa
dunianya sudah tidak sama lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)
2012 Lady Adelaida: Sunny in Winter. Diberdayakan oleh Blogger.